Pagi itu aku keluar dari kamar hotel. Aku menguap. Aku masih setengah mengantuk. Aku jalan pagi di kota kecil itu. Kutemukan sebuah tata kota lama khas Jawa, sebuah alun-alun di depan tempat kediaman resmi bupati, masjid tua di baratnya dalam cahaya redup sisa lampu, gereja tua di timurnya hampir tertutup rimbun pohon.
Semua merupakan lambang raja-raja zaman dulu, kantor pemerintah daerah di selatannya merupakan lambang kompeni yang sekarang digantikan orang-orang yang pernah dijajahnya. Kurasa bangunan tua di pojok itu peninggalan Belanda dijadikan gardu listrik masih bangunan asli tulisan huruf Jawa masih tergurat di dindingnya. Aku menguap lagi.
Aku masih setengah mengantuk. Mana rumah Jenderal Ahmad Yani, lalu rumah Jenderal Oerip Soemohardjo teman seperjuangan Jenderal Soedirman, yang mana rumah mereka? Untuk apa, hanya untuk tahu dan melihat saja, tak ada yang bisa kutanya. Tak seorang tampak menyertai jalan pagiku, kecuali kicau burung beterbangan di antara ranting pohon di sepanjang jalan. Aku masuk ke dalam berjalan di atas rumput. Basah embun kurasakan di telapak kaki.
Pagar beton mengelilingi dua batang pohon beringin di bagian tengah lapangan luas itu. Kudapatkan celah dari jeruji besi di atas bangunan tembok beton pagar, kuintip ke dalam ke batang pohon beringin, ada dua pancang tulisan nama pohon, Ki Soeryo Putro batang pohon di sebelahnya Ki Dewo Atmodjo. Kau harus masuk ke dalam kalau kau mau melihat namanya. Kalau kau melihat dari trotoar saja, kau hanya melihat rimbun pohon dan untaian akar udaranya seperti janggut kakek tua.
Teruslah jalan ke barat, keluar dari alun-alun itu, menyeberang jalan. Masuklah ke pintu gerbang Masjid Agung Darul Muttaqin di dalamnya kau akan temukan Beduk Pendowo terbesar di dunia sebagai tanda waktu sholat. Dibuat lebih kurang tahun 1762 Jawa atau tahun 1834 Masehi, panjang rata-rata 292 cm, bergaris tengah depan 194 cm, garis tengah belakang 180 cm, keliling bagian depan 601 cm, keliling bagian belakang 564 cm, jumlah paku depan 120 buah, jumlah paku belakang 98 buah. Bahan pohon jati bercabang lima pendowo didatangkan dari Dukuh Pendowo Desa Bragolan Purwodadi. Beduk terbesar di dunia itu sebagai peninggalan budaya yang harus dijaga dan dirawat, kegunaannya dibunyikan setiap hari Jumat dan hari-hari besar.
“Terima kasih penjelasannya.”
”Ayo shalat subuh.”
”Ayo.”
”Ayo shalat subuh.”
”Ayo.”
***
Kubeli lima ikat rambutan. Kulepas dari ikatannya kuurai dan kubungkus dalam alas taplak meja rumah kosku. Rambutan dalam bungkusan taplak meja itu kutinting ke rumah Nur.
”Pi ada tamu,” kata Nur.
Adik–adik dan kakaknya muncul dan mengambil bungkusan yang kubawa.
”Apa yang dia bawa?” kata papinya keluar muncul ke ruang tamu. Badannya tegap seperti pegulat.
”Pi ada tamu,” kata Nur.
Adik–adik dan kakaknya muncul dan mengambil bungkusan yang kubawa.
”Apa yang dia bawa?” kata papinya keluar muncul ke ruang tamu. Badannya tegap seperti pegulat.
Kakak Nur yang gendut meletakkan bungkusan kain taplak meja itu di atas meja ruang tamu. Rambutan beserta daunnya berserak di atas meja.
”O, baru dipetik.” Diambilnya sebuah dikupasnya dan dimakannya. ”Lekang ya. Ada kebun rambutanmu?”
”Iya dong. Anak Medan kalau merantau selalu berhasil,” kata istrinya.
”Dia anak Medan. Di mana dia tinggal?”
”Di daerah cagar budaya, Condet.”
”Luas kebunmu?”
”Tak seberapa. Cuma beberapa pohon.”
”Bikinkan dia kopi.”
”Jadi Papi nonton Wayang Wong Sriwedari dari Solo itu?”
”Jadi, terima kasih tiket yang kau berikan itu. Untung tidak hujan. Cerita klasik dibawakan mereka, bulan muncul di atas panggung. Seakan bulan itu bagian suasana cerita. Betul-betul nikmat menonton di teater terbuka di Taman Ismail Marzuki itu. Kadang-kadang ibumu tertawa Nur, kelelawar masuk ke dalam panggung. Kalau ada lagi boleh itu.”
”Iya dong. Anak Medan kalau merantau selalu berhasil,” kata istrinya.
”Dia anak Medan. Di mana dia tinggal?”
”Di daerah cagar budaya, Condet.”
”Luas kebunmu?”
”Tak seberapa. Cuma beberapa pohon.”
”Bikinkan dia kopi.”
”Jadi Papi nonton Wayang Wong Sriwedari dari Solo itu?”
”Jadi, terima kasih tiket yang kau berikan itu. Untung tidak hujan. Cerita klasik dibawakan mereka, bulan muncul di atas panggung. Seakan bulan itu bagian suasana cerita. Betul-betul nikmat menonton di teater terbuka di Taman Ismail Marzuki itu. Kadang-kadang ibumu tertawa Nur, kelelawar masuk ke dalam panggung. Kalau ada lagi boleh itu.”
Nur masuk ke dalam dan keluar membawa dua gelas kopi di atas nampan. Diletakkan satu gelas di depanku. Satu gelas yang lain diletakkan di meja dekat jendela. Kemudian dia masuk.
”Minumlah anak Medan.”
Nur keluar.
”Pi kami boleh pergi malam ini?”
”Ke mana kalian mau pergi?”
”Jalan-jalan dong, kan malam minggu,” kata ibunya.
”Ke mana kalian mau jalan-jalan?”
”Ke Monas. Mau lihat Oma Irama,” kata Nur.
”Bawa adikmu. Jangan malam-malam ya pulangnya.”
”Ya Pi,” kata Nur menyalam dan mencium belakang telapak tangan ayahnya.
“Kalau pulang bawa makanan kesenangan Papi, kerak telor.”
”Itu terus makanan yang Papi pesan,” kata ibu Nur.
”Di mana kita tinggal kita harus larut dengan budaya mereka.”
Nur keluar.
”Pi kami boleh pergi malam ini?”
”Ke mana kalian mau pergi?”
”Jalan-jalan dong, kan malam minggu,” kata ibunya.
”Ke mana kalian mau jalan-jalan?”
”Ke Monas. Mau lihat Oma Irama,” kata Nur.
”Bawa adikmu. Jangan malam-malam ya pulangnya.”
”Ya Pi,” kata Nur menyalam dan mencium belakang telapak tangan ayahnya.
“Kalau pulang bawa makanan kesenangan Papi, kerak telor.”
”Itu terus makanan yang Papi pesan,” kata ibu Nur.
”Di mana kita tinggal kita harus larut dengan budaya mereka.”
Kupanggil becak. Kami naik becak di Jalan Thamrin. Adiknya kami dudukkan di tengah-tengah setelah jok tempat duduk kutarik ke depan. Adiknya duduk di antara kami. Kepala Nur kubalikkan sehingga mukanya mengarah kepadaku. Kucuri bibirnya dengan bibirku.
”Ah…” katanya menyembunyikan wajahnya sambil menunjuk kepala adiknya.
Tiga bulan kemudian kami menikah dan ketika anak kami yang pertama lahir, papinya masuk rumah sakit. Lama dia dirawat.
Kami datang menjenguk. Didekapnya cucu pertamanya dari kami.
”Cucuku yang pertama, siapa namamu?”
”Masak Mbah lupa. Yang memberi nama, kan kamu,” kata istrinya.
”Oiya. Sudah ya… Mbah tidak kuat menggendongmu.”
Nur mengambil anaknya dari pangkuan ayahnya.
Kata dokter beberapa hari lagi dia sudah boleh pulang, dia sudah boleh rawat jalan. Tiga hari lagi sebenarnya dia sudah boleh pulang. Kami senang mendengarnya. Tapi ayahnya dari kampung datang menjenguk, dia berteriak seperti menemukan masa lalunya. Dia bicara dalam bahasa Jawa yang tak kumengerti. Tapi akhirnya aku bisa berkesimpulan, dia minta pulang. Kulihat tangannya seperti memegang kayu pemukul. Mengayun-ayunkan ke depan.
”Aku ingin memukul beduk.” Dia berdiri dari tempat tidur. Dia cabut jarum infus dan dia terus meminta pulang ke kampungnya.
Sore itu aku disuruh membeli beberapa tiket kereta api Senja Utama di Gambir. Dia dipapah ayahnya keluar sembunyi-sembunyi meninggalkan rumah sakit. Di jendela kereta senja utama itu dia tak membalas lambaian tangan kami. Rombongan itu berangkat ke tempat dia dilahirkan. Kabar yang kami terima dia tiga kali pingsan di kereta. Di stasiun Kutoarjo, kereta Senja Utama itu menurunkan mereka dan pindah naik delman ke Purworejo. Sampai di alun-alun dia minta berhenti dan turun dari kereta kuda itu melepas sepatunya dibimbing ayahnya jalan di tengah lapangan luas itu. Sepatu yang dilepas itu dijinjing istrinya turun dari kereta kuda berlari kecil mengejar langkah suaminya di rumput basah embun pagi. Mereka mengikutinya sampai ke pohon beringin kembar itu, kemudian mereka keluar dari alun-alun dan menyeberang jalan, masuk ke halaman masjid. Entah pertimbangan apa penjaga masjid membimbingnya ke bawah beduk terbesar di dunia itu dan menyerahkan pemukul beduk. Dia memukulnya seperti yang diinginkannya. Hanya beberapa pukulan saja yang dapat dia lakukan. Ayahnya membujuknya kembali ke delman membawanya ke kampung halamannya, Desa Seren. Hanya tiga hari dia nikmati halaman rumah masa lalunya, kemudian wafat.
***
Telepon sakuku berdering menerima pesan.
”Ayah di mana? Ibu sudah mau keluar dari hotel, mau beli kembang,” kata Nur.
”Oke aku pulang. Baru jalan pagi di alun-alun.”
”Kok curang nggak ngajak-ngajak.”
”Sudahlah, nanti kita bicara di hotel.”
Aku masuk ke kamar mandi hotel. Bergegas keluar hotel. Kami panggil becak. Kutarik jok tempat duduknya.
”Untuk siapa?”
”Ibu.”
”Dua becak Mas.”
”Mengapa dua?”
”Aku ingin duduk lapang di becak bersamamu.”
”Kita cari sarapan pagi dulu, Mas.”
Kami dibawa berputar-putar mencari makanan yang khas kota kecil ini. Dibawanya kami ke warung dekat tepi sungai. Kupesan kopi panas. Pelayan warung itu menyuguhkan tiga piring suguhan makanan ringan, satu piring Clorot yang dibuat dari jalinan janur, anyaman daun kelapa muda, membentuk bungkus makanan itu seperti terompet. Kubuka lilitan janur itu yang lama-kelamaan terjurai seperti pita memunculkan isinya yang dibuat dari tepung ketan dicampur gula merah lembek kenyal-kenyal seperti jenang. Tapi Nur memanggil pelayan warung tepi sungai itu, dia tidak mau tangannya dikotori daun kelapa muda yang melilitnya dia minta dibukakan dari anyaman daun janur pembungkusnya. Pelayan warung itu meletakkan piring kosong di depan meja tempat duduk Nur. Memencet ujung anyaman seperti kerucut itu dan pelan-pelan isinya muncul dari bulatan bungkus depan. Pelayan warung itu jadi tahu kalau kami tidak pernah makan makanan itu. Kopi panas menyertai Clorot yang mereka suguhkan.
Diparutnya kelapa, ditaburkannya ke atas makanan berbentuk gelang yang baru disenduk dari kukusan anyaman bambu. Dihidangkan di depan kami. Gebleg itu dibuat dari tepung ketela berbentuk gelang yang satu sama lain bersambung seperti rantai ditabur kelapa parut bercampur gula.
”Bawa makanan ini untuk oleh-oleh,” kataku karena sedap. Krimpying bahan tepung ketela berbentuk gelang digoreng kering keras tapi renyah itu dibungkusnya dalam kantong plastik. ”Enak, buatan sendiri?”
”Tidak, buatan penduduk Bruno, kami tidak tahu ada campuran khusus, pembeli-pembeli kami sangat menyukainya, rasanya paling khas kata mereka, kami tidak tahu apa itu khas?”
”Ayo kita ke pasar,” kata ibu Nur, ”kami mau beli kembang, untuk nyekar.”
Kami tinggalkan warung di tepi sungai itu. Becak membawa kami ke pasar. Ibunya Nur membeli dua keranjang bunga rampai dan kami terus ke makam.
Di pemakaman itu kami sulit mencari dua makam ayah dan anaknya, suami dan mertuanya. Kucabut rimbunan semak menyiangi makam. Akhirnya kutemukan makam yang kami cari, R. Soedjatmiko, wafat 31 Agustus 1973. Kutabur bunga rampai. Kusentuh nisan yang bertulis namanya dan kupegang erat pusaranya.
”Maafkan aku Papi… Kutanggalkan ikatan lima ikat rambutan itu, kucampur dengan daun segarnya, kubungkus dengan taplak meja rumah tempat aku kos. Aku tak punya kebun dan pohon rembutan Papi… Maafkan aku membohongimu,” bisikku pelan supaya tidak didengar yang lain.
Wangi bunga rampai semerbak diterbangkan angin mengiring kami keluar dari pemakaman itu meninggalkannya…
Tiga bulan kemudian kami menikah dan ketika anak kami yang pertama lahir, papinya masuk rumah sakit. Lama dia dirawat.
Kami datang menjenguk. Didekapnya cucu pertamanya dari kami.
”Cucuku yang pertama, siapa namamu?”
”Masak Mbah lupa. Yang memberi nama, kan kamu,” kata istrinya.
”Oiya. Sudah ya… Mbah tidak kuat menggendongmu.”
Nur mengambil anaknya dari pangkuan ayahnya.
Kata dokter beberapa hari lagi dia sudah boleh pulang, dia sudah boleh rawat jalan. Tiga hari lagi sebenarnya dia sudah boleh pulang. Kami senang mendengarnya. Tapi ayahnya dari kampung datang menjenguk, dia berteriak seperti menemukan masa lalunya. Dia bicara dalam bahasa Jawa yang tak kumengerti. Tapi akhirnya aku bisa berkesimpulan, dia minta pulang. Kulihat tangannya seperti memegang kayu pemukul. Mengayun-ayunkan ke depan.
”Aku ingin memukul beduk.” Dia berdiri dari tempat tidur. Dia cabut jarum infus dan dia terus meminta pulang ke kampungnya.
Sore itu aku disuruh membeli beberapa tiket kereta api Senja Utama di Gambir. Dia dipapah ayahnya keluar sembunyi-sembunyi meninggalkan rumah sakit. Di jendela kereta senja utama itu dia tak membalas lambaian tangan kami. Rombongan itu berangkat ke tempat dia dilahirkan. Kabar yang kami terima dia tiga kali pingsan di kereta. Di stasiun Kutoarjo, kereta Senja Utama itu menurunkan mereka dan pindah naik delman ke Purworejo. Sampai di alun-alun dia minta berhenti dan turun dari kereta kuda itu melepas sepatunya dibimbing ayahnya jalan di tengah lapangan luas itu. Sepatu yang dilepas itu dijinjing istrinya turun dari kereta kuda berlari kecil mengejar langkah suaminya di rumput basah embun pagi. Mereka mengikutinya sampai ke pohon beringin kembar itu, kemudian mereka keluar dari alun-alun dan menyeberang jalan, masuk ke halaman masjid. Entah pertimbangan apa penjaga masjid membimbingnya ke bawah beduk terbesar di dunia itu dan menyerahkan pemukul beduk. Dia memukulnya seperti yang diinginkannya. Hanya beberapa pukulan saja yang dapat dia lakukan. Ayahnya membujuknya kembali ke delman membawanya ke kampung halamannya, Desa Seren. Hanya tiga hari dia nikmati halaman rumah masa lalunya, kemudian wafat.
***
Telepon sakuku berdering menerima pesan.
”Ayah di mana? Ibu sudah mau keluar dari hotel, mau beli kembang,” kata Nur.
”Oke aku pulang. Baru jalan pagi di alun-alun.”
”Kok curang nggak ngajak-ngajak.”
”Sudahlah, nanti kita bicara di hotel.”
Aku masuk ke kamar mandi hotel. Bergegas keluar hotel. Kami panggil becak. Kutarik jok tempat duduknya.
”Untuk siapa?”
”Ibu.”
”Dua becak Mas.”
”Mengapa dua?”
”Aku ingin duduk lapang di becak bersamamu.”
”Kita cari sarapan pagi dulu, Mas.”
Kami dibawa berputar-putar mencari makanan yang khas kota kecil ini. Dibawanya kami ke warung dekat tepi sungai. Kupesan kopi panas. Pelayan warung itu menyuguhkan tiga piring suguhan makanan ringan, satu piring Clorot yang dibuat dari jalinan janur, anyaman daun kelapa muda, membentuk bungkus makanan itu seperti terompet. Kubuka lilitan janur itu yang lama-kelamaan terjurai seperti pita memunculkan isinya yang dibuat dari tepung ketan dicampur gula merah lembek kenyal-kenyal seperti jenang. Tapi Nur memanggil pelayan warung tepi sungai itu, dia tidak mau tangannya dikotori daun kelapa muda yang melilitnya dia minta dibukakan dari anyaman daun janur pembungkusnya. Pelayan warung itu meletakkan piring kosong di depan meja tempat duduk Nur. Memencet ujung anyaman seperti kerucut itu dan pelan-pelan isinya muncul dari bulatan bungkus depan. Pelayan warung itu jadi tahu kalau kami tidak pernah makan makanan itu. Kopi panas menyertai Clorot yang mereka suguhkan.
Diparutnya kelapa, ditaburkannya ke atas makanan berbentuk gelang yang baru disenduk dari kukusan anyaman bambu. Dihidangkan di depan kami. Gebleg itu dibuat dari tepung ketela berbentuk gelang yang satu sama lain bersambung seperti rantai ditabur kelapa parut bercampur gula.
”Bawa makanan ini untuk oleh-oleh,” kataku karena sedap. Krimpying bahan tepung ketela berbentuk gelang digoreng kering keras tapi renyah itu dibungkusnya dalam kantong plastik. ”Enak, buatan sendiri?”
”Tidak, buatan penduduk Bruno, kami tidak tahu ada campuran khusus, pembeli-pembeli kami sangat menyukainya, rasanya paling khas kata mereka, kami tidak tahu apa itu khas?”
”Ayo kita ke pasar,” kata ibu Nur, ”kami mau beli kembang, untuk nyekar.”
Kami tinggalkan warung di tepi sungai itu. Becak membawa kami ke pasar. Ibunya Nur membeli dua keranjang bunga rampai dan kami terus ke makam.
Di pemakaman itu kami sulit mencari dua makam ayah dan anaknya, suami dan mertuanya. Kucabut rimbunan semak menyiangi makam. Akhirnya kutemukan makam yang kami cari, R. Soedjatmiko, wafat 31 Agustus 1973. Kutabur bunga rampai. Kusentuh nisan yang bertulis namanya dan kupegang erat pusaranya.
”Maafkan aku Papi… Kutanggalkan ikatan lima ikat rambutan itu, kucampur dengan daun segarnya, kubungkus dengan taplak meja rumah tempat aku kos. Aku tak punya kebun dan pohon rembutan Papi… Maafkan aku membohongimu,” bisikku pelan supaya tidak didengar yang lain.
Wangi bunga rampai semerbak diterbangkan angin mengiring kami keluar dari pemakaman itu meninggalkannya…