Yang punya masalah suami atau istri?” kalimat-kalimat itu sampai juga di telinga mereka.
Akhirnya suami istri itu pergi ke dokter. “Mohon bersabar pak,”
kata dokter kepada pria itu sambil menyerahkan hasil lab. “Istri anda mandul
dan agaknya tidak ada harapan untuk bisa hamil.”
“Kalau begitu, jangan sampaikan ini kepadanya Dok”
“Maksud Anda?”
“Saya khawatir itu akan melukai perasaannya. Dokter katakan
saja kalau saya yang mandul”
“Tidak bisa begitu. Anda kan tidak ada masalah”
Cukup lama mereka berbincang, hingga pria tersebut berhasil
meyakinkan dokter untuk mengatakan sesuai keinginannya.
Entah bagaimana ceritanya, tetangga-tetangga yang dulu
bertanya siapa diantara suami istri itu yang bermasalah akhirnya mendengar
bahwa pria itu mandul. Kabar itu juga sampai kepada kerabat mereka. Kasak kusuk
pun semakin kencang. Meski demikian, rumah tangga keduanya masih bertahan.
Hingga suatu hari, lima tahun setelah hasil lab itu, wanita itu tak dapat lagi
bersabar.
“Sembilan tahun sudah kita berkeluarga, dan selama itu aku
dapat bersabar. Sampai-sampai para tetangga kasihan melihatku dan mengatakan
Ia telah bersabar hidup bertahun-tahun
dengan suaminya yang mandul.’
Terus terang, aku ingin menggendong anak, mengasuh dan membesarkannya. Kini aku tak dapat lagi memperpanjang kesabaranku. Tolong ceraikan aku agar aku bisa menikah dengan laki-laki lain dan mendapat anak darinya,” kata wanita itu kepada suaminya.
Terus terang, aku ingin menggendong anak, mengasuh dan membesarkannya. Kini aku tak dapat lagi memperpanjang kesabaranku. Tolong ceraikan aku agar aku bisa menikah dengan laki-laki lain dan mendapat anak darinya,” kata wanita itu kepada suaminya.
Sang suami dengan sabar mendengar tuntutan itu sambil
menasehatinya. “Ini ujian dari Tuhan sayang… Kita perlu bersabar…”
Mendengar nasehat tersebut, emosi istri sedikit mereda.
“Baiklah, aku akan bersabar. Tapi hanya satu tahun. Jika berlalu masa itu dan
kau tidak juga memberiku keturunan, ceraikan saja aku.”
Selang beberapa bulan, tiba-tiba wanita itu jatuh sakit.
Hasil lab menunjukkan, ia mengalami gagal ginjal.
“Ini semua gara-gara kamu,”
kata wanita itu kepada suaminya yang saat itu menungguinya di rumah sakit,
“Aku terus menahan sabar karenamu. Inilah akibatnya. Sudah tidak punya anak, kini aku kehilangan ginjalku.”
“Ini semua gara-gara kamu,”
kata wanita itu kepada suaminya yang saat itu menungguinya di rumah sakit,
“Aku terus menahan sabar karenamu. Inilah akibatnya. Sudah tidak punya anak, kini aku kehilangan ginjalku.”
“Apa? Kau akan pergi ke luar negeri?” kata wanita itu dengan
nada tinggi, esok harinya ketika sang suami berpamitan kepadanya. Entah
bagaimana perasaannya, ia yang kini bad rest di rumah sakit harus berjuang
sendiri tanpa suami.
“Ini tugas dinas, Sayang. Dan sekaligus aku akan mencari pendonor ginjal
buatmu”
Beberapa hari kemudian, wanita itu mendapatkan kabar gembira
bahwa telah ada seseorang yang mau mendonorkan ginjalnya. Tetapi dokter
merahasiakan namanya.
“Orang itu sungguh baik, Dokter. Ia mendonorkan ginjalnya
untukku tanpa mau diketahui namanya.
setelah proses operasi berhasil dan si istri sudah dibolehkan pulang,
Sesaat setelah dirumah Dengan tak sengaja wanita
itu menemukan hasil lab pemeriksaan bersama suaminya dan secarik kertas di buku harian suaminya di atas meja.
"Sayang,,, apapun akan aku korbankan untukmu. Selama aku masih bisa bernafas,,, tak akan pernah terlepas satu detikpun aku melindungimu. Aku rela kehilangan semua ginjalku, bagiku kamu adalah segalanya untukku. Jangan pernah bersedih dengan semua ini. dan maafkan aku yang telah meninggalkanmu".
Setelah bait demi bait tulisan suaminya dibaca, sejenak nafasnya seperti tertahan, jantungnya seperti berhenti. menangispun sudah terlambat. kini dia tau bahwa suaminya sudah tiada.