Cerita ini terjadi pada beberapa abad yang lalu. Bermula dari pertemuan seorang ulama muslim dengan seorang kafir yang kemudian berkelanjutan dengan dialog yang perlu kita renungkan.
*****
Sebagaimana yang kita ketahui dalam sejarah Islam, terdapat beberapa aliran pada waktu itu, dan bahkan sekarang. salah satu dari peradaban itu adalah bagaimana cara seorang muslim sejati menilai suatu "kebaikan" dan "keburukan". Pada perbedaan itu sebenarnya
menyangkut masalah fundamental keislaman. Kubu Imam Ali Bin Abi Thalib dan Khawarij merupakan sumber utama perbedaan itu. dan dari kedua kubu itulah kemudian menyusup masuk kedalam golongan-golongan lain yang, walaupun tidak memakai nama golongan keduanya.
menyangkut masalah fundamental keislaman. Kubu Imam Ali Bin Abi Thalib dan Khawarij merupakan sumber utama perbedaan itu. dan dari kedua kubu itulah kemudian menyusup masuk kedalam golongan-golongan lain yang, walaupun tidak memakai nama golongan keduanya.
Sebagian kaum muslimin mengatakan bahwa "kebaikan" dan "keburukan hanya dapat ditentukan sunah-Allah (Al-Qur'an) dan sunah Nabi (Hadits). akal tidak mempunyai dan tidak boleh mempunyai saham dalam menentukan keduanya. Sebab, akal sangat terbatas kemampuannya. Maka dari itu barangsiapa menggunakan akalnya dalam beragama, maka ia sesat dan berada diluar jalur Islam. Seperti orang-orang yang bertanya : "Mengapa ayat itu atau hadits itu demikian?". Mereka mengatakan bahwa kita harus menerima dan tidak boleh menggugat apa-apa yang ada didalam ayat dan hadits.
Lain dengan apa yang diyakini oleh kelompok muslimin yang lain. Yang mana sangat mengkristal dalam golongan yang mengikuti Imam Ali Bin Abi Thalib.
Walaupun seabad setelah itu keyakinan tersebut mengkristal pula dalam diri golongan Mu'tazilah. Keyakinan itu adalah suatu keyakinan yang mengatakan bahwa akal manusia dapat mengetahui sebagian kebaikan dan keburukan walaupun tanpa melalui syariat. Dan akal mempunyai saham untuk itu. Seperti dalam menentukan Agama apakah yang paling baik. Hal ini akan kami jelaskan secara lebih rinci pada bab yang menyangkut "Posisi Al-Qur'an terhadap keimanan", insyaAllah.
Namun harus diketahui sebagai inti dari keyakinan golongan ini bahwasannya pertanyaan akal terhadap syariat itu dilakukan demi mencapai syariat yang sebenarnya, bukan syariat yang semu atau diatasnamakan. Sebab, banyak sekali kaum yang sesat, yang sengaja atau tidak, telah bersembunyi didalam harakat-harakat atau lafat-lafat Al-Qur'an atau hadits. Mereka menyeru denga gigih supaya kaum muslimin kembali ke al-Qur'an dan hadits sebagaimana mereka.
sementara mereka meyakini bahwa tidak akan ada orang yang mampu memahami maksud sebenarnya dari al-Qur'an dan hadits. Lalu, kemanakah mereka menyeru? Ke makna atau maksudnya, atau ke harakat dan titik komanya?
Kembali ke al-Qur'an dan hadits bukan merupakan pekerjaan mudah yang bisa dicapai dengan hanya belajar agama dalam beberapa tahun. Lebih-lebih dengan hanya melihat dan membeli buku di trotoar jalan. Sebab, ternyata, sesama penganut al-Qur'an dewasa ini ,bisa saling menyesatkan dan memasukan kedalam dhalalah dan yang lebih mengerikan ke neraka. Dan yang lebih aneh lagi, mereka mengatakan bahwa neraka dan surga adalah urusan Allah.
*****
Bersambung.