Bangku Taman

Taman ini tidak pernah berubah. Daun ketapang yang berserakan di sepanjang trotoar,

burung gereja yang terbang menyongsong pagi, sapaan hangat pengunjung pada saat bertemu pandang, masih sama seperti yang pernah kurekam di dalam ingatan.

Aku duduk di bangku kayu lalu merogoh tisu di dalam saku. Ada remah-remah roti yang sengaja kubawa dari hotel untuk kusebarkan di dekat kaki, seperti yang biasa dilakukan Leila dahulu. Lalu kudengarkan sorak gadis itu di dalam kenangan ketika jalak dan merpati
satu per satu hinggap ke atas tanah mencucuki remah-remah di antara kaki mungilnya.
Mungkin semalam hujan. Bangku yang kududuki agak lembab sehingga warnanya menjadi semakin gelap. Saat bersandar, aku merasakan titik-titik air di sekitar punggung, yang
meresap melalui kaus coklat yang kukenakan. Kepalaku terasa pening. Sejak pesawat tinggal landas, mataku memang tak bisa terpejam.
”Kau harus datang, kau mengerti, Ron?” kata Leila lewat e-mail tempo hari, menutup kabar pernikahannya yang seketika membuat pikiranku tak karuan.
Beberapa pengunjung taman yang melintas di hadapanku melemparkan senyum. Seorang lelaki paruh baya terengah-engah hingga bahunya turun naik dengan cepat. Ia lalu duduk di sampingku.
”Apa kabar?” sapanya sambil mengelap keringat di wajah dan tengkuk lehernya.
”Tidak begitu baik,” kataku, namun tetap berusaha menyembunyikan perasaanku.
Ia terkesiap. Kemudian mengalihkan pandangannya dari wajahku. ”Tentu, cuaca tidak terlalu bagus belakangan ini ya?”
”Bukan, bukan itu. Kekasihku akan menikah.”
Kata-kata itu meluncur saja dari lidahku.
”Benarkah? Ia berkhianat?”
”Tidak, tidak seperti itu.”
Entah mengapa, aku merasa perlu menjelaskan sesuatu kepada lelaki yang baru kukenal itu. Leila tidak pernah mengkhianatiku, kataku sedikit tersinggung. Ia hanya terjebak oleh keadaan, tapi tetap mencintaiku. Maksudku, ibunya menginginkannya menerima pria lain yang datang melamar, sementara aku masih tak dapat memberinya kepastian-kepastian. Kami merentang jarak begitu jauh sehingga timbul keraguan di pihak keluarganya.
Tapi memang sama saja. Semua orang bisa menganggap Leila berkhianat, sedangkan aku tetap bertahan dengan penilaianku sendiri.
Lelaki itu beranjak meninggalkanku. Kulihat seorang wanita tua melambaikan tangan ke arahnya. Aku bergumul lagi dengan kenangan sambil membayangkan Leila di sana, melambaikan tangannya pula seperti wanita itu.
***
Mataku perih sekali. Seperti ada pasir yang bergesekan di antara kelopak dan bola mata. Meskipun sudah lelah, aku tetap tak bisa memaksanya terpejam.
Akhirnya kuputuskan pergi ke luar. Kupakai sweater ungu hadiah dari Leila pada ulang tahunku yang lalu. Ia bangga menuliskan pada secarik kertas yang diselipkan di antara lipatannya, ”Beli di Tanah Abang. Dikirim buat Abang di negeri seberang. Leila.” Dadaku berdesir mengingatnya. Bahan sweater ini tebal. Cukup hangat untuk dipakai ke luar asrama. Modelnya juga aku suka. Teman sekamarku yang sama berasal dari Indonesia berkelakar, ”Embargo, embargo Tanah Abang, ha-ha-ha-ha.”
Tadinya aku hendak kembali ke taman. Namun, kukira jalan menuju ke sana terlalu gelap. Lagi pula malam ini pasti banyak pasangan muda-mudi yang duduk-duduk di situ. Aku hanya akan terjebak dalam kenangan demi kenangan bersama Leila.
Kakiku, tanpa kepastian hendak berjalan ke mana, terasa kian lemah. Tapi aku tak ingin segera kembali ke hotel. Sekonyong- konyong, kuhentikan taksi pertama yang melintas. Aku duduk di depan. Tiba-tiba saja aku ingin diantarkan ke rumah Leila. Saat kami meninggalkan jalan besar aku tersadar, malam sudah begitu larut.
Sepi sekali. Pohon-pohon di sisi jalan membentuk bayangan seram. Sedikit saja cahaya bulan yang jatuh lewat celah-celah dahannya. Suara operator taksi di pangkalan sesekali menyembul keluar lewat radio pemanggil. Seakan-akan hendak mempertegas suasana malam.
Kaca mobil kuturunkan dan angin berembus lembut di keningku. Kamar Leila, yang berada di lantai dua dan langsung menghadap pagar, tampak masih terang. Tirai jendela sudah ditutup. Suara handphone mengagetkan aku.
”Sudah landing? Atau tidak datang? Kau jahat!” Pengirimnya Leila. Belum sempat kubalas, masuk satu pesan lagi. ”Aku tak tahu harus bagaimana mengatakannya. Jemput aku pagi-pagi sekali, Ron! Aku tahu kau akan datang. Kau akan membawaku pergi, kan?”
Dadaku berdeburan rindu. Aku tak tahu bagaimana harus mengatasi diriku. Kucoba memejamkan mata hingga kedua kelopaknya mengerut sambil memerintahkan si sopir untuk membawaku kembali ke hotel.
Rupanya aku tertidur sepanjang perjalanan pulang. Sopir membangunkanku ketika taksi sampai di depan hotel.
Saat itu kusadari, sosok yang sejak tadi duduk di sampingku adalah seorang perempuan.
***
Namanya Dina. Ia bukan wanita yang ramah. Namun, jika kau memerhatikan caranya duduk selama menungguku di lobi hotel, kau akan terkesima. Dina lebih anggun dari siapa pun yang pernah kukenal, kecuali Leila tentunya.
Aku terlambat menemui Dina karena terlampau lelap tertidur. Kulihat jam tangan menunjukkan pukul setengah sepuluh. Ia menampakkan mimik geram dan aku segera meminta maaf. Lagi pula aku heran, bagaimana ia bisa datang tepat waktu, padahal semalam masih membawa taksi. Tapi aku tak mau menyinggung masalah itu. Aku cukup memerhatikan matanya yang merah untuk mengerti bahwa Dina, selain anggun dan tidak ramah, adalah tipikal orang yang menepati janji.
Aku mengajaknya sarapan di luar. Ya, kau benar, aku mengajaknya ke taman itu. ”Leila senang bila kuajak makan bubur di sini,” kataku membuka pembicaraan. Dina tak menanggapi sepatah kata pun dan kami berdiam sampai bubur yang kami pesan dicicipinya.
”Rasanya biasa,” ujarnya heran.
”Tidak, bukan soal rasa.”
Aku sengaja berhenti di situ untuk memerhatikan responsnya.
”Leila senang memerhatikan penjualnya,” lanjutku. ”Coba tengok!”
Kutuntun matanya ke arah pasangan tua itu. Dari tempat duduk, kami, setidaknya aku, merasakan hangatnya cinta mereka berdua. Sementara si kakek melayani pembeli, istrinya membersihkan piring, gelas, dan sendok. Sesekali ia menyeka keringat di kening istrinya dengan ibu jarinya, lalu keduanya saling tersenyum.
Dina berdiam diri untuk memberiku kesempatan berbicara.
Kami tumbuh di keluarga yang tidak sempurna, kataku mulai bercerita. Ibuku bukan wanita yang baik. Ia pergi dari rumah demi memilih kesenangan yang dijanjikan pria kaya yang ditemuinya dalam suatu perjalanan. Ayah Leila pun demikian, jatuh ke pelukan perempuan tidak terhormat yang sejak itu menghunjamkan kecemasan di lubuk hatinya. Kami menemukan sebagian diri kami satu sama lain. Sejak menyadarinya, aku merasa ia adalah perempuan yang dapat kupercaya. Demikian pula, barangkali ia merasa nyaman untuk memercayaiku sebagai kekasihnya.
Dina memerhatikan penjual bubur itu lagi. Entah apa yang ia pikirkan ketika kukatakan kepadanya: aku dan Leila senantiasa mendapati bayangan diri kami muncul pada siluet pasangan tua itu.
Sebagian hari itu kami habiskan untuk berbelanja. Aku membelikannya pakaian untuk ia kenakan pada resepsi pernikahan malam harinya. Aku, yang merasa akan kesulitan mengendalikan sikap bila bertemu Leila, membayar Dina untuk pertolongan ini.
Sampai saat itu, aku belum menjawab SMS dari Leila, yang memintaku untuk membawa pergi dirinya. Beberapa telepon darinya juga tidak kuangkat. Atas saran Dina, kuurungkan pula niat untuk menghubunginya sebelum berangkat meski sekadar mengucapkan semacam perkataan, ”Aku akan datang.”
Ya, akhirnya kami datang juga ’kan? Dari pintu masuk kulihat kau berdiri di samping Leila. Menyalami undangan yang datang seraya mengembangkan senyum yang santun. Pakaian kalian bagus sekali. Kau pandai memilihkan Leila gaun pengantin yang baik.
”Selamat ya, Mas,” kata Dina kepadamu setelah memerhatikanku kesulitan mengucapkan sepatah kata pun.
Sebelum meninggalkan pesta, sempat kusaksikan kau merangkul Leila yang berlinang air mata. Tapi kau pun tak perlu cemas. Aku tumbuh di keluarga tak sempurna yang telah jauh-jauh hari mengajarkan sesuatu kepadaku. Aku takkan mengganggumu.
***
Sesuatu telah menuntunku kembali ke taman ini. Aku duduk di bangku seorang diri sambil merogoh tisu di dalam saku. Ada remah makanan yang sengaja kubawa dari acara resepsimu untuk kusebarkan lagi di dekat kakiku, seperti yang biasa dilakukan Leila dahulu. Lalu kudengarkan sorak gadis itu di dalam kenangan ketika burung-burung satu per satu hinggap ke atas tanah mencucuki remah-remah di antara kaki-kakiku. Kubayangkan juga ngilu di hatimu saat membaca kertas- kertas, yang kutinggalkan di bangku taman ini. Itu pula ngilu hatiku.
Jalak dan merpati setia menemaniku hingga pagi nanti sebelum pengunjung taman satu per satu berdatangan lagi dan salah seorang di antara mereka yang hendak duduk-duduk di bangku ini kemudian menjerit, ”Mayat! Ada mayat!”
Sudahkah tulisan ini sampai ke tanganmu?