Di kampungku, Tana Toraja, aura kematian sering kali berembus seperti angin. Jika terlihat secarik kain putih melambai di halaman tongkonan, itu pertanda ada orang yang masih hidup meski sudah mati, ”to makula”.
Di sini, kematian dirayakan dengan biaya yang tak sedikit.Inilah akibatnya.
Di sini, kematian dirayakan dengan biaya yang tak sedikit.Inilah akibatnya.
Sudah hampir sepuluh tahun Ambe terbaring di dalam erong, seolah menanti upacara rambu solo yang tak kunjung dilaksanakan oleh sanak keluarga. Sebab, tak ada dana atau belum dan jauh dari mencukupi walau kami tengah mengupayakannya. Hingga hari ini.
Pagi tak lagi halimun. Kulihat Indo sedang sarapan dengan Ambe yang masih sakit, terbujur kaku di dalam peti mati itu. Nyawanya menjelma arwah, tapi tetap tinggal kendati tidak menyatu dengan jasad. Menderitakah ia menjadi bombo?
”Selamat pagi, Ambe. Aku mau berangkat.”
Cahaya matahari, yang bangkit menembus celah dinding di sumbung, menimpa tubuh Ambe yang susut dan pakaian kebesarannya tampak berdebu.
”Hati-hati, Anakku. Semoga dalle-mu hari ini berkah. Berkat dari langit.” Jawaban Indo seperti doa.
Sering kulihat rona wajahnya tak ada duka meski ia sudah lama berkabung. Mungkin karena itu hatinya tak lagi berkabut. Menjalani hari dengan bahagia walau keadaan seperti ini. Ia mengantar kepergianku sampai depan pintu. Aku tahu, ia selalu menaruh harap agar aku cepat dapat uang untuk upacara kematian Ambe. Letihkah Indo merawat Ambe?
Cuma tongkonan ini yang kami punya atau yang tersisa. Indo hanya istri kedua Ambe. Katanya, dulu banyak kerabat tidak setuju ketika mereka menikah dan kakak-kakak tiriku menerima dengan syarat menuntut pembagian harta sebagai ahli waris mendiang ibu mereka. Sekarang, Ambe tak memiliki harta peninggalan, bahkan buat perayaan kematiannya sendiri. Anak-anaknya terdahulu pun seperti tak peduli. Tinggallah aku dan Indo yang menanggung beban. Berat, entah sampai kapan kami mampu menahan.
Aku pulang membawa hasil yang lebih dari biasanya walau aku tidak menjadi guide. Lumayan. Ukir-ukiran aku hampir habis dan beberapa lembar tenunan Indo laku. Dibeli oleh turis asing dan lokal yang lalu lalang. Sebenarnya masih siang meski sudah menjelang sore. Dan, aku mendapatkan kejutan kecil.
Margaretha Sua datang berkunjung. Dari Makale ke Rantepao menempuh jarak yang tak jauh. Ia perempuan mamasa dan sudah jadi pegawai. Akhir-akhir ini aku jarang bertemu dengannya. Kami tidak sering bersama setelah ia pindah mengikuti orangtuanya. Kami duduk di kolong alang. Alih-alih melepas rindu, wajahnya malah mendung membawa kabar tak baik.
”Upta, dia ingin segera melamarku,” segan perempuan itu berucap. Bibirnya seperti bunga yang kusuka, tapi ia mengeluarkan sengat.
”Kau mau menerimanya?” Aku mengumpulkan perasaanku yang tadi berhamburan untuk mengatakan itu.
”Aku cuma dikasih waktu sedikit buat berpikir,” ujarnya pelan dan tergugu, barangkali isak.
”Etha, bilang saja kalau kita hanya bisa sampai di sini.” Aku terempas seperti udara sisa di hidungnya.
Margaretha Sua menatapku kisruh, ”Aku tidak mau jadi biarawati.”
”Aku cuma dikasih waktu sedikit buat berpikir,” ujarnya pelan dan tergugu, barangkali isak.
”Etha, bilang saja kalau kita hanya bisa sampai di sini.” Aku terempas seperti udara sisa di hidungnya.
Margaretha Sua menatapku kisruh, ”Aku tidak mau jadi biarawati.”
Ia terlalu dirasuki cerita tantenya yang hidup selibat lantaran ditinggalkan kekasihnya yang tak mau menunggu. Upacara kematian bapaknya, kakek Margaretha Sua, tertunda lama. Kini perempuan di hadapanku takut berlomba dengan kematian neneknya.
”Maafkan aku.”
”Aku yang minta maaf.”
Margaretha Sua pergi, pelan-pelan mengabur dari penglihatanku ditelan tikungan jalan. Mungkin ia membawa luka atau lega? Ia seperti tidak setia.
Petang di ambang hari. Senja melumuri langit. Seketika bayangan gelap datang dari barat. Sementara aku tengah memandang di bukit utara itu yang dipenuhi tebing-tebing. Gunung-gunung batu yang di kakinya rimbun belukar rimba. Semak-semak raksasa yang tak habis untuk dikuak.
Mungkin Tuhan menjelma hutan hingga belantara itu dihuni arwah-arwah. Segala yang sudah mati hidup di sana seperti alam baka. Rindukah Ambe untuk ke sana sebagai tomembali puang? Bergabung dengan tau-tau yang asyik bertengger atau bernaung di pohon-pohon suaka ketika malam tiba bagai mengulang masa kanaknya. Seperti apakah kehidupan di puya?
Dan, sampai kapan aku harus menanggung? Tabunganku tidak akan genap sekeras apa pun aku berusaha. Maafkan aku, Ambe, bila aku mengeluh. Aku sedang patah hati, mungkin putus asa. Indo tidak bisa dibujuk.
”Adalah larangan melakukan rambu tuka, apalagi rampanan kappa, apabila rambu solo belum diselenggarakan. Ambemu masih sakit. Rohnya masih terkatung-katung di alam sana.” Kata Indo seolah memegang kukuh wasiat Ambe. Tapi, aku menerka ini kemauannya.
”Kenapa? Apakah itu menyalahi aluk?” Aku tak tahu apa aku sedang menggugat adat yang aku yakini sendiri.
”Itu sama saja kau meminta hakmu tanpa menunaikan kewajibanmu sebagai anak.” Indo seolah berkata, tunjukkan baktimu.
”Dulu Ambe pernah bilang padaku, hidup itu untuk mati. Dunia ini tempat persinggahan dan mati adalah pintu ke puya, di kehidupan yang sesungguhnya,” jelasku punya maksud
”Iya, itu betul. Lantas?” kejar Indo mencium niatku.
”Kata Ambe carilah bekal, dalle buat mati. Biar kelak tidak menyusahkan keturunanmu. Seharusnya Ambe juga begitu.” Aku tertunduk sebab lancang, ada sesal yang hinggap. Aku tak berani melihat Indo yang mungkin tengah membelalakkan mata, tak menyangka.
”Indo merasa tidak pernah kurang mengajarimu, Upta.” Ia memanggil namaku seakan aku bukan anaknya lagi. Dapat kudengar hela embusnya kecewa, ”Ambemu perlu kunci untuk membuka pintu ke puya, rambu solo. Perjalanan ke sana jauh sekali butuh kendaraan, tedong bonga, agar cepat sampai.”
”Beberapa babi dan seekor kerbau aku kira sudah cukup, Indo. Tedong bonga ratusan juta harganya. Kita mana sanggup.”
”Kau ini! Ambemu keturunan tana bulaan. Bukan orang sembarangan. Kalau cuma itu, sudah dari dulu Indo melakukan rambu solo. Tak perlu menunggu bertahun-tahun. Dengar, Upta. Ini bukan asal upacara, tapi martabat yang mesti dijunjung. Kau tahu itu! Ambemu akan tersesat karena ulahmu.” Suara Indo melangit seperti bulan yang pongah.
”Aku lebih bangga kau merantau ke Papua. Di sana kau bisa dapat uang banyak ketimbang di sini. Atau kau mau mati di sana, terserah.” Indo bicara terus sebab aku seperti patung, kepala batu. Indo kenal sekali tabiatku, kalau ada mau diam tapi rusuh.
”Kau tidak bakal ada di dunia ini kalau tak ada Ambemu yang meminta kau dilahirkan.” Indo berkata tega. Napasnya panas. Kubayangkan, dulu mungkin ia hendak menggugurkan dan menguburkanku di pohon nangka, tapi dicegah oleh Ambe. Keberadaanku kau tampik, benarkah kabar itu?
”Matahari siang dan bulan malam tidak pernah bertemu. Kalau sampai itu terjadi, itu artinya kiamat! Kau boleh menikah, tapi bukan di tongkonan ini dan tanpa restu dariku,” cetusnya mengancam. Indo menarik kakinya pergi ke sumbung, kebiasaannya sesenggukan di sana. Meratapi Ambe dan nasib. Atau masa lalu yang berusaha ia tutup dan simpan.
Malam benar-benar rindang. Beberapa kerabat dan tetangga datang. Kami main kartu sampai suntuk. Aku menyuguhkan kopi dan penganan seadanya. Mereka membawa ballo. Sunyi dingin meruap.
”Upta Liman, itu bukan sepenuhnya bebanmu dan keputusan ada di tangan kakak-kakakmu yang telah abai di perantauan,” ujar Tato Randa bijak. Ia pamanku dari pihak Indo dan teman Ambe sebagai pemangku adat.
”Seperti bukan orang Toraja saja mereka itu. Mabuk di kampung orang sampai lupa kampung sendiri,” imbuh Urru, teman seprofesiku yang sudah oleng. Entah berapa gelas tuak ia tenggak.
”Kewajibanmu cuma mengingatkan meski kau harus menanggung belasungkawa yang menunda kegembiraan di tongkonan ini,” lanjut Tato Randa. Menimbulkan tanya di benakku yang keruh. Adakah rahasia yang kalian taruh?
”Kecuali kalau Indomu rela memutus hubungan dengan membayar nilai salah yang tak seberapa,” celetuk Tante Ully tak dinyana. Tanteku ini perempuan tua yang agak lain pikirannya. Ia melenggang setelah mendapat isyarat diam dari yang hadir selain aku, pergi menemani Indo di kamar. Matanya bicara padaku.
Kami kembali melanjutkan berembuk, tapi aku tidak berminat lagi. Mereka membujuk.
”Kontaklah saudara-saudaramu itu untuk segera pulang. Urusan ini harus lekas dibereskan. Kami di sini sudah siap memberikan bantuan. Nanti kami ajukan proposal ke pemda buat diikutkan program pariwisata Natal dan Tahun Baru. Babi-babi dan kerbau akan kami sumbangkan. Kurangnya kalian usahakanlah.”
Ah, bantuan ini adalah utang moral. Bakal malu jika tidak bisa mengembalikan, ketika kelak di antara mereka ada yang meninggal. Setara atau lebih dan aib akan aku tanggung bila tak mampu. Masih sakralkah perayaan kematian ini? Mereka pamit.
”Indomu sulit berdamai dengan masa lalunya. Dulu ia berbuat dosa dan mencari selamat. Orang-orang kampung tak jadi mengusirnya. Ketahuilah dari silsilah,” bisik Tante Ully sebelum pulang. Selain kakak-kakak tiriku, yang aku tahu Ambe pernah menikah dengan janda kaya punya satu anak yang tak pernah kulihat dan tidak kutahu keberadaannya.
Ambe dari manakah aku mulai merunut? Kini aku berbaring lelap di sebelahmu. Hendak menerima jawab.
”Kenapa Ambe menikahi Indo?” tanyaku seakan rohnya masih bersemayam dalam tubuh.
”Karena aku mencintai Indomu.”
Lama kutatap Ambe. Kuperhatikan saksama.
”Apakah Indo mencintai Ambe?”
Sebab ia terlalu lansia buat jadi Ambe.
”Tanyakan itu pada Indomu.”
Ia seolah tersenyum serupa sunggingan orang yang tidak punya gigi. Aku terjaga.
Pagiku dibuka dengan kedatangan tamu. Ribut, suara Indo ramai di halaman ketika aku menuruni tangga. Lelaki itu lagaknya seperti turis lokal dengan badan tambun. Tubuh Indo bergetar, kusut dan berantakan, menghalanginya masuk.
”Aku punya hak atas rumah tongkonan ini, aku ahli warisnya!” tuntutnya tanpa melepas kacamata riben di wajahnya.
”Kamu siapa?” aku maju di muka Indo.
”Aku anak dulu dari Indoku. Istri pertama Ambemu. Tongkonan ini akan kujual. Pembelinya sudah ada. Sertifikatnya masih atas namaku, belum ada balik nama.” Jelasnya beruntun.
”Rantedoping, ahli waris sudah berpindah tangan sejak kau pergi dan tak ada kabar. Biar nanti adat yang menentukan.” Indo bersikeras.
”Siapa ahli warisnya, kau?”
”Bukan. Upta Liman, anakmu.”
Baru kulihat airmata Indo menetes.
Lelaki itu menatapku nanap dan aku terlongo saat Indo hampir rebah pingsan. Kupeluk Indo yang begitu ringkih.
Toddopuli 2 STP 8
Catatan:
Ambe: ayah
Indo: ibu
Tongkonan: rumah adat orang Toraja
To makula: orang mati yang belum diupacarakan, masih dianggap sakit
Erong: peti mati
Rambu solo: upacara kematian khas Toraja
Bombo: roh yang menunggu upacara
Sumbung: bagian belakang rumah tempat menyimpan mayat
Dalle: rezeki
Alang: tempat menyimpan padi miniatur tongkonan
Rambu tuka: upacara kegembiraan
Rampanan kappa: pesta pernikahan
Aluk: adat
Tomembali puang: roh yang sudah diupacarakan berwujud setengah dewa
Tau-tau: boneka kayu, wujudnya menyerupai orang yang diupacarakan
Puya: surga
Ballo: tuak
Tana bulaan: kaum bangsawan tertinggi
Ambe: ayah
Indo: ibu
Tongkonan: rumah adat orang Toraja
To makula: orang mati yang belum diupacarakan, masih dianggap sakit
Erong: peti mati
Rambu solo: upacara kematian khas Toraja
Bombo: roh yang menunggu upacara
Sumbung: bagian belakang rumah tempat menyimpan mayat
Dalle: rezeki
Alang: tempat menyimpan padi miniatur tongkonan
Rambu tuka: upacara kegembiraan
Rampanan kappa: pesta pernikahan
Aluk: adat
Tomembali puang: roh yang sudah diupacarakan berwujud setengah dewa
Tau-tau: boneka kayu, wujudnya menyerupai orang yang diupacarakan
Puya: surga
Ballo: tuak
Tana bulaan: kaum bangsawan tertinggi