tag:blogger.com,1999:blog-71661268756529074482024-02-19T00:20:26.822-08:00Karawang BerbagiKey Line (blogger Karawang)http://www.blogger.com/profile/14483151894163779873noreply@blogger.comBlogger83125tag:blogger.com,1999:blog-7166126875652907448.post-36883055498733196972015-03-10T04:28:00.001-07:002015-03-10T04:29:08.696-07:00Cerpen Kompas - Penguburan Kembali Sitaresmi<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-size: small;"><b><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhVoqzAdft4-YIaDpS3g2W5JN6RRmD3OaXQ6KLyNQV_LIAhf6r5ndBr6BbY720YQQjMhyVNdokaBgYK6XOjJXubs0gZyXPwxopXujfuddopjmDIStsnjLamhwwsepbC7LRjDKfzxKODMQ/s1600/penguburan-kembali-sitaresmi-ilustrasi-jitet.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhVoqzAdft4-YIaDpS3g2W5JN6RRmD3OaXQ6KLyNQV_LIAhf6r5ndBr6BbY720YQQjMhyVNdokaBgYK6XOjJXubs0gZyXPwxopXujfuddopjmDIStsnjLamhwwsepbC7LRjDKfzxKODMQ/s1600/penguburan-kembali-sitaresmi-ilustrasi-jitet.jpg" /></a></b></span></div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><b>SELAMA</b> 50 tahun aku dipaksa menjadi orang bisu.
Selama 50 tahun warga kampung mungkin sudah menganggap aku sebagai batu
berlumut. Namun karena kau bersama puluhan anak muda tiba-tiba berniat
membongkar gundukan menyerupai kuburan dan ingin memakamkan kembali
siapa pun yang dibunuh dan dikubur di gundukan batu menyerupai makam di
Bukit Mangkang, aku harus menceritakan kisah pembantaian konyol kepada
24 perempuan tangguh itu kepadamu.<span id="more-5156"></span></span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Aku tak akan mengisahkan cerita lama kepada para penganggit kisah
sepertimu. Aku tak akan bercerita tentang Lembulunyu dan 23 pasukan
berani mati yang begitu ganas menyiksa para serdadu yang tersesat di
hutan. Aku tak akan berkisah tentang perempuan-perempuan yang bisa
berubah jadi lembu-lembu terbang meskipun hujan terus-menerus menghajar
rerimbun pohon jati.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Tetapi orang-orang sudah telanjur percaya pada cerita lama.
Orang-orang telanjur percaya di Bukit Mangkang terkubur Lembulunyu
bersama perempuan-perempuan tangguh yang setiap Kamis malam bisa
dimintai nomor togel. Orang juga percaya Lembulunyu—yang bisa menghilang
dan menyusup ke tubuh lembu paling tambun saat dikejar-kejar musuh—tak
ditembak oleh serdadu, tetapi minum racun bersama 23 perempuan lain
setelah sebelumnya mereka membunuh lebih dari 100 serdadu dengan
menanduk lambung atau menginjak-injak kepala hingga pecah,” katamu.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Kau percaya pada kisah konyol yang diembuskan oleh para serdadu culas yang sedang mabuk itu?”</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Apakah salah percaya pada hal-hal yang menakjubkan? Bukankah kisah-kisah para nabi di kitab-kitab suci juga menakjubkan?”</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Masalahnya kita tak hidup pada zaman para nabi. Masalahnya kita tak
hidup di kitab-kitab suci, di alam yang serba-ajaib. Karena itu,
sebaiknya percayailah kisahku. Kisah tentang pembantaian dalang bernama
Sitaresmi dan 23 perempuan lain yang kelak kau ketahui sebagai sinden
dan penabuh gamelan itu.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><b>“TAK</b> semua orang akan percaya pada kisahmu. Kecuali jika….”</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Kecuali jika aku menjadi saksi pembantaian itu bukan? Kurasa akulah
satu-satunya saksi yang masih hidup. Waktu peristiwa itu terjadi aku
berusia 17 tahun dan pandanganku—meski terhalang hujan yang turun
terus-menerus—masih sangat waras. Aku masih remaja penasaran dan ingin
tahu segala yang terjadi. Meskipun menyaksikan dengan gemetar, aku masih
bisa membedakan siapa yang ditembak, siapa yang menembak. Aku masih
bisa memergoki beberapa jip dan truk yang mengusung perempuan-perempuan
malang yang hendak dibantai di tengah hutan, masih bisa menghitung
berapa tentara yang <i>pethenthengan</i> sebelum mereka menghajar kepala-kepala ringkih dengan gagang bayonet.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Kepala-kepala mereka, sebagaimana kepala kita, sungguh sangat
ringkih. Tak ada yang tidak pecah saat dihajar popor tentara. Tak ada
yang utuh dan tak berceceran—kecuali kepala Sitaresmi—saat dihantam
beberapa peluru serdadu.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Sitaresmi tidak bisa dibunuh saat itu?”</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Dalang perempuan asal Kendal yang mahir mengoprolkan wayang dengan
sabetan-sabetan sangat cepat itu sepertinya dilindungi oleh semacam
karet tak tembus peluru. Semua peluru mental dari tubuh.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Apakah karet pelindungnya berlapis-lapis?”</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Ya, karet pelindungnya berlapis-lapis. Kuharap kau tidak meledek
kisah yang terdengar konyol ini. Aku tahu siapa pun akan sulit
memercayai kisah dalang perempuan tak tembus peluru. Aku tak peduli kau
percaya atau tidak. Aku sekadar ingin mengatakan, hanya karena Sitaresmi
dan 23 perempuan penabuh gamelan dan sinden selalu memainkan lakon <i>Dewa Sampun Pejah</i>, mereka dikejar-kejar serdadu. Mereka dianggap antek Gerwani. Mereka dianggap telah menghina Gusti Allah.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Kau tahu apa isi lakon <i>Dewa Sampun Pejah</i>? Ini hanyalah kisah
biasa tentang Drupadi yang yang dilucuti pakaiannya di Istana Kuru oleh
Dursasana. Kisah tak istimewa tentang penelanjangan Drupadi oleh
Dursasana yang digagalkan Kresna. Saat itu Kresna menutupi tubuh Drupadi
dengan bentangan jarit tak putus-putus sehingga tak seorang pun bisa
menatap tubuh tangguh istri Yudistira itu.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Ya memang bukan cerita yang luar biasa,” katamu, “Jadi, apa yang membuat Sitaresmi dikejar-kejar para serdadu?”</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Tak ada yang luar biasa andaikata Drupadi dalam lakon itu tidak
bilang, “Dewa telah mati. Ya, Dewa telah mati karena Dia—sebagaimana
Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa—tak berkutik saat Dursasana
dan Duryudana melecehkan aku. Di mana Dewa saat manusia-manusia utama di
dunia tak sanggup menolongku?”</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Lalu, apa hubungan lakon itu dengan pembantaian di Bukit Mangkang?”</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Tentu saja tidak ada. Akan tetapi pada Desember 1965 setiap alasan
bisa digunakan untuk membunuh siapa pun yang dianggap musuh. Kau bisa
membunuh orang-orang yang kau benci hanya dengan menuduh mereka sebagai
tukang santet. Kau bisa membunuh perempuan paling cantik dengan hanya
menuduh dia sebagai penyebar agama sesat.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Kau hendak memaksaku percaya bahwa Sitaresmi tidak bersalah?”</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Tentu saja dia tidak bersalah.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Kau juga ingin memaksaku percaya pada kisah kekebalan Sitaresmi?”</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Aku tak membutuhkan persetujuan orang lain untuk mengisahkan apa pun
yang terjadi pada Sitaresmi. Kau boleh tertawa keras-keras saat
mendengarkan kisah bunyi <i>klonthang-klonthang</i> yang berdentang
teramat keras ketika para serdadu menghantam kepala Sitaresmi dengan
popor senapan. Kau juga boleh tertawa saat kukatakan Sitaresmi tak lebih
dan tak kurang adalah penjelmaan Dewi Sri—istri Batara Indra—yang tak
akan bisa dibunuh oleh manusia sesakti apa pun.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Baiklah, aku akan berusaha percaya,” katamu memancing, “tetapi apa
yang sesungguhnya terjadi saat itu sehingga 24 perempuan harus dibantai
dan dikuburkan secara paksa?”</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Segalanya bisa begitu gampang terjadi gara-gara tak satu pun peluru
serdadu bisa menembus tubuh Sitaresmi. Ini membuat Komandan Regu Tembak
berang. Tak hanya marah-marah, dia kemudian meminta para penembak
mengikat tubuh Sitaresmi di pohon jati.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Kalau tak mati ditembak, tusuk saja lambungnya dengan bayonet!” teriak Komandan Regu Tembak memberi perintah.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Para penembak pun menusukkan bayonet ke tubuh Sitaresmi, tetapi hanya terdengar semacam benturan besi dengan besi.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Tusuk matanya!”</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Para penembak menusukkan bayonet ke mata, tetapi hanya terlihat
semacam perisai cahaya yang menghalangi siapa pun menatap Sitaresmi
menyanyikan tembang “Maskumambang”. Tembang berbunyi: <i>kelek-kelek biyung sira aneng ngendi/ enggal tulungana/ awakku kecemplung warih/gulagepan wus meh pejah2</i> itu dinyanyikan lirih, tetapi entah mengapa bisa kudengarkan dengan sangat jelas.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Tetap tak bisa membunuh Sitaresmi, Komandan Regu Tembak rupa-rupanya
tidak kehilangan akal. Dengan sigap, dia berteriak, “Jika salah satu
dari kita tak bisa membunuh Sitaresmi, bukan tidak mungkin para sinden,
yang mungkin tahu rahasia sang majikan, justru bisa dengan mudah
menghabisi dalang sialan itu. Beri mereka belati. Suruh mereka menguliti
tubuh Sitaresmi!”</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Para penembak memanggil tiga sinden dan segera memberi mereka belati.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Tiga sinden tegang. Mungkin mereka gamang melukai perempuan kencana yang sangat mereka kasihi.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Lakukan sekarang!” teriak Komandan Regu Tembak.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Tiga sinden kian tegang. Mereka bergeming. Mereka ketakutan. Mereka gemetar.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Lakukan sekarang!” teriak Komandan Regu Tembak sekali lagi.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Di luar dugaan, tiga sinden itu justru berbalik ke arah penembak dan
berupaya menusukkan belati ke dada para penembak. Tindakan konyol itu
berakibat fatal. Para penembak lebih cepat melesatkan peluru ke tubuh
para sinden. Daging-daging tubuh para sinden pun memburai. Darah
mengucur di antara hujan yang terus mengguyur.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Masih ada yang akan melawan perintahku?” kata Komandan Regu Tembak.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Tak ada yang berani menjawab. Tak ingin ada korban lagi, Sitaresmi
memberi isyarat kepada para penembak agar mendekat. Aku tak bisa
mendengarkan segala yang mereka perbincangkan. Aku hanya tahu tiba-tiba
para penembak mengeluarkan seluruh peluru dari senapan dan mereka
beramai-ramai mengencingi timah pembunuh itu.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Apakah akhirnya Sitaresmi terbunuh oleh peluru yang sudah bersepuh urine para penembak itu?” tanyamu.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Apakah perlu kuceritakan?</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Tak perlu. Siapa pun akan mudah menebak apa pun yang terjadi. Siapa
pun akan menganggap kamu gila. Siapa pun akan menganggap ceritamu
berlebihan.”</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Aku tak peduli. Aku hanya ingin orang tak percaya lagi pada cerita
tentang Lembulunyu dan lebih memilih mengisahkan kepada siapa pun kisah
Sitaresmi.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Dan itu tak mungkin terwujud. Kau akan berhadapan dengan orang yang
tidak percaya pada kisahmu. Sebagian kisahmu memang bisa dianggap benar,
sebagian yang lain sedikit keliru, sebagian lain, aku yakin, hanya
terjadi di kepalamu. Kau tidak bisa melawan mitos dengan mitos. Kau
jangan terlalu percaya diri menganggap kau sebagai satu-satunya saksi.
Bisa saja akan ada saksi lain yang akan menceritakan penembakan
Sitaresmi dan 23 perempuan itu dalam versi lain.”</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Aku tak peduli akan ada saksi lain atau tidak. Kalaupun ada saksi
lain, mereka—yang dipaksa menggali makam dan mengubur mayat-mayat
berserakan—toh sudah mati diberondong senapan.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Jadi, mengertilah, aku hanya ingin mengatakan kepadamu, tak ada
gunanya lagi kisah ini ditutup-tutupi. Karena itulah, aku setuju ketika
kau bersama Komunitas Rekonsiliasi Kanan Merah dan Kiri Putih akan
membongkar makam dan menguburkan tulang-tulang mereka kembali dengan doa
yang sebenar-benar doa. Dulu kami tak pernah bisa mendoakan mereka. Aku
tahu membongkar makam berarti membongkar hal-hal lain. Membongkar
kuburan ini sama saja membuat kuburan untuk orang-orang yang masih
hidup. Bisa saja mereka yang terlibat dalam pembunuhan itu akan ganti
dikejar-kejar serdadu, segera diadili dan bukan tidak mungkin juga
ditembak mati.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Tidak! Tidak! Aku tak ingin para penembak itu dibantai layak anjing
buruan. Setelah semua kisah kuceritakan kepadamu aku tak akan mau
menjadi saksi bagi siapa pun. Aku akan membisu lagi. Aku hanya ingin
menjadi saksi hidup bagi pembongkaran, penguburan kembali
tulang-belulang, pengiriman doa bagi para arwah, dan senyum manis
terakhir Sitaresmi.</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Senyum manis? Ya, sebab aku yakin setelah 50 tahun dikubur di bawah
rerimbun pohon jati, ketika semua tulang-belulang 23 perempuan lain
membusuk dan merapuh, senyum dan tubuh Sitaresmi tak akan berubah.
Tubuhnya tak membusuk. Tak ada lubang bekas peluru di tubuhnya yang
berbau harum itu. Tak ada kulit yang disayat. Tak ada ulat yang
menggerogoti. Tak ada…</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Karena itu, segera salin seluruh kisahku. Aku akan membisu lagi. Aku
tak akan bicara lagi. Aku takut, seperti dulu, mereka memaksaku minum
racun lagi… (*)</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Triyanto Triwikromo. Lahir di Salatiga,
selain wartawan ia adalah dosen penulis kreatif di Universitas
Diponegoro, Semarang. Kumpulan cerpennya <i>Rezim Seks</i> (1987), <i>Ragaula </i>(2002), <i>Sayap Anjing</i> (2003), <i>Malam Sepasang Lampion</i> (2004), dan <i>Ular di Mangkuk Nabi </i>(2009).</span></span></div>
<div class="”fullpost”" style="text-align: justify;">
</div>
Key Line (blogger Karawang)http://www.blogger.com/profile/14483151894163779873noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7166126875652907448.post-62463340778869895952015-02-08T04:49:00.000-08:002016-09-24T05:56:35.069-07:00100 Hari tidak kuat memandang foto suami <div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">Empat tahun sudah keduanya menikah. Namun pasangan suami istri itu belum juga
dikaruniai buah hati. Mulanya mereka tidak merasa ada masalah. Namun saat
terdengar bisik-bisik tetangga, sang istri mulai resah. “Kok belum punya anak
ya mereka. </span><br />
<br />
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">Yang punya masalah suami atau istri?” kalimat-kalimat itu sampai
juga di telinga mereka.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">Akhirnya suami istri itu pergi ke dokter. “Mohon bersabar pak,”
kata dokter kepada pria itu sambil menyerahkan hasil lab. “Istri anda mandul
dan agaknya tidak ada harapan untuk bisa hamil.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">“Kalau begitu, jangan sampaikan ini kepadanya Dok”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">“Maksud Anda?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">“Saya khawatir itu akan melukai perasaannya. Dokter katakan
saja kalau saya yang mandul”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">“Tidak bisa begitu. Anda kan tidak ada masalah”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">Cukup lama mereka berbincang, hingga pria tersebut berhasil
meyakinkan dokter untuk mengatakan sesuai keinginannya.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">Entah bagaimana ceritanya, tetangga-tetangga yang dulu
bertanya siapa diantara suami istri itu yang bermasalah akhirnya mendengar
bahwa pria itu mandul. Kabar itu juga sampai kepada kerabat mereka. Kasak kusuk
pun semakin kencang. Meski demikian, rumah tangga keduanya masih bertahan.
Hingga suatu hari, lima tahun setelah hasil lab itu, wanita itu tak dapat lagi
bersabar.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">“Sembilan tahun sudah kita berkeluarga, dan selama itu aku
dapat bersabar. Sampai-sampai para tetangga kasihan melihatku dan mengatakan
Ia telah bersabar hidup bertahun-tahun
dengan suaminya yang mandul.’</span><br />
<br />
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;"> Terus terang, aku ingin menggendong anak,
mengasuh dan membesarkannya. Kini aku tak dapat lagi memperpanjang kesabaranku.
Tolong ceraikan aku agar aku bisa menikah dengan laki-laki lain dan mendapat
anak darinya,” kata wanita itu kepada suaminya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">Sang suami dengan sabar mendengar tuntutan itu sambil
menasehatinya. “Ini ujian dari Tuhan sayang… Kita perlu bersabar…”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">Mendengar nasehat tersebut, emosi istri sedikit mereda.
“Baiklah, aku akan bersabar. Tapi hanya satu tahun. Jika berlalu masa itu dan
kau tidak juga memberiku keturunan, ceraikan saja aku.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">Selang beberapa bulan, tiba-tiba wanita itu jatuh sakit.
Hasil lab menunjukkan, ia mengalami gagal ginjal. </span><br />
<br />
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">“Ini semua gara-gara kamu,” </span><br />
<br />
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">kata wanita itu kepada suaminya yang saat itu menungguinya di rumah sakit, </span><br />
<br />
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">“Aku
terus menahan sabar karenamu. Inilah akibatnya. Sudah tidak punya anak, kini
aku kehilangan ginjalku.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">“Apa? Kau akan pergi ke luar negeri?” kata wanita itu dengan
nada tinggi, esok harinya ketika sang suami berpamitan kepadanya. Entah
bagaimana perasaannya, ia yang kini bad rest di rumah sakit harus berjuang
sendiri tanpa suami.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">“Ini tugas dinas, Sayang. Dan sekaligus aku akan mencari pendonor ginjal
buatmu”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">Beberapa hari kemudian, wanita itu mendapatkan kabar gembira
bahwa telah ada seseorang yang mau mendonorkan ginjalnya. Tetapi dokter
merahasiakan namanya.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">“Orang itu sungguh baik, Dokter. Ia mendonorkan ginjalnya
untukku tanpa mau diketahui namanya. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br />
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">setelah proses operasi berhasil dan si istri sudah dibolehkan pulang, </span><br />
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">
</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">Sesaat setelah dirumah Dengan tak sengaja wanita
itu menemukan hasil lab pemeriksaan bersama suaminya dan secarik kertas di buku harian suaminya di atas meja. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: justify;">
<i><span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">
</span></i></div>
<blockquote class="tr_bq">
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<i><span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">"Sayang,,, apapun akan aku korbankan untukmu. Selama aku masih bisa bernafas,,, tak akan pernah terlepas satu detikpun aku melindungimu. Aku rela kehilangan semua ginjalku, bagiku kamu adalah segalanya untukku. Jangan pernah bersedih dengan semua ini. dan maafkan aku yang telah meninggalkanmu".</span></i></div>
</blockquote>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">Setelah bait demi bait tulisan suaminya dibaca, sejenak nafasnya seperti tertahan, jantungnya seperti berhenti. menangispun sudah terlambat. kini dia tau bahwa suaminya sudah tiada</span>.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;"><a href="http://www.zeropromosi.com/2014/08/kisah-mengharukan-100-hari-tak-mampu.html" target="_blank"><span style="font-size: x-small;"><i>Sumber </i></span></a></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "georgia" , "times new roman" , serif;">
</span></div>
<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;}
</style>
<![endif]--><br />
<div class="”fullpost”" style="text-align: justify;">
</div>
Key Line (blogger Karawang)http://www.blogger.com/profile/14483151894163779873noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7166126875652907448.post-90561788970085740812015-02-07T06:48:00.001-08:002015-02-13T17:24:35.847-08:00Tenung
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgaNQWflSlIKXFXGoctO8DOKkeUrP5bQlg21gyclLiwBGIcX5Ddvan90AVgzjfsBiKjzKKIYQZp8gd0SvMdyczG38zYm4m-OgQMXDQyUD3tuja0Ddu5d662_d12qwD4XN87acjaC6vusA/s1600/tenung-ilustrasi-amelia-budiman.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgaNQWflSlIKXFXGoctO8DOKkeUrP5bQlg21gyclLiwBGIcX5Ddvan90AVgzjfsBiKjzKKIYQZp8gd0SvMdyczG38zYm4m-OgQMXDQyUD3tuja0Ddu5d662_d12qwD4XN87acjaC6vusA/s1600/tenung-ilustrasi-amelia-budiman.jpg" height="240" width="320" /></a></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">KABAR kematiannya menyebar sangat cepat, seperti angin yang
berbuah badai dan merontokkan dedaunan. Barangkali kabar kematian tak secepat
itu jika yang meninggal bukan si tukang tenung.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Siapa yang meninggal?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Murtaep.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Murtaep tukang tenung itu?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Ya, betul.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Di mana kabar itu singgah, dari muka segala arah,
pembicaraan kerap bermuara pada perkara kesaktiannya. Tenung dan Murtaep bak
gembok dan kunci. Tenung, ya, Murtaep. Murtaep, ya, tenung.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Malam masuk waktu Isya ketika tubuh Murtaep tak lagi hangat.
Sebagian kerabat berdatangan sebelum mata lelaki dekil itu benar-benar
terpejam. Murtaep meninggal secara wajar dan normal, tidak mendadak, apalagi
misterius. Kematiannya tak seperti yang selalu ia koarkan pada penduduk.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Ramalan yang meleset itu, kematian Murtaep, semakin menjadi
buah bibir.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Jauh hari Murtaep sudah mengabarkan perihal tanda
kematiannya sendiri. Ia akan mati ketika pohon beringin di depan rumahnya
tersambar petir. Tulangnya akan hangus bersama akar serabut beringin.
Bagaimanapun Murtaep juga manusia. Bisa meramal, bukan penentu nasib.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Lebih tiga bulan lelaki itu tak bisa melakukan apa-apa
kecuali tergolek kaku. Ia sudah tak lihai memainkan persendian. Makan dan minum
harus disuap. Buang hajat sudah di ranjang. Buang air tak pernah membilang. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Murtaep tidak sakit, hanya terlalu tua untuk hidup. Usianya
seratus tahun lebih. Melihat usia yang terlalu senja untuk ukuran manusia
sekarang, sebagian orang percaya betapa ia tak bisa mati kecuali ada petir
menyambar beringin itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Yang jelas usianya lebih seratus tahun. Seratus berapa,
tidak ada yang tahu,” cerita Dulla pada Taris, cucunya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Istri Murtaep seorang dukun beranak. Sapinah namanya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Perempuan itu yang memandikan anak kakek yang paling tua.
Pamanmu, Aji,” kata Dulla.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Dulu orang melahirkan tak secanggih sekarang. Bukan perkara
gampang. Sakit harus benar-benar dilawan, bertaruh nyawa. Sekarang enak pakai
operasi. Tinggal suntik, tak sadar, selesai,” sambung ibunya yang tiba-tiba
sudah berdiri dengan sekantong beras.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Taris memiliki sambung keturunan dengan Murtaep dari
keluarga garis laki-laki. Dulla adalah adik sepupu Murtaep.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Ayah Taris belum pulang. Ia memiliki jadwal piket di palang
pintu kereta dan baru tiba di rumah jam sembilan. Dulla mengajak Taris melayat
duluan. Ibunya sudah berada di teras dengan sekantong beras untuk disedekahkan
kepada keluarga duka.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Para pelayat berdatangan ke rumah duka membawa gula,
rempah-rempah, mie instan atau beras. Mereka datang untuk menghibur dan
mengurangi beban keluarga dan menjadi saksi atas kebaikan-kebaikan yang pernah
dilakukan almarhum.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Siapa yang bakal gantikan Murtaep, ya?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Kamu saja, bagaimana?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Hus, ngawur!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Lha, ‘kan cuma mutar kendi, lalu bertanya, siapa kamu, apa
yang kamu minta. Mudah bukan?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Iya, ada benarnya juga tuh,” sindir yang lain.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Kendinya bisa menjawab pertanyaan itu?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Tentu tidak. Kendi itu cuma berputar-putar.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Lalu, bagaimana bisa ketahuan bila mahluk gaib itu minta
nasi kuning, serabi, tajin…?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Ya, kamu harus buat sendiri jawabannya dan tawarkan pada
kendi itu.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Maksudnya?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Kalau jawabanmu benar, kendi itu akan berhenti berputar.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Oalaaah, kalau saya yang pegang kendi itu, saya tak akan
menawarkan nasi kuning, sumpil, lemper, serabi, atau tajin.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Lalu apa?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Bisa yang lain yang lebih keren dan enak. Bisa panggang
ayam, sate, soto babat atau makanan yang enak-enak lainnya… hahahahaha.”
Orang-orang melempar pandang di bawah terang bohlam yang menggantung, redup
oleh asap cerutu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Jenazah Murtaep jadi dikubur besok pagi, hasil musyawarah
keluarga duka dengan tokoh masyarakat. Gerimis yang kembali turun menjadi
pertimbangan. Taris dan Dulla pulang. Di rumah tidak ada orang. Sementara
ibunya masih membantu urusan di dapur. Dalam perjalanan pulang, berlindung daun
pisang, cerita renyah mengalir dengan narasi tak begitu rapi.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Tak banyak yang memiliki kemampuan seperti dia,” mulainya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Sudah lama Murtaep jadi tukang tenung; sejak menikah dengan
Sapinah dan memiliki sebuah kendi. Tenung ala Murtaep berbeda dengan tenung
yang biasa atau yang lebih dititikberatkan pada ilmu hitam untuk mencelakai
orang. Tidak. Tenung Murtaep menjadi juru selamat di kampung itu. Banyak
penduduk yang berobat kepadanya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Murtaep hanya seorang pendatang biasa. Kelebihan membaca
perkara gaib diketahui ketika seorang anak tetangga mendadak kejang-kejang.
Tubuhnya menghitam. Matanya membelalak. Tangannya mencakar-cakar. Murtaep yang
kala itu baru tiba dari sawah melihat keganjilan itu. Ia mendekati orangtua
anak yang mukanya kacau panik, lalu mendekat pada anak yang—kata orang—ayan.
Anak itu menyerangnya. Murtaep gesit menghindar. Pada kondisi yang sangat sigap
dan cepat, tangannya menepok jidad anak itu dan roboh seketika.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Perkara gaib yang terjadi sangat cepat itu membelalakkan
pasang mata. Anak itu tak lagi mengamuk. Murtaep berusaha menetralisir suasana.
Berkoar betapa yang dilakukannya tadi sebuah usaha mengusir makhluk halus yang
terperangkap di tubuh anak itu. Tak lupa ia membumbui aksinya dengan usaha
campur tangan Tuhan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Apa yang terjadi setelah itu, Kek?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Kau tak sabaran, Nak,” tukasnya tersenyum. “Sejak saat itu
Murtaep menjadi kepercayaan orang kampung. Banyak yang berdatangan kepadanya.
Bertanya soal penyakit yang tak sembuh-sembuh sampai bertanya soal jodoh.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Hal lain yang membuat Murtaep menjadi terpandang adalah
kendi yang dipakai untuk tenung. Tempat air bercerat yang terbuat dari tanah
liat itu bukanlah sembarang kendi. Orang menyebutnya kendi tasoddul, milik
perempuan hamil yang meninggal sebelum melahirkan. Konon, ruang dalam kendi itu
berpenghunikan arwah bocah yang mati sebelum lahir.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Arwah bocah yang mati sebelum lahir dipercaya dapat membaca
perkara gaib. Arwah bocah itu diibaratkan sehelai kapas putih tanpa noda.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Kapas putih?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Ya, bayi yang baru lahir ibarat kapas putih, Nak. Bersih
tanpa noda dosa.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Selain sebagai wadah minuman, kendi juga dipakai sebagai
pelengkap kuburan. Benda itu diletakkan di bagian kepala nisan. Isinya air yang
dipakai peziarah untuk menyiram aneka kembang yang ditabur di atas jarak kedua
nisan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Murtaep memiliki penyakit semacam orang yang susah tidur.
Malam-malam kerjanya melek seperti burung hantu. Kalau tidak punya jadwal
ronda, kerjanya main domino. Kalaupun sudah merasa lapar, ia dan teman
sepermainannya tinggal membuat api unggun, menyeduh air, membuat kopi, atau
memanggang singkong.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Suatu malam, di pos ronda, sangat kebetulan sekali, hanya
Murtaep semalaman duduk sangkil. Tak ada teman ternyata kantuk bisa juga datang
ke pelupuk matanya. Atau barangkali saja lelaki itu kecapaian karena seharian
mencangkul tegal.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Ia tidur sebentar dan bermimpi samar-samar: perempuan, bayi,
tangis, nisan, kemboja, dan kendi. Ia tak tahu harus ditafsirkan macam apa
mimpinya. Satu hal yang ada di pikirannya, bila ada perempuan hamil meninggal
dengan anak masih dalam kandungan, akan ada banyak orang yang menginginkannya.
Semua orang tahu betapa kematian semacam itu, anak dalam kandungan bisa dibuat
jimat kekebalan atau ritual menjadi kaya. Cerita ini memang sudah melegenda,
tidak hanya Murtaep yang tahu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Mimpi itu tak menunggu lama untuk menjadi nyata. Sebelum
matahari menyumbul, penduduk dihebohkan kematian Sumiati. Perempuan yang
ditinggal suaminya menjadi TKI itu meninggal dengan perut membuncit tujuh
bulan. Murtaep dan kawan seronda lainnya sadar, urusan berjaga-jaga bertambah
berat, apalagi kalau bukan kematian tasoddul itu. Banyak yang akan menginginkan
kuburan Sumiati, sebelum kuburan itu genap 41 hari.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Hal yang tak diinginkan terjadi sebelum kuburan Sumiati
genap 41 hari. Ada yang membongkar kuburan itu. Jenazahnya hilang! Peronda
kecolongan. Sepasang tatapan saling menaruh curiga. Siapa yang tak ingin kaya?</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Bagaimana Murtaep memiliki kendi itu, Kek?” tanya Taris.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">“Entahlah, katanya kendi itu datang sendiri kepadanya.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Tujuh hari pemakaman Murtaep tuntas, sanak saudara sudah
pulang dari rumah duka, termasuk Taris dan keluarganya. Rumah kembali sepi.
Pada posisi seperti ini, sangat baik bagi kenangan datang bertandang.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Setiap keluarga pasti setidaknya mempunyai satu buah benda
keramat yang menjadi pusaka dan diwariskan turun-temurun. Pikiran seperti itu
merangsang Silus merasa paling berhak mewarisi kendi itu. Ia lelaki tunggal
dari tiga bersaudara. Bukankah dalam proposisi tertentu lelaki lebih
diunggulkan daripada perempuan?</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Ayam baru berkokok sekali. Silus melihat kendi itu menggantung
di langit-langit kamar tempat terapi Murtaep. Leher kendi terlilit kawat. Ia
mengambil kendi itu dan memutarnya sebagaimana yang dilakukan oleh ayahnya.
Poros atas dan poros bawah kendi diseimbangkan dengan kedua jari telunjuk.
Sementara telunjuk yang lain memutar kendi itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Dicobanya, tidak bisa.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Dicoba lagi, tidak bisa.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Dicoba lagi, tetap.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Sisa kesabaran berdengus. Silus membanting kendi yang tak
mau berputar. Prang! Kendi hancur berkeping berserak di lantai. Silus keluar
dari kamar yang gelap. Tangannya menutup daun pintu cukup keras.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Sulastri yang lelap di kamar, seketika terbelalak mendengar
suara itu. Ia hendak mengadu, namun Silus sudah tak ada di sampingnya. Ia yakin
suara yang didengar tadi bukanlah kembang tidur, tapi entahlah, dari mana suara
itu datang.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Langkahnya bersigegas ke dapur. Pikirannya awas pada seekor
kucing milik tetangga yang sangat blenger. Sekali mencium aroma daging, pasti
selalu mengintip. Sulastri was-was kucing belang itu memakan sisa ikan sapi
hari ketujuh wafat Murtaep. Sulastri tak menemukan apa-apa. Ia mengecek ruangan
yang lain, tak ada tanda-tanda barang pecah. Di kamar yang digunakan mertuanya,
ia juga tak melihat tanda kegaduhan ataupun barang yang berserak. Hanya saja
wajahnya tampak heran melihat kendi berada di lantai.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Sulastri mengembalikan kendi itu ke tempat semula,
menggantungkannya di langit-langit kamar. Bila suaminya ketemu, ia ingin
bertanya beberapa hal: tentang suara itu dan siapa yang meletakkan kendi di
lantai.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
</span></div>
<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267">
<w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/>
<w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/>
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;}
</style>
<![endif]--><br />
<div class="”fullpost”" style="text-align: justify;">
</div>
Key Line (blogger Karawang)http://www.blogger.com/profile/14483151894163779873noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7166126875652907448.post-71029289344543414922012-07-06T05:05:00.000-07:002015-02-07T19:56:27.225-08:00Tukang Pijat Keliling<div style="text-align: justify;">
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgxxVG3tM_d8Vku92rrtYcLLoBTJC43bVE1ai4HMf8Dm_ikV3bwNlxKVNU_HILHULBWRERUGwiFp0WAusZG1m6pdu41rJW3eQPcprS5V75VJMx1ZeMfo2JSO_yWcQ-k5mnNBWJ71H6mEw/s1600/1507257p.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgxxVG3tM_d8Vku92rrtYcLLoBTJC43bVE1ai4HMf8Dm_ikV3bwNlxKVNU_HILHULBWRERUGwiFp0WAusZG1m6pdu41rJW3eQPcprS5V75VJMx1ZeMfo2JSO_yWcQ-k5mnNBWJ71H6mEw/s1600/1507257p.jpg" height="164" width="320" /></a></span></div>
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Sebenarnya tidak ada keistimewaan khusus mengenai keahlian Darko dalam memijat. Standar tukang pijat pada layaknya. Namun, keramahannya yang mengalir menambah daya pikat tersendiri. Kami menemukan ketenangan di wajahnya yang membuat kami senantiasa merasa dekat. Mungkin oleh sebab itu kami terus membicarakannya. </span><br />
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Entah darimana asalnya, tiada seorang warga pun yang tahu. Tiba-tiba saja datang ke kampung kami dengan pakaian tampak lusuh. Kami sempat menganggap dia adalah pengemis yang diutus kitab suci. Dia bertubuh jangkung tetapi terkesan membungkuk, barangkali karena usia. Peci melingkar di kepala. Jenggot lebat mengitari wajah. Tanpa mengenakan kacamata, membuat matanya yang hampa terlihat lebih suram, dia menawarkan pijatan dari rumah ke rumah. Kami melihat mata yang bagai selalu ingin memejam, hanya selapis putih yang terlihat.</span><br />
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<span id="more-1606"></span>Kami pun penasaran ingin merasakan pijatannya. Maklum, tak ada tukang pijat di kampung kami, apalagi yang keliling. Biasanya kami saling pijat memijat dengan istri di rumah masing- masing, itu pun hanya sekadarnya. Kami harus menuju ke dukun pijat di kampung sebelah bila ingin merasakan pijatan yang sungguh-sungguh atau mengurut tangan kaki kami yang terkilir.<br />
<br />
Hampir kebanyakan warga di kampung kami ini adalah buruh tani. Hanya beberapa orang yang memiliki sawah, dapat dihitung dengan ingatan. Setiap hari kami harus menumpahkan tenaga di ladang. Dapat dibayangkan keletihan kami bila malam menjelang. Tentulah kehadiran Darko membuat kampung kami lebih menggeliat, makin bergairah.<br />
<br />
Setiap malam, dengan membawa minyak urut, dia menyusur dari gang ke gang kampung guna menjemput pelanggan. Kakinya bagai digerakkan tanah, dia begitu saja melangkah tanpa bantuan tongkat. Tidak pernah menabrak pohon atau jatuh ke sungai. Memang, tangannya kerap meraba-raba udara ketika melangkah, seperti sedang menatap keadaan. Barangkali penglihatan Darko terletak di telapak tangannya.<br />
<br />
Dia akan berhenti ketika seseorang memanggilnya. Melayani pelanggannya dengan tulus dan sama rata, tanpa pernah memandang suatu apa pun. Serta yang membuat kami semakin hormat, tidak pernah sekali pun dia mematok harga. Dengan biaya murah, bahkan terkadang hanya dengan mengganti sepiring nasi dan teh panas, kami bisa mendapatkan kenikmatan pijat yang tiada tara. Kami menikmati bagaimana tangannya menekan lembut tiap jengkal tubuh kami. Kami merasakan urat syaraf kami yang perlahan melepaskan kepenatan bagai menemukan kesegaran baru setelah seharian ditimpa kelelahan. Pantaslah bila terkadang ada pelanggan yang tertidur saat sedang dipijat.<br />
<br />
Selain itu, Darko memiliki pembawaan sikap yang ramah, tidak mengherankan bila orang- orang kampung segera merasa akrab dengan dirinya. Dia suka pula menceritakan kisah lucu di sela pijatannya. Meskipun begitu, kami tetap tidak tahu asal usulnya dengan jelas. Bila kami menanyakannya, dia selalu mengatakan bahwa dirinya berasal dari kampung yang jauh di kaki gunung.<br />
<br />
Kemudian kami ketahui, bila malam hampir tandas, Darko kembali ke tempat pemakaman di ujung kampung. Di antara sawah-sawah melintang. Sebuah tempat pemakaman yang muram, menegaskan keterasingan. Di sana terdapat sebuah gubuk yang menyimpan keranda, gentong, serta peralatan penguburan lain yang tentu saja kotor sebab hanya diperlukan bila ada warga meninggal. Di keranda itulah Darko tidur, memimpikan apa saja. Dia selalu mensyukuri mimpi, meskipun percaya mimpi tak akan mengubah apa-apa. Sudah berhari-hari dia tinggal di sana. Tak dapat kami bayangkan bagaimana aroma mayit yang membubung ke udara lewat tengah malam, menggenang di dadanya, menyesakkan pernapasan.<br />
<br />
Kami lantas menyarankan supaya menginap di masjid saja. Namun dia tolak. Katanya kini masjid sedang berada di ujung tanduk. Entahlah, dia lebih memilih tinggal di pemakaman, membersihkan kuburan siapa saja.<br />
<br />
Seminggu kemudian orang- orang kampung gusar. Pak Lurah mengumumkan bahwa masjid kampung satu-satunya yang berada di jalan utama, akan segera dipindah ke permukiman berimpitan rumah-rumah warga dengan alasan agar kami lebih dekat menjangkaunya. Supaya masjid senantiasa dipenuhi jemaah.<br />
<br />
Namun, berhamburan kabar Pak Lurah akan mengorbankan tanah masjid dan sekitarnya ini kepada orang kota untuk sebuah proyek pasar masuk kampung. Tentu saja merupakan tempat yang strategis daripada di pelosok permukiman, harus melewati gang yang meliuk- liuk dan becek seperti garis nasib kami.<br />
<br />
Di saat seperti itu kami justru teringat Darko. Ucapannya terngiang kembali, mengendap ke telinga kami bagai datang dari keterasingan yang kelam. Kami mulai bertanya-tanya. Adakah Darko memang sudah mengetahui segala yang akan terjadi? Sejauh ini kami hanya saling memendam di dalam hati masing- masing tentang dugaan bahwa Darko memiliki kejelian menangkap hari lusa.<br />
<br />
Namun diam-diam ketika sedang dipijat, Kurit, seorang warga kampung yang terkenal suka ceplas-ceplos, meminta Darko meramalkan nasibnya. Darko hanya tersenyum sambil gelengkan kepala berkali-kali isyarat kerendahan hati, seakan berkata bahwa dia tidak bisa melakukan apa-apa selain memijat. Namun Kurit terus mendesak. Akhirnya seusai memijat, Darko pun menuruti permintaannya.<br />
<br />
Dengan sikap yang tenang dia mulai mengusap telapak tangan Kurit, menatapnya dengan mata terpejam, kemudian berkata; Telapak tangan adalah pertemuan antara kesedihan dan kebahagiaan. Entahlah apa maksudnya, Kurit kali ini hanya diam saja, mendengarkan dengan takzim.<br />
<br />
”Ada kekuatan tersimpan di telapak tanganmu.”<br />
<br />
Kurit serius menyimaknya masih dalam keadaan berbaring.<br />
<br />
”Tetap dirawat pertanianmu, rezeki akan terus membuntuti,” tambahnya.<br />
<br />
Kurit mengangguk, masih tanpa ucap.<br />
<br />
Setelah merasa tak ada lagi sesuatu yang harus dikerjakan, Darko permisi. Berjalan kembali menapaki malam yang lengang. Langkahnya begitu jelas terdengar, gesekan telapak kakinya pada tanah menimbulkan bunyi yang gemetar. Sementara Kurit terus menyimpan ucapan Darko, berharap akan menjadi kenyataan.<br />
<br />
***<br />
<br />
Siang hari. Darko selalu duduk berlama-lama di celah gundukan-gundukan tanah yang berjajar. Seperti sedang merasakan udara yang semilir di bawah pohon-pohon tua. Menangkap suara burung-burung yang melengking di kejauhan. Menikmati aroma semak-semak. Mulutnya bergerak, seperti sedang merapalkan doa. Mungkin dia mendoakan mereka yang di alam kubur sana. Dan bila ada warga meninggal, Darko kerap membantu para penggali kubur. Meski sekadar mengambil air dari sumur, supaya tanah lebih mudah digali.<br />
<br />
Begitulah, saat siang hari kami tak pernah melihat Darko keliling kampung. Barangkali dia lebih memilih menyepi dalam hening pemakaman. Ada saja sesuatu yang dia kerjakan. Bahkan yang mungkin tidak begitu penting sekalipun. Mencabuti rerumputan liar di permukaan tanah makam, mengumpulkan dedaunan yang berserakan dengan sapu lidi lalu membakarnya. Padahal, lihatlah betapa daun-daun tidak akan pernah berhenti menciumi bumi. Dia begitu tangkas melakukan itu semua, seakan memang tak pernah ada masalah dengan penglihatannya.<br />
<br />
Kurit membenarkan ucapan Darko. Bawang merah yang dipanennya kini lebih besar dan segar daripada hasil panen sebelumnya. Bertepatan dengan naiknya harga bawang yang memang tak menentu. Dengan meluap-luap Kurit menceritakan kejelian Darko membaca nasib seseorang kepada siapa saja yang dijumpainya. Kabar tentang ramalannya pun bagai udara, beredar di perkampungan.<br />
<br />
Kini hampir setiap malam selalu saja ada yang membutuhkan jasanya. Para perempuan, yang biasanya lebih menyukai pijatan suami, mulai menunggu giliran. Entah karena memang butuh mengendorkan otot yang tegang atau sekadar ingin mengetahui ramalannya. Mungkin dua-duanya. Bila kebetulan kami menjumpainya di jalan dan minta diramal tanpa pijat sebelumnya, Darko tidak akan bersedia melakukannya. Katanya, dia hanya menawarkan jasa pijat, bukan ramalan.<br />
<br />
Di warung wedang jahe, orang-orang terus membicarakannya. Mereka saling menceritakan ramalan masing-masing.<br />
<br />
”Akan datang kepadaku putri kecil pembawa rezeki.”<br />
<br />
”Eh, dia juga bilang, sebentar lagi akan habis masa penantianku,” kata perempuan pemilik warung dengan nada berbunga- bunga. Ia hampir layu menunggu lamaran.<br />
<br />
”Dia menyarankan supaya aku beternak ayam saja,” seseorang menambahi.<br />
<br />
Begitulah, dengan sangat berkobar-kobar kami menceritakan ramalan masing-masing. Setiap lamunan kami habiskan untuk berharap. Menunggu dengan keyakinan mengucur seperti curah keringat kami yang terus menetes sepanjang hari.<br />
<br />
Sungguh tak dapat kami pungkiri. Tak dapat kami sangkal, segalanya benar-benar terjadi. Talim dianugerahi bayi perempuan yang sehat dari rahim istrinya. Tak lama jelang itu, Surtini si perawan tua menerima lamaran seorang duda dari kampung sebelah. Sementara Tasrip bergembira mendapati ternak ayamnya gemuk dan lincah. Disusul dengan kejadian-kejadian serupa.<br />
<br />
Kejelian Darko dalam meramal semakin diyakini orang- orang kampung. Ketepatannya membaca nasib seperti seorang petani memahami gerak musim-musim. Pak Lurah pun merasa terusik mendengar kabar yang dari hari ke hari semakin meluap itu. Ia sebelumnya memang belum pernah merasakan pijatan Darko. Ia lebih memilih pijat ke kampung sebelah yang bersertifikat, menurutnya lebih pantas dipercayai.<br />
<br />
Malam itu diam-diam Pak Lurah memanggil Darko ke rumahnya. Seusai dipijat, dengan suara penuh wibawa ia meminta diramalkannya nomer togel yang akan keluar besok malam. Seperti biasa, Darko hanya menggeleng sambil tersenyum. Namun Pak Lurah terus mendesak, bahkan sedikit memohon. Darko diam beberapa jenak. Kemudian, dengan sangat terang dia pun menyebutkan angka sejumlah empat kali diikuti gerak jari- jari tangannya. Kali ini Pak Lurah yang tersenyum, gembira melintasi raut mukanya.<br />
Seperti biasa, setelah merasa tidak ada sesuatu yang harus dikerjakan, Darko permisi. Membiarkan tubuhnya diterpa angin malam yang lembab.<br />
<br />
***<br />
<br />
Orang-orang kampung kini mulai gelisah. Sudah dua malam kami tidak menjumpai Darko keliling kampung. Kami hanya bisa menduga dengan kemungkinan-kemungkinan. Sementara Pak Lurah kian geram, merasa dilecehkan. Mendapati nomer togel pemberiannya tak kunjung tembus. Esoknya, di suatu Jumat yang cerah, Pak Lurah mengumpulkan beberapa warga—terutama yang lelaki—guna memindahkan perlengkapan penguburan ke tengah permukiman. Katanya, tanah kuburan semakin sesak, membutuhkan lahan luang yang lebih.<br />
<br />
Sesampainya di sana, kami tetap tidak menjumpai Darko. Di gubuk itu, kami tidak juga menemukan jejak peninggalannya. Dengan memendam perasaan getir kami merobohkan tempat tinggalnya. Dalam hati kami masih sempat bertanya. Adakah Darko memang sudah mengetahui segala yang akan terjadi?<br />
<br />
<b>KamarMalas, Januari 2012</b></div>
<div class="”fullpost”">
</div>
Key Line (blogger Karawang)http://www.blogger.com/profile/14483151894163779873noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7166126875652907448.post-65472544678839859312012-07-06T05:04:00.000-07:002015-02-07T19:58:49.059-08:00Perempuan Balian<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjuR-SbDJwecxO7xp6ELuygfjScYMwdMRZtDvkPQbwnZCEsmXYhxLbpWlV-WPWVeiF0KKjgZmFHlIkZU-ZmtdCehzArbCZuhimQehA4s_Q1lrzDzVIWS8tadpjOQ-FtpyMxSLp6QM1K8g/s1600/perempuan-balian.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjuR-SbDJwecxO7xp6ELuygfjScYMwdMRZtDvkPQbwnZCEsmXYhxLbpWlV-WPWVeiF0KKjgZmFHlIkZU-ZmtdCehzArbCZuhimQehA4s_Q1lrzDzVIWS8tadpjOQ-FtpyMxSLp6QM1K8g/s1600/perempuan-balian.jpg" height="162" width="200" /></a></div>
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Sebelum peristiwa malam itu yang akan kuceritakan nanti, Idang dikenal sebagai perempuan kurang waras. Kerap mengamuk kesurupan, dan meracau menceritakan tentang mimpi-mimpinya yang aneh. Kepada orang-orang ia sering mengatakan, ”Ada ular-ular besar menyusup dalam mimpiku. Ular itu bukan mimpi, tapi ular yang menyusup dalam mimpiku.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Dalam mimpi juga aku sering bertemu Ayah.”</span><br />
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"></span></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
Idang memang tak seperti kebanyakan perempuan lainnya yang hidup di pegunungan Meratus. Ia suka memanjat pohon, hal yang hanya pantas dan perlu kekuatan seperti dimiliki anak laki-laki. Ia juga kerap melakukan perjalanan sendiri ke hutan-hutan terdalam, hutan-hutan terlarang.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
<span id="more-1603"></span>”Aku banyak menemukan makhluk-makhluk aneh di sana. Mereka bersahabat,” ceritanya kepada teman-teman sebaya, yang karena cerita semacam itu pula menyebabkan ia perlahan-lahan dijauhi teman-temannya. Namun ia mengaku tak pernah merasa kesepian. ”Teman-temanku di dunia lain jauh lebih banyak,” seseorang bercerita kepadaku menirukan ucapannya.<br />
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
Tabiat ini kemudian dikait-kaitkan orang dengan almarhum ayahnya yang seorang balian, seorang dukun kesohor. Ayahnya dikenal sebagai panggalung, dukun sakti yang karena karismanya sanggup memanggil, mengikat, dan mendatangkan orang-orang dari kampung-kampung jauh. Ayahnya meninggal kala ia usia 12 tahun. Ibunya lebih dulu tiada, tak tertolong saat melahirkannya. Entah dari mana mulanya, kenyataan itu membuat Idang dianggap sebagai pembawa kemalangan dalam hidup.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
Dengan hidup hanya ditemani nenek dari ibunya, Idang tumbuh menjadi perempuan pendiam, penyendiri. Dan bila pun ia bicara dan bercerita kepada anak-anak sebayanya, maka itu adalah cerita tentang mimpi-mimpi, tak jauh dari cerita tentang ular dan ayahnya.<br />
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
***<br />
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
Balai Atiran terang benderang. Orang-orang mulai berdatangan memasuki rumah besar panggung itu. Enam keluarga yang berdiam di dalam balai, sudah sejak gelap pertama duduk di depan pintu bilik masing-masing yang tampak gelap seperti goa, hingga pintu yang terbuka itu layaknya kain hitam yang menempel di dinding balai. Mereka menjamu, menjadi tuan rumah aruh yang dihelat di tengah-tengah ruang balai yang malam itu berbilas cahaya dari lima lampu petromaks.<br />
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
Barisan-barisan tamu dari bukit-bukit jauh silih bergantian datang. Arak-arakan kecil itu sebagian datang dengan berpenerang obor, sinter, atau hanya mengandalkan terang langit di atas jalan yang membelah hutan pegunungan Meratus. Malam tak berbulan.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
Kaki-kaki tak beralas menapaki jalan-jalan basah dibasuh sebelum menaiki tangga balai sepuluh undakan. Tua muda, laki perempuan, dan anak-anak. Di antara mereka ada yang membawa hasil kebun: kemiri, keminting, atau sayuran yang diberikan kepada ibu-ibu dan dara-dara yang bekerja di dapur mempersiapkan jamuan. Ada dua ekor babi yang telah dikorbankan untuk upacara, dan setengah karung beras dimasak di dalam sebuah kuali besar.<br />
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
Para undangan sudah mulai memenuhi ruangan balai. Duduk berlapis-lapis membentuk segi empat sepanjangan ruang balai yang polos, hingga mempertegas tiang-tiang kurus ulin balai yang menjangkau langit-langit tinggi. Hanya ruang segi empat kecil di tengah-tengah balai yang dibiarkan terbuka, dengan segenap syarat-syarat upacara: menyan dan sebilah keris tua telanjang jangkung kehitaman. Seorang lelaki tua namun terlihat penuh wibawa duduk bersila. Kepalanya dibebat kain. Sementara mulutnya tak henti mengembuskan asap tembakau yang dilinting kulit jagung kering. Dialah damang, yang konon usianya sudah lebih satu abad. Wajahnya yang penuh kerutan waktu mengingatkan pada rekahan-rekahan batang pohon tua dalam hutan terdalam. Damang Itat, begitulah orang-orang Meratus memanggilnya, yang malam itu akan menjadi pemimpin upacara aruh.<br />
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
Segala berpusat pada lingkaran tari di tengah. Berputar-putar. Bergelombang. Menyedot seperti kitaran angin limbubu. Diam yang mengalir dalam mantra-mantra dan tarian purba. Pada apa kata menjadi sakti. Tiga lelaki terus bergerak. Kadang seperti melayang, membayang, tak berpijak tanah, tak berpijak bumi, mengambung dalam kisaran waktu yang terus beringsut susut.<br />
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
Tiga tubuh terus berputar-putar dalam tarian. Madah-madah dinyanyikan merasuk dalam rampak tabuh gendang dan denting gelang. Seperti suara alam yang tak pernah terduga. Mengentak. Melenting tajam menembus langit-langit balai. Menggetarkan udara yang berkibar-kibar dalam satu ruang. Tubuh-tubuh liat lepas, tak mengenal jeda, tak mengenal kantuk, tak mengenal tanah pijak. Mereka para balian yang menjalankan ritual pengobatan untuk seonggok tubuh yang terkulai layu di tengah-tengah balai, tempat segala sesembahan diluahkan.<br />
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
Balai itulah cahaya benderang satu-satunya di belahan hitam hutan Kalimantan Selatan yang sebenarnya tak lagi perawan. Sebuah kampung kecil, yang malam itu menghelat upacara ritual untuk si sakit.<br />
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
Tubuh kecil kurus anak usia empat tahun itu seperti kehilangan daging dan air. Hanya tulang-tulang berbalut kulit kering layaknya kulit kayu tua mengerut keras, yang cepat meretas seperti ilalang terbakar di musim kemarau yang mengerontangkan ceruk kehidupan. Warna kulitnya kuning serupa kunyit. Hanya matanya masih menyimpan kilat hidup, meski juga sudah meredup dalam napas yang beringsut ingin melepaskan rongga dadanya yang tipis, membayangkan keretak kayu lapuk. Jari-jari sapu lidinya menjentik pelan pada lantai beralas lampit, mengikuti irama tari tiga balian.<br />
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
Diisap buyu, penyakit menakutkan yang mengakrabi tubuh kecil tergolek di tengah-tengah balai. Tubuh yang diisap buyu adalah seperti merentangkan hidup di antara kematian. Darah, daging, dan air yang menjadi sumber tubuh menjadi tercemar dan kering, serupa hutan kehilangan keperawanannya menjadi ranggas dimakan hantu-hantu besi bernama buldoser dan gergaji dengan sang kendali pemakan segala; manusia.<br />
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
Sudah satu bulan tubuh kecil itu tak berdaya dalam pagutan buyu. Sudah tiga hari tiga malam tiga balian seolah terbang menari-nari mengusir sang buyu yang betah menghuni tubuhnya. Sebuah pengobatan yang dipercaya turun-temurun dapat mengusir roh jahat dalam tubuh si sakit. Namun, sudah tiga hari tiga malam ritual pengobatan dijalankan, roh jahat di tubuh si anak tak jua pergi. Segala permohonan dan doa telah dihaturkan para balian kepada sang ilah. Segala syarat: gula, beras, ayam, bubur, kopi, menyan, telah dipersembahkan. Si sakit tetap terkulai. Dingin tubuhnya, terkatup matanya. Tinggal jari sapu lidinya menjentik-jentik lantai.<br />
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
Tiga balian masih menari beriringan, berputar-putar dalam rampak gendang dan denting gelang yang tiada sepi.<br />
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
Seorang ibu muda yang telah kehabisan air mata terduduk lemas di sudut belakang balai. Kantung matanya menebal, rambut terbiarkan tergerai kusut berhari-hari tak tersisir tangan dan dilembutkan minyak jelantah. Ialah ibu si anak yang kini nyawanya tengah di awang-awang dalam pertolongan para balian yang terus menari dan merapalkan mantra-mantra. Kepala perempuan itu terkulai miring ke kiri bersandar pada bahu seorang ibu yang menjaganya. Sang ayah, yang duduk di antara para pria di dekat lingkaran upacara, sesekali menengok kepadanya. Hanya karena ia seorang ayahlah yang membuat lelaki itu tetap tegar mendampingi anak semata wayang mereka didera penyakit tak berampunan. Walau jauh di lubuk hati, ia sebenarnya telah mulai memupuk kerelaan bila sewaktu-waktu sang anak diambil sang ilah.<br />
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
Seperti menyibak kegelapan malam, meredam guruh gemuruh suara gelang dan mantra tiga balian, seorang perempuan muda tiba-tiba menghambur ke tengah upacara, menari-menari. Mulutnya merapal mantra-mantra yang tak pernah terbaca oleh balian mana pun juga, dengan diiringi denting gelang di kedua tangannya. Tiga balian lelaki terhenti. Orang-orang tersihir, terpaku menatap dalam keheningan. Hanya perempuan itu, ya, hanya perempuan itu yang menjadi pusat segala gerak, segala hidup. Ia terus berputar-putar, menari, merapalkan mantra dan mendentangkan gelang-gelang berat di kedua tangannya yang kurus panjang.<br />
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
<i>Aduhai,</i><br />
<i><br />
Naik Kuda Sawang, sayang</i><br />
<i><br />
Dibelai angin *)</i><br />
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
Tak ada seorang pun yang tergerak menghentikan perempuan itu. Hingga akhirnya perempuan muda berambut panjang itu tersungkur ke lantai balai. Seluruh tubuhnya kuyup oleh peluh. Bersamaan itu pula, anak lelaki yang menjadi pusat pengobatan di tengah balai pelan-pelan bergerak seolah ingin bangkit. Orang-orang menyaksikan, kulit sang anak yang semula kering layaknya kulit kayu tua berubah seolah di bawahnya telah mengalir air kehidupan. Butir-butir peluh membasahi wajah dan seluruh tubuhnya. Kuning kunyit kulitnya pun memudar. Perlahan matanya terbuka, bercahaya. Bibirnya, yang meski masih tampak kering, perlahan berucap, ”Ayah….” Panggilannya pelan namun jelas.<br />
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
Seketika saja, orang-orang menghambur ke depan, mendekati tubuh kecil itu. Sang ayah dan ibu langsung memeluk dan menciuminya. ”Anakku… anakku… anakku..,” ucap keduanya sembari menangis dalam kegembiraan mendapati sang anak telah terlepas dari maut.<br />
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
Seolah tersadar, orang-orang kemudian mengalihkan perhatian kepada sosok perempuan muda yang masih tersungkur tak sadarkan diri di lantai. Sekejap saja mulut-mulut bergeremeng seperti sekumpulan laron terperangkap dalam botol.<br />
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
”Siapakah dia?”<br />
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
”Dari mana asalnya?”<br />
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
Tubuh itu tetap sepi, tertelungkup dengan rambut panjang tergerai masai. Satu dua orang kemudian tergerak menghampiri, lantas diikuti yang lain, lalu mengangkat tubuh perempuan itu ke salah satu bilik balai dan merebahkannya ke atas kasur tipis.<br />
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
***<br />
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
Orang sekampung tidak pernah melupakan malam itu. Seorang perempuan terbilang muda tiba-tiba menjadi balian, menjadi dukun. Tidak pernah sebelumnya, sejak nenek moyang, seorang perempuan menjadi balian. Paling tinggi ia hanya menjadi pinjulang, pembantu dukun laki-laki.<br />
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
Tapi malam itu, Idang, seorang perempuan muda yang dianggap gila, menyeruak ke tengah-tengah upacara. Menari-nari, menyanyi, merapalkan mantra-mantra yang sebelumnya tidak pernah dibaca para balian.<br />
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
”Ini menyalahi adat. Tidak pernah ada seorang perempuan, apalagi perempuan itu dianggap gila, bisa menjadi seorang balian. Ini alamat mendatangkan bencana,” ucap seorang lelaki tua di warung kepada dua lelaki yang lebih muda. Aku, yang meski berseberangan meja dengan mereka, masih dapat mendengarkan ucapan itu.<br />
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
”Tapi ia telah berhasil menyembuhkan anak itu,” sahut salah satu lelaki muda sembari mengisap rokok.<br />
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
”Betul, Pak. Saya ikut menyaksikan malam itu,” timpal yang seorang lagi setelah meneguk kopi hitamnya.<br />
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
Dengan wajah agak memerah, orang tua itu berucap, ”Kalian anak muda ini, tahu apa kalian tentang balian. Kalian lihat saja nanti, hutan dan kampung kita ini nantinya akan ditimpa bencana. Dan itu karena perempuan gila yang hendak menjadi balian.” Setelah membayar kopinya, lelaki tua itu pun pergi meninggalkan warung sambil menggerutu, ”Celaka… celaka… celaka.”<br />
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
Setelah lelaki tua itu agak jauh, seorang dari lelaki di warung berucap, ”Mungkin ia kecewa dan malu karena tak mampu menyembuhkan anak itu, meski diupacarai selama tiga malam.”<br />
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
Aku melakukan hirupan terakhir kopiku sebelum bersiap pergi meninggalkan warung. Aku harus segera memulai perjalanan sebelum matahari meninggi. Tugasku selama dua minggu melakukan penelitian, termasuk menyaksikan upacara balian, sudah berakhir.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
Selama perjalanan meninggalkan kampung di pinggiran hutan pegunungan Meratus itu, benakku terus dihantui cerita tentang Idang perempuan balian, dan lelaki tua di warung yang mengabarkan akan datang bencana di kampung dan hutan mereka.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
Entah, makna apa yang harus aku pahami. Namun aku tahu, sebentar lagi hutan tak jauh dari kampung itu akan dibongkar oleh sebuah perusahaan besar untuk mengeruk emas hitam dari perutnya.<br />
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
<small>*) Kutipan ”Syair Induang Hiling” dalam buku ”Di Bawah Bayang-bayang Ratu Intan” karya Anna Lowenhaupt Tsing, yang sekaligus mengilhami cerpen ini.</small></div>
</div>
<div class="”fullpost”" style="text-align: justify;">
</div>
Key Line (blogger Karawang)http://www.blogger.com/profile/14483151894163779873noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7166126875652907448.post-70316015467868216352012-06-15T03:36:00.002-07:002014-02-16T18:16:58.437-08:00Kisah Pilu Tentang Cinta Anak Terhadap Ibunya<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">
Satu waktu,,<br />
Seorang anak perempuan kecil memberitahukan sesuatu tentang apa yang telah ia lakukan terhadap ibunya,<br />
dengan penuh bangga ia berkata,,<br />
<br /><br />
<b><i>"Mama, aku baru saja melukiskan sesuatu untuk mama</i></b><b><i>...</i></b><b><i>"</i></b><br />
<br />
Dengan sedikit mengernyitkan dahi, Ibu anak kecil yang manis itu bertanya.<br />
<br />
<b><i>"Tapi kenapa sampai kotor seperti itu,!!! Kamu melukis pakai apa.???</i></b><br />
<br />
<i><b>"Aku melukis pakai lipstik mama".. Jawab anak itu polos,.</b></i><br />
<br />
Mendengar hal itu,, Ibunya lalu memeriksa dan mendapati lipstik mahal yang baru saja dibelinya telah tinggal setengah. Wajah, tangan, dan baju anak perempuan telah penuh warna lipstik tersebut. Dengan sangat marah, ibu itu mengamuk dan memukuli anak perempuan kecil yang malang tersebut tanpa menghiraukan tangisan dan jeritan dari mulut kecilnya.<br />
<br />
Kemudian setelah si ibu berhasil melampiaskan emosinya, ibu ini baru sadar kalau anak perempuannya sudah tidak bergerak lagi. Ia pun menguncangkan tubuh anaknya sambil menangis dan memohon agar anak perempuannya membuka matanya.<br />
<br />
Tapi terlambat,..... jantung anak perempuan itu telah berhenti berdetak.<br />
Dan saat sang ibu melihat ke seprei tempat tidur anaknya, Terlihat gambar wanita yang memang kurang jelas, dan dibawah gambar itu tertulis sebuah tulisan berwarna lipstik merah.<br />
<br />
<b><i>"Mama, aku sangat mencintaimu."</i></b></div>
Key Line (blogger Karawang)http://www.blogger.com/profile/14483151894163779873noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7166126875652907448.post-53395298580122975172012-05-30T06:23:00.000-07:002015-02-07T20:01:46.570-08:00Tembiluk<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhC6d-g1V_7cLVZJv2zc5hYYRxuRsjjrHH5dBjKz_8Fsb7sHcSHolugvasDucLh34h9hhjTtt2pjVT-Qn75rjmt_7pYwxZvLqIcvAUMwMXxe1Imh_erlRe7r_NUKfek4suU6YzEwdS43A/s1600/tembiluk.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhC6d-g1V_7cLVZJv2zc5hYYRxuRsjjrHH5dBjKz_8Fsb7sHcSHolugvasDucLh34h9hhjTtt2pjVT-Qn75rjmt_7pYwxZvLqIcvAUMwMXxe1Imh_erlRe7r_NUKfek4suU6YzEwdS43A/s1600/tembiluk.jpg" /></a></div>
Di masa silam, anjing itu tak lebih dari anjing biasa, milik seorang tuan yang mendalami ilmu hitam.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Puncak kedigdayaan ilmu hitam itu adalah hidup abadi, alias tak bisa mati. Namun, setiap kaji-penghabisan tentulah membutuhkan pengujian, agar pencapaiannya benar-benar tak diragukan. </div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Maka, pada suatu malam keramat, ia menggorok leher anjingnya hingga putus dari batang leher, dan kepala hewan itu menggelinding seperti buah mumbang jatuh dari pohon. Sebelum penyembelihan, ia memasang jimat di ekor anjingnya, disertai mantra gaib yang hanya bisa dilafalkan oleh pengikut jalan sesat seperti dirinya. Ia tidak bermaksud membunuh anjing kesayangannya, karena ia hanya sedang membuktikan kedahsyatan ilmu yang telah sempurna dikuasainya. </span><br />
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Sembari menunggu jasad anjing tanpa kepala benar-benar tergeletak sebagai bangkai, dengan pisau yang sama, ia menyembelih leher sendiri. Juga putus, dan sebutir kepala menggelinding tak jauh dari kepala anjingnya. Dengan tangan bergelimang darah, ia memungut masing-masing kepala untuk dipasang ke masing-masing badan. Celakanya, tuan itu keliru. Ia menancapkan kepalanya ke leher anjing. Sebaliknya, melekatkan kepala anjing ke batang lehernya, hingga pada malam itu terwujudlah seekor anjing berkepala manusia, dan seorang manusia berkepala anjing. Seketika, kedua makhluk ganjil yang tak direncanakan itu melesat lari menuju arah yang berlawanan. Dan, selama bermusim-musim mereka tidak pernah bertemu.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Puluhan tahun kemudian, di malam gelap-bulan orang-orang kampung Lubuktusuk mendengar bunyi gemerincing rantai akibat gesekan-gesekan dengan kerikil jalan. Anjing berkepala manusia dipercayai sedang berkeliling kampung, mencari kepalanya yang telah berpindah ke lain tubuh. Gemerincing itu mengerikan. Orang yang terbilang paling berani berhadapan dengan jinaku atau hantu-belau sekalipun, bila mendengarnya tetap saja gamang. Ketimbang turun, dan memeriksa asal bunyi ke halaman, ia lebih memilih merapatkan selimut kain sarung. Bagi yang terbangun, akan berupaya tidur kembali hingga terbebas dari mendengar bunyi itu. ”Hantu pemburu”, begitu mereka menamainya. Bukan pemburu babi, sebagaimana anjing-anjing biasa, tapi pemburu kepala sendiri, yang sudah hilang selama berpuluh-puluh tahun.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
*** </div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Kenapa mereka hanya memercayai bahwa yang beralih-rupa menjadi hantu adalah anjing berkepala manusia? Ke mana perginya tuan pemilik anjing yang sudah pula beralih-wujud menjadi manusia berkepala anjing? Bukankah beberapa saat menjelang subuh, di kampung itu juga terdengar suara lolongan yang meremangkan segala macam bulu? Lolongan yang tersimak bagai rintihan kesakitan, dan sekali waktu terdengar bagai isyarat meminta pertolongan. Apakah tidak ada kemungkinan bahwa suara itu datang dari mulut manusia berkepala anjing? Tak ada yang berpikir sejauh itu. Mereka menganggap tuan pemilik anjing telah raib sejak peristiwa malam keramat. Perihal kehilangan itu, ada dua riwayat yang tertanam di Lubuktusuk.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Pertama, selepas malam celaka itu, tuan yang setelah diurai silsilahnya ternyata bernama Tungkirang, hengkang dari Lubuktusuk. Mustahil ia bertahan di kampung dengan gelar ”anjing” di belakang namanya, dan lebih tak mungkin lagi, mempertontonkan tabiat anjing di tengah-tengah kampung. Ia bertolak ke selatan, menuju rimba Puncak Sicupak, hutan pekat yang pada masa itu belum terjamah. Di sana ia membuat sarang yang tersuruk di kedalaman belukar. Dimangsainya segala macam hewan berdaging, mulai dari babi, kijang, hingga ular dan biawak. Tatkala rimba Puncak Sicupak mulai dijejaki orang, beberapa pencari kayu gaharu dikabarkan hilang di sana. Konon, mereka telah diterkam oleh Tungkirang, manusia berkepala anjing. Itu sebabnya, di masa kini, orang-orang yang bepergian melewati Puncak Sicupak, melepaskan seekor anak ayam ke dalam rimbun semak, sebagai penghormatan pada Tungkirang.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Kedua, Tungkirang bertolak ke kota. Zaman itu, jalan belum diaspal, dan setiap perjalanan masih ditempuh dengan pedati, atau berjalan kaki. Namun, Tungkirang menapakinya dengan berlari secepat mungkin. Siang ia bersembunyi di tempat-tempat sepi, dan bila malam tiba ia kembali berlari, dan berlari. Begitulah pengembaraannya dari satu kota ke kota lain, dari tahun ke tahun, hingga tibalah ia di sebuah kota besar yang kini menjadi kiblat para perantau. Di kota itu Tungkirang diselamatkan oleh seorang lelaki yang kelak ditakdirkan menjadi penguasa. Lantaran budi-baiknya, Tungkirang menghamba sebagai anjing istana. Dengan ketajaman penciuman yang menakjubkan, ia mengendus setiap muslihat yang hendak menjatuhkan kuasa tuannya. Suatu ketika, tuannya tertuduh sebagai otak di balik skandal penggelapan uang negara, yang bila terbukti bakal menggulingkan kekuasaannya. Di sinilah kehebatan Tungkirang diperlukan. Setiap gelagat yang mengungkit-ungkit keterlibatan tuan itu sudah diendusnya lebih dulu, dan lekas dilaporkannya. Tak ada yang luput dari pengendusan manusia berkepala anjing, hingga tuannya nyaris tak tersentuh. Ia berlumur dosa, namun tampak suci, bagai tanpa noda. Tanpa Tungkirang, tentu ia sudah meringkuk di penjara. Itu sebabnya, musuh-musuh tuan besar terus bersiasat guna menaklukkan Tungkirang, atau sekalian melenyapkannya bila perlu.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Seorang peramal yang dipekerjakan oleh salah satu musuh tuan besar menyarankan: ”Satu-satunya cara melumpuhkan anjing itu adalah mengembalikannya menjadi manusia.”</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
”Bagaimana caranya?”</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
”Bius. Lalu, culik!”</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
”Tuan baru berpikir akan mencelakainya, Tungkirang sudah tahu. Ia lebih licin dari intel paling lihai sekalipun.”</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Dengan kemampuan gaib tingkat tinggi, peramal dapat menjelaskan asal mula anjing istana itu. Tersebutlah sebuah kampung bernama Lubuktusuk. Banyak yang ragu, banyak pula yang bersetuju. Tapi demi tegaknya keadilan, dikirimlah utusan guna mencari makhluk berwujud anjing berkepala manusia.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
*** </div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Orang-orang Lubuktusuk tidak perlu takut lagi pada gemerincing rantai yang dulu mengancam di malam gelap-bulan. Sebab, anjing berkepala manusia sudah tertangkap. Rantai itu kini berada di genggaman lelaki pencari madu-lebah bernama Tembiluk. Orang-orang Lubuktusuk menamainya ”manusia rimba” karena lebih kerap tinggal di hutan ketimbang menghuni rumahnya di kampung Lubuktusuk. Ia hanya akan turun ke kampung bila madu-lebah hasil panjatannya sudah cukup untuk dijual ke pasar. Atau bila ada panggilan darurat dari tetua kampung karena ada persoalan genting yang tak terselesaikan. Misalnya, ada jagoan yang memeras petani-petani karet, atau sekadar menggertak orang-orang yang diam-diam menjual getah karet ke luar Lubuktusuk ketimbang pada tengkulak induk-semang mereka.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Para jagoan itu sukar ditaklukkan lantaran rata-rata mereka adalah para pengguna ilmu sesat yang sudah pasti kebal senjata. Orang yang sanggup meladeni ancaman itu hanya Tembiluk. Sudah tak terhitung begundal yang ia patahkan tiada ampun. Baginya, tidak ada orang yang benar-benar kebal. Tak bisa ditikam dengan pisau atau lading, dengan ilalang atau butiran padi ia menusuknya. Bila tak mempan, ia akan mengerahkan kesaktian paling ampuh; meneriakkan sebuah mantra di pangkal telinga musuh. Keparat pengacau seketika akan menggigil ketakutan dan lari terkangkang-kangkang. ”Seumur-umur ia tidak akan berani lagi menginjakkan kaki di kampung ini,” begitu biasanya Tembiluk menegaskan.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Ini pula yang terjadi pada suatu musim kemarau, semasa sapi dan kambing peliharaan orang kampung kerap menjadi santapan harimau lapar. Tembiluk memaklumatkan teriakan di mulut rimba pada suatu petang. ”Huaaaaaaaa, uwiwua, uwiwua, huaaaaaa,” begitu kira-kira bunyinya. Menurut para tetua, alamat teriakan Tembiluk mendengar mantra itu bagai sambaran petir yang mematikan. Sejak itu, di musim kering paling ganas sekalipun, tiada seekor harimau pun yang masuk kampung. Begitulah sepak-terjang Tembiluk yang telah meringkus anjing berkepala manusia. Setelah mendengar teriakan maut Tembiluk, makhluk itu berubah jinak dan menurut saja ketika Tembiluk menggiringnya ke rimba Bukit Kecubung. Ia mengatakan bahwa tuan yang dicari-cari anjing itu telah enyah dari Lubuktusuk, hingga percumalah segala upayanya selama ini. Anjing berkepala manusia sudah punya tuan baru. Sebagai balasan atas kebaikan Tembiluk, ia mengabdi sebagai anjing peliharaan yang saban petang berkeliling rimba guna mengendus sarang lebah siap-panjat. Tembiluk merawat anjing itu seperti merawat telapak kakinya sendiri. Pertemanan mereka berlangsung lama, hingga pada suatu hari rimba Bukit Kecubung dikunjungi gerombolan orang berpenampilan necis. Mereka memohon kesediaan Tembiluk untuk menyerahkan anjing berkepala manusia itu. </div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
”Masa depan negeri ini sangat bergantung pada hewan milik Bapak,” bujuk salah seorang dari mereka.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
”Menyerahkan makhluk itu sama artinya dengan menyelamatkan bangsa.”</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Jauh sebelum kedatangan mereka, Tembiluk sudah tahu bahwa manusia berkepala anjing telah menjadi biang kebangkrutan. Uang rakyat terus- terusan dirampok, pejabat bersekongkol dengan aparat, hukum tajam ke bawah. Pemimpin terpucuk yang telah menyengsarakan rakyat harus segera diseret ke meja hijau. Tapi, Tungkirang terus menghadang. Ia akan berhenti bila sudah dipertemukan dengan anjing peliharaannya, bila mendapatkan wajah asalinya.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Anjing berkepala manusia menghentak-hentak, lantas lari terengah-engah. Ia menolak dibawa pergi meski akan bertemu dengan tuan masa silamnya, dan akan kembali menjadi anjing biasa. ”Hanya Bapak yang bisa menangkapnya,” harap ketua gerombolan.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Mudah bagi Tembiluk mengembalikan hewan itu. Ia tidak lari, hanya bersembunyi dari orang-orang yang tampak begitu bernafsu. Tembiluk tak bisa melihat kejernihan di raut wajah mereka. Keruh sempurna. Alih-alih itikad baik untuk menyelamatkan negeri itu, Tembiluk justru menangkap isyarat tentang watak kemaruk. Ketajaman penciuman anjingku juga ajaib, sebagaimana Tungkirang. Dengan hewan itu, mereka bisa memancangkan kuasa baru yang jauh lebih rakus, batin Tembiluk, sebelum ia menghilang di kedalaman rimba.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Tanah Baru, 2012</div>
<div class="”fullpost”" style="text-align: justify;">
</div>
Key Line (blogger Karawang)http://www.blogger.com/profile/14483151894163779873noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7166126875652907448.post-23447715989646257812012-05-16T23:57:00.000-07:002015-02-07T20:03:48.375-08:00Mengenang Kota Hilang<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhr6eC-MX4JINjiA3rXFsPtP5dYbiI2QAZU-c4ayB-GFs3pOQbvOLW0HPfQHftuAFZ9wk3AKuHYQW8gEr5k9w4YUYLA_z5_K5vfp0Nvvd2GkCPNS2CU8H9XKIo9rcn8N1a-gmCLU3HJeA/s1600/mengenang-kota-hilang.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhr6eC-MX4JINjiA3rXFsPtP5dYbiI2QAZU-c4ayB-GFs3pOQbvOLW0HPfQHftuAFZ9wk3AKuHYQW8gEr5k9w4YUYLA_z5_K5vfp0Nvvd2GkCPNS2CU8H9XKIo9rcn8N1a-gmCLU3HJeA/s1600/mengenang-kota-hilang.jpg" /></a>Itulah bait pertama yang kau tulis dengan tinta yang ragu-ragu keluar dari penanya, ketika perlahan-lahan kotaku terendam lumpur. Begitupun aku menyambut gembira, atas suratmu yang kau kirim melalui denyut hati, karena kau tahu arti penderitaan kami.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
</div>
<br />
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Aku mengerti perasaanmu. Begitu bernafsukah kau ingin datang ke kotaku? Begitulah yang aku rasakan dalam setiap detak nadimu. Tetapi aku tahu, kau hanya ingin mengembara lepas dalam batin kami yang menderita.</span><br />
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Aku pun tak berharap kau datang ke kotaku. Cukuplah kau saksikan dengan mata hatimu, aku sudah gembira. Aku gembira membaca bait-bait resahmu, yang kau tuliskan dengan tinta yang ragu-ragu keluar dari penanya.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<span id="more-1580"></span>Tetapi tak apalah. Kau salah satu yang aku kagumi. Penderitaan memang tak perlu dibaitkan dalam kata-kata terang. Karena kata-kata terang sering menjadi pelipur lara belaka. Dan kau tahu, kotaku perlahan-lahan tenggelam tidak hanya dalam lumpur tetapi dalam timbunan retorika.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Ketahuilah, kami yang kini tinggal di kota lumpur, telah banyak mereka-reka dan mengais-ngais kata-kata terang tetapi gelap maknanya. Aku tahu, kau menuliskan dengan bahasa bersayap, tetapi aku merasakan irisan-irisan makna yang kau hujamkan ke ulu hati.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Karena itu, aku tak ingin kau datang ke kotaku. Mata hatimu mungkin akan lebih tajam melihat derita kami, daripada kau ingin bermetamorfosis menjadi guru bahasa, guru pengocok moral atau menjadi pengabar yang sok pintar.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
”Tidak! Aku cukup lega membaca isi hatimu!”</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Bertapalah di gunung batinmu. Jangan datang ke kotaku. Kotaku, kini hilang. Kini yang tertinggal hanya kenangan dan harapan-harapan. Tak ada yang tersisa, selain kata sesal. Dan sepucuk atap rumah yang gentingnya menyumbul di antara hamparan lumpur kering dan pucuk-pucuk pohon yang meranggas. Tak ada yang tersisa.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
”Kini semuanya telah ditelan waktu. Kotaku hilang tak terkenang!”</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Tapi kalau kau ingin datang ke kotaku, gantilah hatimu dengan batu. Kantongilah sekarung nyawa. </div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Ke kotaku kini hanya ada satu jalan, jalan maut!</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Di jalan itu akan kau jumpai monster-monster kecil penghisap darah. Di jalan kau akan jumpai pohon-pohon hidup, yang bisa menjerat lehermu hingga putus. </div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Jebakan demi jebakan harus kau waspadai. Orang-orang yang berniat baik bisa berbalik menjadi perampok yang ganas. Di setiap tikungan, kau harus waspada, karena di situ banyak pengemis bersenjata tajam akan menghunuskan arit ke lehermu bila kau tidak memberi uang barang satu perak pun.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Bila kau lolos di jalan maut, kau tak perlu bergembira. Karena setelah itu kau akan menemukan jalan yang bercabang-cabang, mirip labirin. Kau harus pandai memilih jalan yang tepat. Bila salah pilih, jangan harap kau bisa kembali menjadi manusia. Kau pasti akan menjadi lintah, atau semacam belut yang hidup di rawa-rawa, yang kini dikuasai oleh monster-monster berwarna-warni.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
”Kau tahu, jalan yang bercabang-cabang itu sebenarnya tak akan sampai ke kotaku!”</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Karena itu, ketika kau memutuskan untuk datang ke kotaku, siapkan dirimu menjadi pahlawan kesiangan atau kalau mau hidup jadilah monster. Kotaku, seperti yang kau tulis, ”Maka lumpur pun datang, dan penduduk kota hilang,” tidaklah salah.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Untuk mencari rumahku, kau harus menjadi superhero yang gagah berani. Kau harus menjadi manusia tak terkalahkan. Kau harus menjadi seperti Gatutkaca atau Antareja yang mampu terbang dan menembus perut bumi. Tetapi kau bisa juga menjadi Sangkuni yang pandai bersilat lidah dan tipu muslihat.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Atau kau bisa menjadi badut. Kau akan mudah masuk dengan gaya leluconmu. Kau akan dikerumuni anak-anak kecil yang haus hiburan. Mereka anak-anak yang tak lagi mengenal masa depannya. Hanya dengan leluconlah kau bakal hidup panjang.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Meski begitu, kau jangan berharap telah sampai ke kotaku. Mungkin kau masih menempuh separuh jalan. Atau barangkali kau masih jalan di tempat. Tak ada yang tahu berapa jauh jalan yang harus ditempuh hingga sampai ke kotaku.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Tak ada yang tahu. Kotaku telah hilang dalam peta. Barangkali, kotaku telah berada dalam perut paus atau terkubur dalam perut bumi, atau masih dalam genggaman monster warna-warni, juga tak ada yang tahu.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Bagi kami, jalan kota kami telah tertutup rapat dari dunia. Tak ada jalan lain, selain jalan ke langit. Tak ada kata-kata, selain doa. Tak ada harapan, selain harapan untuk mati.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
”Apakah kau siap, kawan?!”</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Memasuki kota kami, melalui jalan labirin itu, tajamkan mata dan hati. Bersiaplah kau menerima jebakan-jebakan yang lebih maut dari jalan maut. Jangan asal melangkah, karena di setiap jengkal, arti langkahmu sangat menentukan nasibmu. Dan kau tahu, orang-orang di kotaku telah banyak yang menjadi lintah, belut, dan bahkan ubur-ubur, karena salah melangkah. Atau memang mereka ingin menjadi monster jalan labirin daripada hidup dalam kubangan lumpur.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
”Aku menyesal sebenarnya, tak bisa menuliskan kabar ini secara benar!”</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Tak ada kebenaran di kota kami. Kebenaran telah dirampok. Kebenaran menjadi bahasa yang berbelit-belit dan sulit dipahami maknanya. Kebenaran dan kepalsuan menjadi tipis jaraknya. Dan kau tahu, banyak di antara kami yang silau oleh kepalsuan yang berlapis kebenaran.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Kami tidak salah. Kami dijebak oleh monster-monster penguasa jalan-jalan labirin. Meski demikian, banyak yang memilih menjadi dan hidup dalam lumpur daripada menjadi lintah atau menjadi budak para monster.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Dan kau tahu, dalam bait suratmu yang kau suarakan melalui hatimu, kau tulis dengan gamblang: </div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
”Semula ada yang mengira mereka memilih jadi ikan, memasang semacam insang di leher dan sejak itu menjadi bisu….”</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Pada mulanya memang itulah yang kami tempuh. Kami diam dan pasrah ketika air bercampur lumpur perlahan-lahan menggenangi kota. Ketika air meninggi dan lumpur semakin mengendap, kami harus mengambil pilihan. Bertahan hidup menjadi ikan atau menjadi monster di daratan?</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Kamu tahu, kami banyak yang memilih menjadi ikan meski air begitu keruh. Tapi setidaknya aku dan orang-orang di kota masih bisa bernapas sambil mengikuti arus, ke mana mengalir. Tetapi tidak tahulah, lama-lama arus air dan lumpur begitu deras dan pekat. Kami yang dulunya bisa bernapas, tiba-tiba terasa sesak. Dan tiba-tiba kami seperti hidup dalam pekat gelap.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Dalam gelap pekat itu muncul sekelompok ikan dengan gigi dan sisik tajam, yang dipimpin ikan berkepala besar berbelalai banyak. Ikan yang kami sebut sebagai gurita itu, belalainya begitu terampil menangkapi ikan-ikan kecil untuk dijadikan makanannya.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Kau harus tahu, gurita itu begitu cengeng. Setiap kali ia ingin menghisap darah kami, ia merajuk pada ibunya. Dan ibunya selalu muncul dalam bayang-bayang masa lalunya yang kelam, berkata, ”Hisaplah nak, demi hidupmu?”</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Kamu tahu, kau tulis dalam degup jantungmu yang paling keras, ”Lalu sejak itu muncullah sekelompok ubur-ubur sebesar kepingan uang recehan yang berbiak dan nyaris memenuhi genangan.”</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Apakah kau masih ingin ke kotaku? Lewat suara hatiku ini, kusarankan, lebih baik urungkan saja niatmu. Meski kotaku kini telah berdiri papan nama bertuliskan: ”Wisata Kota Lumpur”, lebih baik kau jangan percaya dengan bahasa terang itu. Itu bahasa jebakan untuk mengais simpati. Bila kau tak tahu, kau akan jadi ikan-ikan dalam kekuasaan ikan berkepala besar berbelalai banyak.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Kalaupun kini banyak orang melihat dan mencari-cari sisa kota kami, mereka tidak tahu, kota kami telah digondol ikan berkepala besar berbelalai banyak, menghilang dalam lautan lepas.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Kau tahu, mereka yang mencari sisa-sisa kota kami berdiri di atas bukit yang membentang sampai cakrawala, seperti benteng, yang membentengi lautan lumpur. Orang-orang itu mencoba mencari kegembiraan kecil, atau mencoba menyelami penderitaan kami. Tak ada yang tahu. Kami benar-benar jauh dalam genggaman ikan berkepala besar berbelalai banyak.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Dan kau sangat tahu, dalam teriakan bahasa hatimu yang aku tangkap samar-samar, kau menulis: ”Ada kapal-kapal tanker besar menanti. Para nakhodanya bertubuh besar dan bertangan banyak sekali. Sebagian dari tangan-tangan itu memegang senapan. Sebagian lagi terus-menerus menekan angka-angka di mesin hitung dan pencatat waktu. Para kelasinya tak pernah menginjak bumi dan tak pernah berdiam, kerja siang malam….”</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Kini apakah pantas kotaku, rumahku, namaku, kau cari-cari dalam timbunan lumpur yang semakin menggunung itu? Apalah arti kotaku, apalah arti rumahku, apalah arti namaku, sedangkan Marsinah saja telah menjadi purba! Tugu kuning tempat Marsinah diculik juga telah musnah. Sia-sia!</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
”Amnesia! Udara pengap kota kami menjadi virus lupa ingatan!”</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Tak perlulah kau ingat. Tak perlulah kau kenang. Tunggulah, pada suatu saat nanti kotaku akan kau temukan dalam pesta pora para monster menyambut kemenangan dewa ikan berkepala besar berbelalai banyak.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Dalam mesin hitung, kami telah dipurbakan. Kami diendapkan dalam waktu dan pada suatu saatnya nanti, kota kami digali dari kuburnya. Nama-nama kami dicatat, bendera-bendera berkibaran dalam pesta dewa ikan berkepala besar berbelalai banyak. Kota baruku akan ditemukan dengan nama yang ditulis dengan huruf Palawa: Kahuripan.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
”Apakah kau tahu arti Kahuripan?”</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Sebenarnya kotaku tak bisa dimatikan, karena sikap teguh kami untuk tidak kompromi. Kotaku tak bisa dihilangkan begitu saja. Ia akan lahir kembali dalam kenangan yang mengekal dan banal.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Pesanku, kalaupun pada suatu saat nanti kotaku tak ditemukan, maka kenanglah kotaku seperti dalam suara keras hatimu di bait terakhir: ”Dulu di sana, para petinggi agama berkhotbah tak henti-hentinya”.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Itulah semulia-mulianya kenangan.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<b>Sidoarjo, 2011 </b></div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Catatan:<br />
1. Cerita ini terinspirasi dari puisi: Kisah Kota Lumpur, Hasan Aspahani, 2006.<br />
2. Semua kutipan berasal dari bait puisi: Kisah Kota Lumpur, Hasan Aspahani, 2006.</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
</div>
Key Line (blogger Karawang)http://www.blogger.com/profile/14483151894163779873noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7166126875652907448.post-43566745637713917502012-05-13T02:25:00.000-07:002014-02-16T18:18:09.457-08:00Pertunjukan<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Kamu mengatakan bahwa yang saya persembahkan ini sebuah pertunjukan. Aku tidak setuju, sebab yang kusampaikan ke masyarakat hanyalah gangguan kuping. Aku berharap syaraf-syaraf kuping mereka tersiksa dengan hebatnya, lalu pada menit-menit bahkan detik-detik terakhir mereka akan aku siram dengan gerimis yang sejuk<br />
<br />
Turun dari pesawat kami harus jalan darat, dan tiba sudah sangat larut malam. Ada beberapa penjemput, dan kudengar Melani bertanya ke para penjemput itu, “Apakah Bapak Uskup sudah tidur?” Pertanyaan bodoh pikirku, tetapi aku hanya berjalan seperti zombie menuju mobil jemputan. Aku tidak tahu pasti apakah bisa tersenyum kepada para penjemput yang menyalami kami itu, atau wajahku juga mirip dengan wajah zombie. Maka setiba di wisma tamu aku langsung mandi dan tidur. Aku masukkan seluruh diriku ke dalam kantung tidur, dan selanjutnya rohku terbang sampai ke langit tujuh, lalu terjun sampai ke palung yang paling dalam, lubuk yang paling hangat di perut bumi.</div>
<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
</div>
<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Tahu-tahu hari sudah pagi. Bahkan sudah sangat siang. Semua sibuk dan ribut. Orang-orang itu juga meributkan, karena kata mereka, Melani tidur di kamarku. “Lalu ada apa?” tanyaku kepada orang-orang itu. Sambil tertawa-tawa mereka mengatakan, “Ya tidak kenapa-kenapa!” Maka siang itu pun kami berlatih dengan sangat serius sebab kata mereka pertunjukan akan berlangsung dua hari lagi. Aku bilang ke mereka, “Ini bukan pertunjukan, ini permainan pendengaran.” Mereka bingung tetapi segera mengatakan, “Ya benar juga ya Bapak? Bapak kan hanya akan duduk-duduk saja ketika memainkan alat-alat itu?” Meskipun kami hanya latihan, setiap kali selesai satu permainan, para penonton yang hanya beberapa orang itu memberikan aplaus berupa tepuk tangan. Ya, aku sadar ini kan kota kecil. Ini kota yang sangat kecil.</div>
<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
</div>
<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Bapak Uskup itu ternyata muda, gagah, tampan dan sangat ramah, bahkan egaliter. Dia memanggil saya dengan sebutan “Bung”. Saya tentu tetap memanggilnya dengan Bapak Uskup, kadangkala dengan Monsinyur. “Ini tadi Bung sudah makankah?” Saya menjawab, “Sudah Bapak Uskup. Kami makan enak sekali. Ikan, katanya hasil tangkapan dari sungai, dan sayur bunga pepaya. Tapi mengapa di sini juga ada tempe, Monsinyur?” Bapak Uskup itu tertawa berderai. “Wah, Bung ini bagaimana? Di sini kan banyak sekali transmigran dari Jawa, dari Yogya, dari Bali, ya merekalah yang memperkenalkan tempe ke orang-orang sini. Jadi Anda keberatan kalau acara kita ini nanti disebut pertunjukan?”</div>
<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
</div>
<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
***</div>
<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
</div>
<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Melani menjelaskan, bahwa sebenarnya biaya yang digunakan untuk mendatangkan rombongan, mengangkut alat-alat dari Jakarta, dan tetek bengek lainnya, andaikan dipakai untuk membangun sekolah, atau memberi beasiswa ke anak-anak berbakat, akan lebih bermanfaat bagi masyarakat. Dan yang akan mereka lihat hanyalah tangan yang memetik-metik, memukul-mukul, memencet-mencet, mulut yang meniup-niup, selebihnya mereka hanya akan mendengar teror bunyi. “Juga membetot, dan menggesek bukan?” Tanya Bapak Uskup itu, dan Melani mengangguk mengiyakan. “Benar Bapak Uskup, juga membetot dan menggesek.”<br />
<br />
Maka, seharusnya mereka cukup tidur-tiduran di rumah masing-masing, atau duduk-duduk mengitari perapian sambil makan ubi bakar, lalu bunyi-bunyian itu diperdengarkan ke telinga mereka. Itu lebih dari cukup. Mereka tentu akan sangat berterima kasih, andaikan uang untuk menerbangkan kami ini, diserahkan ke mereka guna membeli babi, atau untuk jajan bir dan wisky. “Ya itulah yang terkenal sampai di luaran sana.” Kata Bapak Uskup sambil manggut-manggut, menangkap apa yang disampaikan Melani. “Etnis yang tak punya tradisi memfermentasi karbohidrat, atau gula menjadi alkohol, ketika mengenal jenis minuman ini memang akan ketagihan. Beda dengan etnis yang punya keahlian membuatnya.”<br />
</div>
<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Panggung sudah didirikan entah berapa minggu yang lalu. Lampu sorot, <i>sound system</i>, dan generator sekian puluh ribu KVA digotong dari bawah sana. Berdrum-drum solar juga didatangkan, babi dipotong, sagu ditebang, semua siaga satu. “Apakah tadi Bung ikut bakar batu?” Sayang sekali. Saking capeknya aku ketiduran di kursi, dan tak ada seorang pun yang berani membangunkanku. Melani pun, yang biasanya teliti, kali ini teledor. Sayang sekali. Upacara bakar batu itu sangat penting. Bukan soal makannya, melainkan guyubnya itu <i>lho</i>! Seakan ada energi yang turun dari langit sana. Itu semua memang energi matahari: daging babi, ubi jalar, sayuran, semua hasil fotisintesis dari energi matahari. Lalu api untuk membakar batu itu juga berasal dari kayu dan serasah hasil fotosintesis energi matahari.</div>
<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
</div>
<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Di kejauhan saya melihat Bapak Uskup itu berbicara serius sekali dengan Melani, lalu mereka berdua menunjuk-nunjuk ke arah tertentu. Lalu mereka berbicara serius lagi, lalu beberapa orang datang membagi-bagikan bungkusan. “Ini rompi harus Bapak kenakan! Ini perintah Bapak Uskup. Kalau tidak pakai ini rompi, bisa mati kena peluru OPM.” Aku kaget, “Apakah di sini ada OPM?” Orang itu tetap menjawab dengan sangat serius. “Kata Bapak Uskup, kami semua OPM. Bapak Uskup juga OPM. Kami Orang Papua yang Merdeka. Itu kata Bapak Uskup. Kami tidak tahu apa maksud Bapak Uskup. Tetapi ini rompi harus Bapak Pakai. Maka aku pun mengenakan rompi itu, dan ya ampun! Berat sekali ternyata! Ini rompi dari bahan apa kok beratnya seperti ini?<br />
<br />
***<br />
</div>
<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Saya bertanya ke Melani, mengapa pada malam pertama itu ia tidur di kamar saya. Saya sama sekali tidak tahu, sebab begitu memasukkan badan ke kantung tidur langsung terlelap. Kebiasaan saya tidak pernah mengunci pintu kamar. Ketika pagi-pagi bangun, saya memang melihat Melani ada di kamar, tetapi saya mengira ia masuk pagi itu untuk sesuatu yang harus ia persiapkan. Ternyata Melani memelototi saya, “Kalau tidak masuk ke kamar ini, dan mengunci pintu dari dalam, saya sudah digilir tiga bapak-bapak yang sangat kekar.” Pasti. Kata Bapak Uskup, mereka pasti mabok. Sudahlah, kita memang terpaksa harus melupakan apa saja yang sebaiknya kita lupakan. Sambil terus mengingat-ingat apa saja yang seharusnya kita ingat-ingat dengan sangat cermat.</div>
<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
</div>
<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Kamu masih ingat kan Melani, ini bukan Jakarta. Maka kita semua harus ekstra hati-hati. Maka apakah kamu sudah memakai rompi? Aku yakin tubuh Melani yang kecil itu akan jadi lucu kalau harus diberi rompi, lalu ia harus memakai blus, atau apa saja di bagian luarnya. Jangan-jangan ia tidak mau mengenakan rompi itu? Seharusnya kita memang mengenakan sesuatu yang penting, dan mendesak untuk kita kenakan. Maka saya minta izin kepada Bapak Uskup, apakah dalam pertunjukan ini nanti boleh mengenakan kain sarung? Bapak Uskup menggeleng-gelengkan kepala, tetapi seraya menjawab, “Untuk Bung, apa sih yang tidak diperbolehkan? Andaikan Bung minta izin untuk pakai koteka pun aku harus kasih izin. Silakan, monggo. Ya, aku memang Flores. tepatnya Manggarai, tetapi <i>ngomong</i> Jawa <i>iso</i>. <i>Kromo inggil sekedik-sekedik</i>! <i>Lha wong</i> Seminari Tinggi saya di Kentungan kok!”</div>
<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
</div>
<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
“Tapi saya akan menjawab kritikan anak buah Bung itu. Ya, Bu Melani itu. Keuskupan membiayai penerbangan sekian banyak orang dari Jakarta, memang benar. Tetapi saya akan cerita yang lain. Dulu para mahasiswa di sini pernah usul agar saya mendatangkan seniman besar nasional kemari. Kebetulan saya pribadi kenal baik dengan beliau, maka langsung saya hubungi. Di luar dugaan beliau minta dibayar seratus juta. <i>Lha</i> saya bilang keuskupan tidak punya uang sebanyak itu. E, beliau enak saja bilang bahwa saya bisa minta ke Freeport. Saya juga langsung bilang bahwa saya ini uskup, bukan peminta-minta. Tampaknya beliau agak tersinggung saya jawab begitu, dan itu semua saya sampaikan ke para mahasiswa.”</div>
<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
</div>
<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Baiklah, semua sudah sangat jelas. Tak akan ada pertunjukan. Mereka hanya akan menyaksikan orang duduk-duduk, satu dua memang akan ada yang berdiri di panggung, lalu semua akan mengoperasikan tangan-tangan mereka, hingga alat-alat mahal yang diangkut dari Jakarta itu akan mengeluarkan bunyi-bunyian. Bunyi alat-alat itu memang tidak ada yang seperti teriakan perang, suara burung, atau jerit babi yang ditusuk aortanya sebelum dipotong-potong dan dipanggang. Mengapa bunyi-bunyian itu perlu diperdengarkan ke mereka? Semua hanya sebuah konsensus. Tapi sejak awal, saya hanya mengira bahwa yang akan terjadi hanyalah basa-basi. Para undangan akan berpura-pura mengapresiasi dengan tepuk tangan. Itu gampang sekali sebab cara bertepuk tangan sudah diajarkan sejak anak-anak, oleh para ibu guru TK.<br />
<br />
***<br />
<br />
Kadangkala aku juga agak kikuk ketika ada bapak-bapak atau ibu-ibu memanggil saya dengan sebutan Romo. Itu kan sebutan untuk pastor, padahal saya ini bukan pastor. Sulit sekali menjelaskan hal ini, tetapi tetap harus dijelaskan dengan sejelas-jelasnya. Melani sangat bisa diandalkan dalam hal ini, hingga tahu-tahu semua sudah sangat rapi. Aparat pemerintah berjajar rapi di kursi kehormatan deretan paling depan. Di depan meja mereka ada minuman air dalam botol plastik, ada juga buah impor. Mereka duduk menghadap panggung, dan kuping mereka sudah terpasang di kiri maupun di kanan. Hanya kadangkala kuping kanan mereka, mereka paksa untuk mendengar suara dari sebuah kotak kecil gepeng berwarna hitam, dengan tombol-tombol banyak sekali.<br />
</div>
<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Rakyat juga sudah siap untuk menyaksikan para pejabat itu bertepuk tangan, dan itu adalah komando bahwa mereka juga wajib ikut bertepuk tangan. Tepuk tangan mereka juga harus sopan, lalu bisa dihentikan serentak ketika tiba saatnya untuk berhenti, tanpa perlu diberi aba-aba secara resmi. Teratak yang dibangun darurat itu cukup kokoh, beratapkan daun sagu, dan setelah pidato-pidato, setelah sambutan-sambutan, rombongan dari Jakarta itu pun lalu memperdengarkan bunyi-bunyian dari peralatan yang mereka bawa. Begitu alat-alat itu dibunyikan, serentak para undangan bertepuk tangan, dan segera disusul oleh rakyat yang juga bertepuk tangan ramai sekali.<br />
<br />
Tapi biarkan saja. Drum, gitar, piano, bas, apalagi? Tepuk tangan itu juga sangat keras. Lampu sorot itu bukan hanya terang tetapi juga panas hingga tubuh yang di panggung menjadi gerah dan berkeringat. Tapi ketika lampu sorot itu padam, juga lampu-lampu yang lain, maka kedengaran jerit ramai sekali. Ketika lama sekali lampu tidak kunjung menyala, semua bertanya-tanya. Ketika kedengaran suara tembakan maka yang kupikirkan apakah Melani sudah benar-benar mengenakan rompinya? <i>Lho</i>, apakah ia juga mendapatkan jatah rompi? Jangan-jangan hanya aku seorang yang diberi rompi. Beberapa orang lalu menyorotkan lampu senter. Lalu ada tembakan lagi. Lalu aparat kepolisian menjadi sangat sibuk. Itulah, tak ada yang bisa dipertunjukkan. Semua gelap, tapi tetap ada yang bisa diperdengarkan: jeritan, tembakan, dan suara yang gaduh.<br />
<b>Sorong, 2011</b><br />
</div>
Key Line (blogger Karawang)http://www.blogger.com/profile/14483151894163779873noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7166126875652907448.post-62709186493357501502012-04-25T05:14:00.002-07:002012-04-25T05:24:15.461-07:00Bukit Mawar<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjIxZTKVhdbPjz74xTh08C4efxnmWtF-f6FIw_2Mp57ApWEb29KZltTu0qh_bcltT5PEV2XCmWTu8JdJJqLVXF2u2lK-tfOezNNU6kqmIZTEMjrFfol_C1Z7aEmejzmbK0qgrDA3Ufg6g/s1600/bukit-mawar.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjIxZTKVhdbPjz74xTh08C4efxnmWtF-f6FIw_2Mp57ApWEb29KZltTu0qh_bcltT5PEV2XCmWTu8JdJJqLVXF2u2lK-tfOezNNU6kqmIZTEMjrFfol_C1Z7aEmejzmbK0qgrDA3Ufg6g/s1600/bukit-mawar.jpg" /></a></div>Namanya Arjuna. Laki-laki, kurus, bujangan, 45 tahun-an. Ada yang memanggilnya ”Mas Ar”, ada juga yang memanggilnya dengan ”Kang Juna”. Siapa yang benar? Kurasa dua-duanya benar, karena Arjuna hanya tersenyum.<br />
<a name='more'></a></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Ketika ada yang penasaran mengapa dia diberi nama Arjuna, laki-laki itu hanya tersenyum ramah. Lalu, biasanya, dia akan melanjutkan dengan suaranya yang ragu dan sedikit gemetar bahwa itu pilihan ibunya. Ibunya hanya penjual bunga di makam.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Apa ibu sampean penggemar wayang?” ada saja yang bertanya begitu.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span id="more-1572"></span>”Saya tidak tahu. Dan saya juga tidak tertarik untuk bertanya,” jawabnya seperti biasa.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Arjuna juga tidak setampan yang dibayangkan banyak gadis; paling tidak itu yang dialaminya dulu ketika masih remaja. Wajahnya berkesan layu, apalagi dengan rambutnya yang lurus tipis dan selalu berantakan. Belum lagi ada beberapa bopeng bekas cacar semasa bocah, maka Arjuna sangat jauh dari bayangan kegantengan pemuda idola.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Dia sahabat sepermainanku, sejak masa belum sekolah, kemudian taman kanak-kanak, ngaji bersama, sampai kelas 3 sekolah dasar. Setelah itu, kami terpisahkan oleh nasib orangtua kami. Maksudku, aku terpaksa pindah ke Jakarta dan dia tetap di sana. Akan tetapi nasib pula yang mempertemukan kami di tempat ini. Aku tinggal di dekat Bogor, dan ketika aku dan istri iseng-iseng mencari tanaman untuk rumah baru kami, aku dipertemukan dengan Arjuna.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Begitulah, tanpa upacara, nyaris tanpa kata, aku bertemu dengan Arjuna, yang masih kurus, layu dan wajah berbopeng luka cacar. Namun sejak itu—dua tahun lalu—aku sering bertandang ke kediaman sekaligus kebunnya.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">***</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Arjuna dan mawar memang tak terpisahkan. Maksudku, Arjuna adalah sahabatku, dan siapakah mawar? Bukan siapa-siapa, karena memang bukan manusia, tetapi tanaman. Mawar kampung.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Kenapa?” tanyaku, suatu kali.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Apanya yang kenapa?” jawabnya sambil membuat wadah dari sabut kelapa dan pelepah pisang untuk bibit. Tangannya sangat terampil menciptakan wadah-wadah sederhana itu.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Mawar. Kenapa bukan Anthurium, atau Anggrek Hitam, misalnya?”</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Sudah pernah dan ketika anthurium merajai pasaran, aku bisa beli tanah ini, seluas ini,” ujarnya datar saja, tetap berkonsentrasi pada pekerjaannya. Kupandangi tanah seluas seribu meter persegi di tepi jalan itu. Ada patok-patok kayu.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Mereka mau membangun mal,” ucapnya dingin.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Maksudmu?”</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Mereka memaksaku untuk menjual tanah ini dan membangun mal di atas lahan ini.”</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Hmm… kalau harganya bagus, kenapa tidak dilepas.”</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Harganya bagus. Tapi aku tidak mau melepas.”</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Kenapa?”</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Dia diam, menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan sedikit kesal. ”Lantas di mana aku menanam mawar-mawarku?”</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">***</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Sepulangku dari kediaman Arjuna, aku tak bisa tidur. Aneh, manusia satu itu. Kuperkirakan, dia bisa mengantungi sedikitnya dua miliar; dengan luas dan posisi dekat jalan raya, dan dengan uang itu dia bisa membeli tanah yang lebih luas…lebih daripada cukup kalau untuk menanam mawar kampung! Gila.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Tapi, entah mengapa, aku diserang rasa gelisah. Ada yang begitu murni, bodoh—mungkin—, dan rasa cinta yang tulus, ketika dia mempertanyakan di mana akan menanam mawarnya. Ah, jangan-jangan aku sudah tertular penyakit gila yang dideritanya. Sangat tidak masuk akal. Sangat bodoh.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">***</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Beberapa bulan berlalu, aku tidak main ke rumahnya. Mungkin karena jengkel, mungkin juga karena merasa berhadapan dengan orang sinting, aku tidak berminat menemuinya. Tapi, mungkin juga karena aku memang ditelan kesibukan pekerjaan. Aku harus mengawasi proyek, yang kadang-kadang membuatku berhari-hari di luar kota. Ketika pulang pun, aku hanya bisa bertemu dengan kesunyian rumah dan si Min, pembantu kami, karena istriku pun ditelan kesibukan kantornya, dan saat itu dia di Makassar.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Dua hari yang lalu, ada orang ke rumah, nyari bapak…” ujar Min sambil membongkar tasku.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Aku diam, mencoba menikmati kehampaan yang tiba-tiba menganga ini. Kusimak pembicaraan Min dan aku tahu bahwa orang itu pastilah Arjuna. Apalagi ketika kutanyakan apakah di wajahnya ada bekas bopeng cacar dan Min mengiyakan sambil tertawa, aku yakin, orang itu pasti Arjuna.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Keberatan nama Pak, Arjuna, kok, <i>nyekingkring</i>.” tambahnya sambil tertawa geli sendiri.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Ada pesan apa?”</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”<i>Ndak</i> ada…dia cuma bilang, ’o, ya, sudah’…terus pulang.”</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">***</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Lama setelah itu, aku masih saja belum sempat menemui Arjuna. Aku mau telepon, tapi seingatku, dia tak pernah memberiku nomor HP. Manusia primitif satu ini memang istimewa sekali.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Sementara itu persoalanku sendiri dengan Andin—istriku—muncul lagi. Persoalan yang sebetulnya sudah bisa diduga dan diurai dengan mudah, tapi, sekali lagi, emosi dan tenaga kami habis disedot pekerjaan. Siang dan malam hanyalah soal terang dan gelap belaka. Rumah berkamar tidur dengan pendingin udara, bahkan bukan sebuah kesejukan di rumah kami. Kami adalah dua orang yang saling bermusuhan diam-diam dan menyembunyikan diri di balik laptop atau BB, untuk saling …entahlah. Aku bahkan kehilangan semua kosakata, dan anehnya dia yang dulu terkenal bawel—dan itu yang membuatku jatuh cinta—kini lebih bisu daripada batu.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Aku sendiri sudah tidak tahu lagi, sudah berapa jauh jarak kehidupan cinta kami terentang. Sejak kapan hal itu dimulai, kurasa dia pun tak punya jawaban. Yang ada hanyalah kami harus punya foto perkawinan yang bahagia, senyum manis tak terkira dan handai taulan, sanak saudara, kenalan, relasi, bos menganggap kami manusia bahagia yang patut dijadikan contoh.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Beruntunglah Arjuna, barangkali dia tidak menemukan neraka itu di rumahnya, karena dia hanya mengikatkan diri pada mawarnya.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">***</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Siang itu di proyek, yang kurasakan adalah tusukan sepi yang luar biasa. Di kantin, ketika makan siang, mataku tertuju pada televisi yang menyiarkan peristiwa. Ah, ini membuatku kian merasa terpuruk menjadi manusia; apa sebetulnya yang ingin kucari? Protes, demo, penembakan oleh aparat, korupsi, artis dilecehkan, wartawan dan pelajar saling jotos, guru menggampar murid, murid membunuh guru…;coba sebut satu saja yang mampu memberikan harapan hidup lebih baik.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Tapi, ketika seorang penyiar menyebut satu nama—sambil sedikit tersenyum, aku seperti tersengat lebah. Arjuna jadi berita. Ah, pastilah kasus tanahnya. Ah, bagaimana dia? Kusimak berita, tapi tak kulihat si Arjuna. Hanya ada massa yang kulihat mendukung Arjuna—di halaman Kantor Pengadilan Negeri.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">***</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Entah mengapa, berita tv siang itu menggangguku; paling tidak, telah berubah menjadi semacam isu di antara kami. Sambil makan malam bersama kolega bisnis properti dan beberapa investor, percakapan tentang Arjuna menjadi bagian dari menu malam itu. Aku tentu saja harus bersama Andin, yang sejak semula harus merasa bahagia bersamaku.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Andin, coba kalau kamu punya tanah seluas itu dengan harga jual yang sangat bagus—di atas NJOP di wilayah itu—kamu bertahan?” ucap bosku sambil menyuapkan potongan steik ke mulutnya.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Andin hanya tersenyum saja, menjawab tanpa jawaban. Sempat kulirik senyumnya. Masih senyum yang dulu kukenali dan kusukai. Sesaat kemudian pandangan kami bertemu di suatu sudut yang dulu pernah kami singgahi; sudut kecil saja di kenanganku—paling tidak.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Kalau saya, maaf, tanah itu tidak akan saya jual…” entah mengapa, aku tiba-tiba seperti didorong oleh tenaga aneh, meloncat begitu saja dari mulutku.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Meja makan seperti tersiram es. Aku tahu, tak seorang pun boleh membantah ucapan bosku, karena dia adalah bos.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Mmm…bukan itu jawaban yang aku harapkan, apalagi dari kamu. Tapi, …mm…tolong, buat aku bisa memahami ’kebodohan’ yang…” dia menebar pandangan kemudian tertawa, diikuti orang semeja. Kulihat Andin salah tingkah.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Mmm…(aku menelan ludah)…maksud saya, saya paham pada apa yang dilakukan Arjuna…”</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Ooo, jadi kamu kenal juga dengan si Arjuna?” sela bosku, yang melanjutkannya dengan gelak tawa.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Mmm…ya, Pak. Dia sahabat sepermainan…”</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Maaf…bilang sama Arjuna, dia boleh saja menikmati kemenangannya kali ini. Tapi itu tidak lama…”</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Di perjalanan pulang, aku membisu. Andin membeku. Entah mengapa, aku merasa tiba-tiba menjadi ancaman bagi Arjuna.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Entah mengapa, tiba-tiba Andin membuka pembicaraan yang membuatku merasa kian bodoh. Bermula dari celaannya tentang mengapa aku tiba-tiba berkomentar tentang pertanyaan yang bahkan bukan untukku, sampai sebuah hubungan antara kantorku dengan Arjuna yang selama ini sama sekali tak kusadari.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Makanya, jangan asyik sendiri. Jelas sekali, siapa pun tahu kalau kantormu itu gurita dengan sejuta tentakel. Terus mau apa? Demi Arjuna dan mawarnya itu, kamu mau apa?”</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Aku diam. Aku hanya ingin sampai di rumah.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">***</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Sejak peristiwa makan malam itu, aku jadi makin kehilangan kegembiraan bekerja. Semua perhatianku, bahkan mimpiku, tersedot pada Arjuna dan mawarnya. Dan entah mengapa, di mata bosku, aku seperti duri dalam daging. Kusadari semuanya tanpa perasaan apa-apa. Kuterima semua penilaian atas dedikasiku selama ini, dari bosku, dengan jiwa kosong. Aneh juga rasanya, tapi itulah yang kualami. Termasuk ketika bos menawariku posisi lain di salah satu perusahaannya yang lain—untuk menghilangkan ’duri’ yang ada di ’daging’-nya, aku menolak dengan halus. Aku memilih duduk di samping Arjuna yang tenang membuat wadah-wadah sederhana dari tapas kelapa dan pelepah pisang.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">***</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Itulah yang kulakukan. Dan ketika aku sampai di rumah Arjuna, aku dibuat terperangah. Rupanya, selama ini, ketika proses pengadilan berlangsung, pihak ’pembeli’ bahkan sudah membangun bangunan, memang belum finishing, tapi bangunan itu sudah berdiri. Ya, Tuhan, sudah berapa lama aku tidak berhubungan dengan Arjuna?</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Dan bangunan itu, oleh Arjuna sengaja tidak dihancurkan. Orang gila satu ini memang selalu aneh-aneh. Dia bahkan menggali tanah di sekeliling bangunan belum jadi itu dan menguruk seluruh bangunan itu hingga menjelma bukit. Bukit tanah merah yang dikelilingi parit dalam.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Kusaksikan orang-orang kampung yang mendukung tindakan Arjuna di pengadilan sibuk melakukan ini-itu. Kami duduk di tanah menatap ’bukit’ yang baru lahir itu.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Apa yang akan kamu lakukan dengan bukit ini?”</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Bayangkan, Tom. Ini nanti akan jadi bukit mawar. Seluruhnya aku tanami mawar kampung.”</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Seluruhnya?” dan kudengar Arjuna tertawa bahagia. Kemudian dia menyambung bahwa parit yang lebar dan panjang mengelilingi bukit ini akan jadi lahan pemancingan, yang mengurusi nanti adalah–dia menyebutkan beberapa nama yang kuduga orang kampung situ.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Sambil membayangkan di sana-sini muncul warung makan kecil, dan orang-orang makan ikan bakar, atau sekadar minum kopi, mereka menikmati ”keajaiban dunia”: bukit mawar. Arjuna bukan hanya membangun keajaiban, bukan juga membangun mimpi, tetapi harapan bagi orang banyak. Aku jadi kian merasa tak ada apa-apanya berhadapan dengan anak janda penjual bunga di makam ini.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Terima kasih, kamu mau datang,” ucapnya dengan senyum mawarnya. ”mmm…ngajak mbak Andin, ya…”</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Andin menyusulku? Dan kulihat Andin gembira, gelak tawanya lepas, seperti murai yang berkicau di pagi hari, dia pun mengoceh dan mengoceh. Aku terkunci dalam kebingunganku sendiri.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Aku suka ini. Aku gembira ada yang bisa memutus rantai kebekuan. Dan aku bangga, kau pun melakukan itu.” Ucapnya dengan wajahnya, yang—ah, kenapa jadi cantik sekali?</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Aku tidak melakukan apa-apa…”</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Kau keluar dari gurita raksasa, itu adalah sebuah perbuatan gila, sinting, tapi benar. Dan…aku bangga bahwa aku masih punya seseorang yang mau berbuat benar.”</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Meskipun gila?” godaku.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Plus sinting dan nekat,” tambahnya diikuti gelak tawa.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">***</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Setelah dia jelaskan apa yang akan dilakukannya dengan bukit itu, dia pun merangkak memanjat bukitnya. Di tangan kanannya tergenggam sebatang mawar.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Sebuah ritual pun dimulai.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div>Key Line (blogger Karawang)http://www.blogger.com/profile/14483151894163779873noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7166126875652907448.post-64370871509706433982012-03-08T03:14:00.000-08:002012-03-08T03:14:25.594-08:00Puisi Ukhuwah<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Aku berkaca dalam setiap langkahku</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Menelusuri lorong-lorong pertanyaan dalam pikirku</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Dan menghabiskan waktu memandangi aspal yang panas</span><br />
<a name='more'></a><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Sesungguhnya saat ini aku sedang kumat</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Dengan perasaan yang melankolis</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Berusaha menuai makna</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Tentang tangisku</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Dalam Jumat yang menyejukkan hati</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Meskipun terik merajai siang</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Saudaraku…</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Serentak tubuhku bergetar</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Mendengar keluhan dalam hatiku</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Yang ingin bercengkerama dengan kalian semua</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Satu per satu…</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Seringkali…</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Aku melihat kegundahan kalian dalam penelusuran ini</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Di jalan yang tak berujung bagi mata</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Namun berpuncak bagi hati yang merindu syahid</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Saudaraku…</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Seandainya tubuhmu sedang berada di sini</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Inginku peluk dengan sangat erat</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Sehingga aku bisa menghapus peluhmu</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Dan menata guratan wajahmu menjadi senyum</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Namun…</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Aku hanya bisa menjamahmu dalam doaku</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Yang tidak terlalu panjang</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Saudaraku…</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Jika kau butuh, aku ingin meminjamkan nafasku</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Agar kau tak lagi pengap dalam pedihnya kekecewaan</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Atau</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Kupinjamkan tanganku</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Untuk mendorongmu dikala kau melemah</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Bahkan mengangkatmu dari jurang keraguan</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Ketika sesekali perjalanan terjal ini</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Menjatuhkan hatimu dalam luka dan ragu</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Demi Allah aku melihatnya</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Puncak itu semakin mendekat</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Aku ingin…</span><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><br style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" /><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Kita bisa bersenda gurau pada hari akhir"</span><br />
<br />
<br />
<div style="text-align: right;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><a href="http://www.facebook.com/profile.php?id=100003467397016" target="_blank"><b>Mariam Eka </b></a></span></div>Key Line (blogger Karawang)http://www.blogger.com/profile/14483151894163779873noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7166126875652907448.post-11444083762284351352012-03-05T17:44:00.001-08:002012-03-05T22:31:07.953-08:00Ambe Masih Sakit<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Di kampungku, Tana Toraja, aura kematian sering kali berembus seperti angin. Jika terlihat secarik kain putih melambai di halaman tongkonan, itu pertanda ada orang yang masih hidup meski sudah mati, ”to makula”.<br />
<a name='more'></a> Di sini, kematian dirayakan dengan biaya yang tak sedikit.Inilah akibatnya.</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Sudah hampir sepuluh tahun Ambe terbaring di dalam erong, seolah menanti upacara <i>rambu solo</i> yang tak kunjung dilaksanakan oleh sanak keluarga. Sebab, tak ada dana atau belum dan jauh dari mencukupi walau kami tengah mengupayakannya. Hingga hari ini.</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Pagi tak lagi halimun. Kulihat Indo sedang sarapan dengan Ambe yang masih sakit, terbujur kaku di dalam peti mati itu. Nyawanya menjelma arwah, tapi tetap tinggal kendati tidak menyatu dengan jasad. Menderitakah ia menjadi <i>bombo</i>?</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Selamat pagi, Ambe. Aku mau berangkat.”</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Cahaya matahari, yang bangkit menembus celah dinding di sumbung, menimpa tubuh Ambe yang susut dan pakaian kebesarannya tampak berdebu.</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Hati-hati, Anakku. Semoga <i>dalle</i>-mu hari ini berkah. Berkat dari langit.” Jawaban Indo seperti doa.</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Sering kulihat rona wajahnya tak ada duka meski ia sudah lama berkabung. Mungkin karena itu hatinya tak lagi berkabut. Menjalani hari dengan bahagia walau keadaan seperti ini. Ia mengantar kepergianku sampai depan pintu. Aku tahu, ia selalu menaruh harap agar aku cepat dapat uang untuk upacara kematian Ambe. Letihkah Indo merawat Ambe?</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Cuma tongkonan ini yang kami punya atau yang tersisa. Indo hanya istri kedua Ambe. Katanya, dulu banyak kerabat tidak setuju ketika mereka menikah dan kakak-kakak tiriku menerima dengan syarat menuntut pembagian harta sebagai ahli waris mendiang ibu mereka. Sekarang, Ambe tak memiliki harta peninggalan, bahkan buat perayaan kematiannya sendiri. Anak-anaknya terdahulu pun seperti tak peduli. Tinggallah aku dan Indo yang menanggung beban. Berat, entah sampai kapan kami mampu menahan.</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Aku pulang membawa hasil yang lebih dari biasanya walau aku tidak menjadi <i>guide</i>. Lumayan. Ukir-ukiran aku hampir habis dan beberapa lembar tenunan Indo laku. Dibeli oleh turis asing dan lokal yang lalu lalang. Sebenarnya masih siang meski sudah menjelang sore. Dan, aku mendapatkan kejutan kecil.</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Margaretha Sua datang berkunjung. Dari Makale ke Rantepao menempuh jarak yang tak jauh. Ia perempuan mamasa dan sudah jadi pegawai. Akhir-akhir ini aku jarang bertemu dengannya. Kami tidak sering bersama setelah ia pindah mengikuti orangtuanya. Kami duduk di kolong alang. Alih-alih melepas rindu, wajahnya malah mendung membawa kabar tak baik.</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Upta, dia ingin segera melamarku,” segan perempuan itu berucap. Bibirnya seperti bunga yang kusuka, tapi ia mengeluarkan sengat.</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Kau mau menerimanya?” Aku mengumpulkan perasaanku yang tadi berhamburan untuk mengatakan itu.<br />
<br />
”Aku cuma dikasih waktu sedikit buat berpikir,” ujarnya pelan dan tergugu, barangkali isak.<br />
<br />
”Etha, bilang saja kalau kita hanya bisa sampai di sini.” Aku terempas seperti udara sisa di hidungnya.<br />
Margaretha Sua menatapku kisruh, ”Aku tidak mau jadi biarawati.”<br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Ia terlalu dirasuki cerita tantenya yang hidup selibat lantaran ditinggalkan kekasihnya yang tak mau menunggu. Upacara kematian bapaknya, kakek Margaretha Sua, tertunda lama. Kini perempuan di hadapanku takut berlomba dengan kematian neneknya.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Maafkan aku.”</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Aku yang minta maaf.”</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Margaretha Sua pergi, pelan-pelan mengabur dari penglihatanku ditelan tikungan jalan. Mungkin ia membawa luka atau lega? Ia seperti tidak setia.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Petang di ambang hari. Senja melumuri langit. Seketika bayangan gelap datang dari barat. Sementara aku tengah memandang di bukit utara itu yang dipenuhi tebing-tebing. Gunung-gunung batu yang di kakinya rimbun belukar rimba. Semak-semak raksasa yang tak habis untuk dikuak.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Mungkin Tuhan menjelma hutan hingga belantara itu dihuni arwah-arwah. Segala yang sudah mati hidup di sana seperti alam baka. Rindukah Ambe untuk ke sana sebagai <i>tomembali puang</i>? Bergabung dengan <i>tau-tau</i> yang asyik bertengger atau bernaung di pohon-pohon suaka ketika malam tiba bagai mengulang masa kanaknya. Seperti apakah kehidupan di <i>puya</i>?</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Dan, sampai kapan aku harus menanggung? Tabunganku tidak akan genap sekeras apa pun aku berusaha. Maafkan aku, Ambe, bila aku mengeluh. Aku sedang patah hati, mungkin putus asa. Indo tidak bisa dibujuk.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Adalah larangan melakukan <i>rambu tuka</i>, apalagi <i>rampanan kappa</i>, apabila <i>rambu solo</i> belum diselenggarakan. Ambemu masih sakit. Rohnya masih terkatung-katung di alam sana.” Kata Indo seolah memegang kukuh wasiat Ambe. Tapi, aku menerka ini kemauannya.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Kenapa? Apakah itu menyalahi <i>aluk</i>?” Aku tak tahu apa aku sedang menggugat adat yang aku yakini sendiri.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Itu sama saja kau meminta hakmu tanpa menunaikan kewajibanmu sebagai anak.” Indo seolah berkata, tunjukkan baktimu.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Dulu Ambe pernah bilang padaku, hidup itu untuk mati. Dunia ini tempat persinggahan dan mati adalah pintu ke <i>puya</i>, di kehidupan yang sesungguhnya,” jelasku punya maksud</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Iya, itu betul. Lantas?” kejar Indo mencium niatku.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Kata Ambe carilah bekal, <i>dalle</i> buat mati. Biar kelak tidak menyusahkan keturunanmu. Seharusnya Ambe juga begitu.” Aku tertunduk sebab lancang, ada sesal yang hinggap. Aku tak berani melihat Indo yang mungkin tengah membelalakkan mata, tak menyangka.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Indo merasa tidak pernah kurang mengajarimu, Upta.” Ia memanggil namaku seakan aku bukan anaknya lagi. Dapat kudengar hela embusnya kecewa, ”Ambemu perlu kunci untuk membuka pintu ke <i>puya</i>, <i>rambu solo</i>. Perjalanan ke sana jauh sekali butuh kendaraan, <i>tedong bonga</i>, agar cepat sampai.”</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Beberapa babi dan seekor kerbau aku kira sudah cukup, Indo. <i>Tedong bonga</i> ratusan juta harganya. Kita mana sanggup.”</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Kau ini! Ambemu keturunan <i>tana bulaan</i>. Bukan orang sembarangan. Kalau cuma itu, sudah dari dulu Indo melakukan <i>rambu solo</i>. Tak perlu menunggu bertahun-tahun. Dengar, Upta. Ini bukan asal upacara, tapi martabat yang mesti dijunjung. Kau tahu itu! Ambemu akan tersesat karena ulahmu.” Suara Indo melangit seperti bulan yang pongah.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Aku lebih bangga kau merantau ke Papua. Di sana kau bisa dapat uang banyak ketimbang di sini. Atau kau mau mati di sana, terserah.” Indo bicara terus sebab aku seperti patung, kepala batu. Indo kenal sekali tabiatku, kalau ada mau diam tapi rusuh.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Kau tidak bakal ada di dunia ini kalau tak ada Ambemu yang meminta kau dilahirkan.” Indo berkata tega. Napasnya panas. Kubayangkan, dulu mungkin ia hendak menggugurkan dan menguburkanku di pohon nangka, tapi dicegah oleh Ambe. Keberadaanku kau tampik, benarkah kabar itu?</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Matahari siang dan bulan malam tidak pernah bertemu. Kalau sampai itu terjadi, itu artinya kiamat! Kau boleh menikah, tapi bukan di tongkonan ini dan tanpa restu dariku,” cetusnya mengancam. Indo menarik kakinya pergi ke sumbung, kebiasaannya sesenggukan di sana. Meratapi Ambe dan nasib. Atau masa lalu yang berusaha ia tutup dan simpan.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Malam benar-benar rindang. Beberapa kerabat dan tetangga datang. Kami main kartu sampai suntuk. Aku menyuguhkan kopi dan penganan seadanya. Mereka membawa <i>ballo</i>. Sunyi dingin meruap.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Upta Liman, itu bukan sepenuhnya bebanmu dan keputusan ada di tangan kakak-kakakmu yang telah abai di perantauan,” ujar Tato Randa bijak. Ia pamanku dari pihak Indo dan teman Ambe sebagai pemangku adat.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Seperti bukan orang Toraja saja mereka itu. Mabuk di kampung orang sampai lupa kampung sendiri,” imbuh Urru, teman seprofesiku yang sudah oleng. Entah berapa gelas tuak ia tenggak.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Kewajibanmu cuma mengingatkan meski kau harus menanggung belasungkawa yang menunda kegembiraan di tongkonan ini,” lanjut Tato Randa. Menimbulkan tanya di benakku yang keruh. Adakah rahasia yang kalian taruh?</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Kecuali kalau Indomu rela memutus hubungan dengan membayar nilai salah yang tak seberapa,” celetuk Tante Ully tak dinyana. Tanteku ini perempuan tua yang agak lain pikirannya. Ia melenggang setelah mendapat isyarat diam dari yang hadir selain aku, pergi menemani Indo di kamar. Matanya bicara padaku.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Kami kembali melanjutkan berembuk, tapi aku tidak berminat lagi. Mereka membujuk.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Kontaklah saudara-saudaramu itu untuk segera pulang. Urusan ini harus lekas dibereskan. Kami di sini sudah siap memberikan bantuan. Nanti kami ajukan proposal ke pemda buat diikutkan program pariwisata Natal dan Tahun Baru. Babi-babi dan kerbau akan kami sumbangkan. Kurangnya kalian usahakanlah.”</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Ah, bantuan ini adalah utang moral. Bakal malu jika tidak bisa mengembalikan, ketika kelak di antara mereka ada yang meninggal. Setara atau lebih dan aib akan aku tanggung bila tak mampu. Masih sakralkah perayaan kematian ini? Mereka pamit.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Indomu sulit berdamai dengan masa lalunya. Dulu ia berbuat dosa dan mencari selamat. Orang-orang kampung tak jadi mengusirnya. Ketahuilah dari silsilah,” bisik Tante Ully sebelum pulang. Selain kakak-kakak tiriku, yang aku tahu Ambe pernah menikah dengan janda kaya punya satu anak yang tak pernah kulihat dan tidak kutahu keberadaannya.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Ambe dari manakah aku mulai merunut? Kini aku berbaring lelap di sebelahmu. Hendak menerima jawab.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Kenapa Ambe menikahi Indo?” tanyaku seakan rohnya masih bersemayam dalam tubuh.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Karena aku mencintai Indomu.”</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Lama kutatap Ambe. Kuperhatikan saksama.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Apakah Indo mencintai Ambe?”</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Sebab ia terlalu lansia buat jadi Ambe.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Tanyakan itu pada Indomu.”</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Ia seolah tersenyum serupa sunggingan orang yang tidak punya gigi. Aku terjaga.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Pagiku dibuka dengan kedatangan tamu. Ribut, suara Indo ramai di halaman ketika aku menuruni tangga. Lelaki itu lagaknya seperti turis lokal dengan badan tambun. Tubuh Indo bergetar, kusut dan berantakan, menghalanginya masuk.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Aku punya hak atas rumah tongkonan ini, aku ahli warisnya!” tuntutnya tanpa melepas kacamata riben di wajahnya.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Kamu siapa?” aku maju di muka Indo.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Aku anak dulu dari Indoku. Istri pertama Ambemu. Tongkonan ini akan kujual. Pembelinya sudah ada. Sertifikatnya masih atas namaku, belum ada balik nama.” Jelasnya beruntun.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Rantedoping, ahli waris sudah berpindah tangan sejak kau pergi dan tak ada kabar. Biar nanti adat yang menentukan.” Indo bersikeras.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Siapa ahli warisnya, kau?”</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Bukan. Upta Liman, anakmu.”</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Baru kulihat airmata Indo menetes. </div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Lelaki itu menatapku nanap dan aku terlongo saat Indo hampir rebah pingsan. Kupeluk Indo yang begitu ringkih.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Toddopuli 2 STP 8</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><small style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><b>Catatan</b>:<br />
<i>Ambe</i>: ayah<br />
<i>Indo</i>: ibu<br />
<i>Tongkonan</i>: rumah adat orang Toraja<br />
<i>To makula</i>: orang mati yang belum diupacarakan, masih dianggap sakit<br />
<i>Erong</i>: peti mati<br />
<i>Rambu solo</i>: upacara kematian khas Toraja<br />
<i>Bombo</i>: roh yang menunggu upacara<br />
<i>Sumbung</i>: bagian belakang rumah tempat menyimpan mayat<br />
<i>Dalle</i>: rezeki<br />
<i>Alang</i>: tempat menyimpan padi miniatur tongkonan<br />
<i>Rambu tuka</i>: upacara kegembiraan<br />
<i>Rampanan kappa</i>: pesta pernikahan<br />
<i>Aluk</i>: adat<br />
<i>Tomembali puang</i>: roh yang sudah diupacarakan berwujud setengah dewa<br />
<i>Tau-tau</i>: boneka kayu, wujudnya menyerupai orang yang diupacarakan<br />
<i>Puya</i>: surga<br />
<i>Ballo</i>: tuak<br />
<i>Tana bulaan</i>: kaum bangsawan tertinggi</small><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"> </span></div>Key Line (blogger Karawang)http://www.blogger.com/profile/14483151894163779873noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7166126875652907448.post-30354044611371696562012-02-27T23:53:00.002-08:002012-02-29T04:47:31.083-08:00Laki-laki Pemanggul Goni<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Setiap kali akan sembahyang, sebelum sempat menggelar sajadah untuk sembahyang, Karmain selalu ditarik oleh kekuatan luar biasa besar untuk mendekati jendela, membuka sedikit kordennya, dan mengintip ke bawah, ke jalan besar,<br />
<a name='more'></a>dari apartemennya di lantai sembilan, untuk menyaksikan laki-laki pemanggul goni menembakkan matanya ke arah matanya.</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
Tidak tergantung apakah fajar, tengah hari, sore, senja, malam, ataupun selepas tengah malam, mata laki-laki pemanggul goni selalu menyala-nyala bagaikan mata kucing di malam hari, dan selalu memancarkan hasrat besar untuk menghancurkan.<br />
<br />
Tubuh laki-laki pemanggul goni tidak besar, tidak juga kecil, dan tidak tinggi namun juga tidak pendek, sementara goni yang dipanggulnya selamanya tampak berat, entah apa isinya. Pada waktu sepi, laki-laki pemanggul goni pasti berdiri di tengah jalan, dan pada waktu jalan ramai, pasti laki-laki pemanggul goni berdiri di trotoir, tidak jauh dari semak-semak, yang kalau sepi dan angin sedang kencang selalu mengeluarkan bunyi-bunyian yang sangat menyayat hati.<br />
<br />
<span id="more-1533"></span>Beberapa kali terjadi, ketika jalan sedang ramai dan laki-laki pemanggul goni menembakkan mata kepadanya, Karmain dengan tergesa-gesa turun, lalu mendekati semak-semak dekat trotoir, tetapi laki-laki pemanggul goni pasti sudah tidak ada lagi. Dan ketika Karmain bertanya kepada beberapa orang apakah mereka tadi melihat ada seorang laki-laki pemanggul goni, mereka menggeleng.<br />
Apabila hari masih terang, beberapa kali laki-laki pemanggul goni membaur dengan orang-orang yang sedang menunggu bus, sambil menembakkan matanya ke arah Karmain. Tapi, ketika Karmain tiba di tempat orang-orang yang menunggu bus, laki-laki pemanggul goni sudah tidak ada, dan orang-orang pasti menggelengkan kepala apabila mereka ditanya apakah tadi mereka menyaksikan ada laki-laki pemanggul goni.<br />
<br />
Pada suatu hari, ketika hari sudah melewati tengah malam dan Karmain sudah bangun lalu membersihkan tubuh untuk sembahyang, korden jendela seolah-olah terkena angin dan menyingkap dengan sendirinya. Maka Karmain pun bergegas mendekati jendela, dan menyaksikan di bawah sana, di tengah-tengah jalan besar, laki-laki pemanggul goni berdiri membungkuk mungkin karena goninya terlalu berat, sambil menembakkan matanya ke arah dirinya. Kendati lampu jalan tidak begitu terang, tampak dengan jelas wajah laki-laki pemanggul goni menyiratkan rasa amarah, dan menantang Karmain untuk turun ke bawah.<br />
<br />
Karena sudah terbiasa menyaksikan laki-laki pemanggul goni bertingkah, dengan lembut Karmain berkata: ”Wahai, laki-laki pemanggul goni, mengapakah kau tidak naik saja, dan ikut bersembahyang bersama saya.” Kendati jarak antara jendela di lantai sembilan dan jalan besar di bawah sana cukup jauh, tampak laki-laki pemanggul goni mendengar ajakan lembut Karmain. Wajah laki-laki pemanggul goni tampak berkerut-kerut marah, dan matanya makin tajam, makin menyala, dan makin mengancam.<br />
<br />
”Baiklah, laki-laki pemanggul goni, kalau kau tak sudi naik dan sembahyang bersama saya, tunggulah saya di bawah. Saya akan sembahyang dulu. Sejak saya masih kecil sampai dengan saatnya ibu saya akan meninggal, ibu saya selalu mengingatkan saya untuk sembahyang dengan teratur lima kali sehari. Fajar sembahyang satu kali. Itulah sembahyang subuh. Tengah hari sembahyang satu kali. Itulah sembahyang lohor. Sore satu kali, itulah sembahyang ashar. Senja satu kali. Itulah sembahyang maghrib. Malam satu kali. Itulah sembahyang isya. Lima kali sehari. Dan kalau perlu, enam kali sehari, tambahan sekali setelah saya bangun lewat tengah malam dan akan tidur lagi. Itulah sembahyang tahajud. Dan kamu selalu mengawasi saya, seolah-olah kamu tidak tahu apa yang patut aku lakukan dan apa yang tidak patut aku lakukan.”<br />
<br />
Dengan tenang Karmain menutup korden, namun karena sekonyong-konyong angin bertiup keras, korden menyingkap kembali. Laki-laki pemanggul goni tetap berdiri di tengah jalan, tetap menampakkan wajah penuh kerut menandakan kemarahan besar, dan tetap menembakkan matanya dengan nyala mengancam. Di sebelah sana, dekat trotoir di sebelah sana, semak-semak bergoyang-goyang keras tertimpa angin, dan mengirimkan bunyi-bunyi yang benar-benar menyayat hati.<br />
<br />
Karmain melayangkan pandangannya ke depan, ke gugusan apartemen-apartemen besar, dan tampaklah semua lampu di apartemen sudah padam, sejak beberapa jam yang lalu. Lampu yang masih menyala hanyalah lampu-lampu di gang-gang yang menghubungkan apartemen-apartemen itu, sementara lampu merah di tiang tinggi di sebelah sana itu, berkedip-kedip seperti biasa, seperti biasa menjelang hari menjadi gelap, atau mendung, atau hujan lebat.<br />
<br />
Seperti biasa pula, lampu di tempat pemberhentian bus menyala, sebetulnya terang, tetapi tampak redup. Selebihnya sepi, kecuali angin yang tetap menderu-deru. Karmain pindah ke kamar lain, yang korden jendelanya ternyata juga terbuka, kemudian melihat jauh ke sana. Di sana itu, ada laut, dan meskipun gelap, terasa benar bahwa laut benar-benar sedang gelisah.<br />
Sembahyang selesailah, lalu Karmain mendekati jendela, dan laki-laki pemanggul goni masih di sana, masih menunjukkan wajah marah, masih menembakkan pandangan mengancam.<br />
<br />
Maka Karmain turunlah. Dan ketika Karmain tiba di tepi jalan, laki-laki pemanggul goni tidak ada. Angin masih bertiup keras. Seekor anjing hitam, besar dan tinggi tubuhnya, mengawasi Karmain sekejap, kemudian menyeberang jalan, dan di tengah jalan berhenti lagi sebentar, mengawasi Karmain lagi, lalu lari ke arah kegelapan. Lalu terdengar lolongan-lolongan anjing, lolongan kesakitan, lolongan pada saat-saat meregang nyawa.<br />
<br />
Dulu, ketika masih kecil, Karmain bersahabat karib dengan Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani, semuanya dari kampung Burikan. Dan di kampung Burikan tidak ada satu orang pun yang memelihara anjing, dan anjing dari kampung-kampung lain pun tidak pernah berkeliaran di kampung Burikan. Terceritalah, ketika mereka sedang berjalan-jalan di kampung Barongan, mereka tertarik untuk mencuri buah mangga di pekarangan rumah seseorang yang terkenal karena anjingnya sangat galak. Belum sempat mereka memanjat pohon mangga, dengan sangat mendadak ada seekor anjing hitam, tinggi dan besar tubuhnya, menyalak-nyalak ganas, kemudian mengejar mereka.<br />
<br />
Sebulan kemudian, anjing hitam bertubuh tinggi dan besar mati, setelah terperangkap oleh racun hasil ramuan Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani.<br />
Karmain menunggu beberapa saat, sambil berkata lembut dan perlahan-lahan: ”Wahai, laki-laki pemanggul goni, di manakah kau sekarang. Marilah kita bertemu, dan berbicara.”<br />
Karena tidak ada kejadian apa-apa lagi, Karmain berjalan menuju semak-semak, dan, meskipun tiupan angin sudah meredup, semak-semak masih bergerak-gerak, menciptakan bunyi-bunyi yang menyayat hati.<br />
<br />
Karmain kembali ke lantai sembilan, masuk ke dalam apartemen, kemudian mencari berkas-berkas lama yang sudah lama tidak ditengoknya. Setelah membuka-buka sana dan sini, Karmain menemukan album lama. Ada foto ibunya ketika masih muda, seorang janda yang ditinggal oleh suaminya karena pada hari raya Idul Adha, suaminya tertembak ketika sedang berburu babi hutan bersama teman-temannya di hutan Medaeng. Ada lima pemburu, termasuk dia, ayah Karmain. Mereka berlima masuk hutan bersama-sama, kemudian melihat seekor babi hutan berlari kencang, menabrak beberapa semak-semak. Untuk mengejar babi hutan itu, mereka berpisah, masing-masing lari ke berbagai arah. Siapa di antara empat temannya yang dengan tidak sengaja menembak ayah Karmain, atau justru dengan sengaja menembaknya, tidak ada yang tahu.<br />
<br />
Karmain terpaku pada foto ibunya sampai lama, kemudian, tanpa sadar, dia terisak-isak. Dulu ibunya pernah bercerita, bahwa pada waktu-waktu tertentu akan ada laki-laki pemanggul goni, mengunjungi orang-orang berdosa. Pekerjaan laki-laki pemanggul goni adalah mencabut nyawa, kemudian memasukkan nyawa korbannya ke dalam goni. Ibunya juga bercerita, beberapa hari sebelum suaminya tertembak, pada tengah malam laki-laki pemanggul goni datang, mengetuk-ngetuk pintu, kemudian pergi tanpa meninggalkan jejak.<br />
<br />
”Pada hari Idul Adha,” kata ibu Karmain dahulu, sebelum ayahnya pergi berburu.<br />
<br />
”Tuhan menguji kesetiaan Nabi Ibrahim. Anaknya, Ismail, harus disembelih oleh ayahnya, oleh Nabi Ibrahim sendiri.”<br />
<br />
Karmain tertidur, dan ketika terbangun, waktu sembahyang fajar sudah tiba. Dan setelah Karmain membersihkan tubuh, siap untuk sembahyang, korden jendela menyingkap lagi. Laki-laki pemanggul goni berdiri di tengah jalan lagi, wajahnya menunjukkan kemarahan lagi, dan matanya menyala-nyala, menantang lagi.<br />
<br />
”Baiklah, laki-laki pemanggul goni, harap kamu jangan lari lagi.”<br />
<br />
Dengan sangat tergesa-gesa Karmain turun, langsung ke pinggir jalan, dan laki-laki pemanggul goni sudah tidak ada.<br />
<br />
Ketika Karmain tiba kembali di apartemennya, ternyata laki-laki pemanggul goni sudah ada di dalam, duduk di atas sajadah, melantunkan ayat-ayat suci, sementara goninya terletak di sampingnya.<br />
<br />
Setelah selesai berdoa, tanpa memandang Karmain, laki-laki pemanggul goni berkata lembut: ”Karmain, kamu sekarang sudah menjadi orang penting. Kamu sudah menjelajahi dunia, dan akhirnya kamu di sini, di negara yang terkenal makmur. Bahwa kamu tidak mau kembali ke tanah airmu, bukan masalah penting. Tapi mengapa kamu tidak pernah lagi berpikir tentang makam ayahmu? Tidak pernah berpikir lagi tentang makam ibumu.<br />
<br />
Makam orangtuamu sudah lama rusak, tidak terawat, tanahnya tenggelam tergerus oleh banjir setiap kali hujan datang, dan kamu tidak pernah peduli.”<br />
<br />
Laki-laki pemanggul goni berhenti sebentar, kemudian bertanya:<br />
<br />
”Apakah kamu beserta sahabat-sahabatmu, Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani, pernah tersesat di hutan Gunung Muria?”<br />
<br />
”Ya.”<br />
<br />
”Tahukah kamu ke mana sahabat-sahabatmu itu pergi?”<br />
<br />
”Tidak.”<br />
<br />
”Mereka saya ambil. Saya tahu, kalau mereka tidak saya ambil, pada suatu saat kelak dunia akan gaduh.<br />
<br />
Gaduh karena, kalau tetap hidup, mereka akan mengacau, membunuh, dan menyebarkan nafsu besar untuk berbuat dosa. Saya tidak mengambil kamu karena kasihan. Kamu habis kehilangan ayah.<br />
<br />
Ayah bejat.<br />
<br />
Pada saat seharusnya dia di masjid, bersembahyang, dan kemudian membantu orang-orang menyembelih kambing, ayahmu berkeliaran di hutan. Bukan untuk menyembelih kambing, tapi mengejar-ngejar babi hutan untuk dibunuh. Ingatlah, pada hari Idul Adha, ketika Nabi Ibrahim sedang menyembelih anaknya sendiri, Ismail, datang keajaiban. Bukan Ismail yang disembelih, tapi kambing.”<br />
<br />
Berhenti sebentar, kemudian laki-laki pemanggul goni bertanya dengan nada menuduh:<br />
<br />
”Apakah benar, ketika kamu masih remaja, kamu menjadi penabuh beduk masjid kampung Burikan? Setiap saat sembahyang tiba, lima kali sehari, kamu menabuh beduk mengingatkan semua orang untuk sembahyang?”<br />
<br />
Karmain ingat, ketika masih umurnya memasuki masa remaja, dia bercita-cita, kelak kalau sudah dewasa, dia akan memiliki gedung bioskop. Maka, dengan caranya sendiri, dia menciptakan bioskop-bioskopan. Kertas tipis dia gunting, dia bentuk menjadi orang-orangan.<br />
<br />
Lalu dengan tekun dia membuat roda kecil dari kayu. Orang-orangan dari kertas tipis dia ikat pada benang, benang ditempelkan pada roda kayu. Lalu dia memasang kertas minyak, menutup semua jendela supaya gelap, menyalakan lilin, menggerak-gerakkan orang-orangan. Dari balik kertas minyak terpantulah bayangan orang-orangan. Mereka bisa berlari-lari, berkejar-kejaran, dan saling membunuh, seperti yang terjadi pada tontonan wayang kulit.<br />
<br />
Demikianlah, pada suatu hari, ketika sedang asyik-asyiknya bermain bioskop-bioskopan, tiba-tiba Karmain ingat, waktu untuk menabuh beduk sudah tiba. Maka berlarilah dia ke masjid, meninggalkan kertas-kertas tipis berserakan di lantai. Seorang anak kampung Burikan pula, Amin namanya, telah datang terlebih dahulu, dan telah menabuh beduk. Setelah selesai sembahyang, Karmain dan beberapa orang pulang. Dalam perjalanan pulang itulah, mereka melihat asap hitam pekat membubung ke langit. Udara pun menjadi luar biasa panas.<br />
<br />
Hampir seperempat rumah di kampung Burikan terbakar, dan dua laki-laki lumpuh meninggal, terjebak oleh kobaran-kobaran api.<br />
<br />
”Karmain,” kata laki-laki pemanggul goni sambil menunduk, ”Janganlah kamu pura-pura tidak tahu, kamu lari ke masjid, sementara lilin masih menyala.”<br />
<br />
Sunyi senyap, dan laki-laki pemanggul goni tetap tertunduk.<br />
<br />
”Wahai, laki-laki pemanggul goni,” kata Karmain setelah terdiam agak lama. ”Ibu saya dulu pernah berkata, ada laki-laki pemanggul goni yang sebenarnya, ada pula pemanggul goni yang sebetulnya setan, dan menyamar sebagai laki-laki pemanggul goni.”<br />
<br />
Laki-laki pemanggul goni tersengat, kemudian memandang tajam ke arah Karmain. Wajahnya penuh kerut-kerut menandakan rasa amarah yang sangat besar, dan matanya benar-benar merah, benar-benar ganas, dan benar-benar menantang.<br />
<br />
Setelah membisikkan doa singkat, Karmain berkata lagi: ”Bagaimana kamu bisa tahu, wahai laki-laki pemanggul goni, bahwa kelak Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani akan menyebarkan dosa yang membuat orang-orang tersesat?”<br />
<br />
Laki-laki pemanggul goni, dengan kerut-kerut wajahnya dan nyala matanya, dengan nada ganas berkata: ”Hanya sayalah yang tahu apa yang akan terjadi seandainya mereka saya biarkan hidup.”<br />
”Wahai, laki-laki pemanggul goni, hanya Nabi Kidirlah yang tahu apakah seorang anak kelak akan menciptakan dosa-dosa besar atau tidak. Apakah kamu tidak ingat, Nabi Kidir menenggelamkan perahu seorang anak muda yang tampan? Nabi Kidir tahu, kelak anak tampan ini akan menjadi pengacau dunia. Dan Nabi Kidir pun mempunyai hak untuk menghancurleburkan sebuah rumah mewah. Sebuah rumah mewah yang dihuni oleh seorang bayi yang kelak akan membahayakan dunia.”<br />
<br />
Dan Karmain ingat benar, dulu, menjelang kebakaran hebat melanda kampung Burikan, kata beberapa orang saksi, laki-laki pemanggul goni datang. Lalu, kata beberapa saksi pula, laki-laki pemanggul goni masuk ke rumah Karmain, kemudian bergegas-gegas ke luar, dan melemparkan bola-bola api ke rumah Karmain. Dan setelah api berkobar-kobar ganas menjilati sebagian rumah di kampung Burikan, beberapa orang dari kampung Burikan dan kampung Barongan sempat melihat, laki-laki pemanggul goni melarikan diri di antara lidah-lidah api yang makin membesar.</div>Key Line (blogger Karawang)http://www.blogger.com/profile/14483151894163779873noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7166126875652907448.post-38445298390358557932012-02-20T03:01:00.000-08:002012-02-20T03:01:09.645-08:00Pemanggil Bidadari<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Kenangan itu seperti kotak-kotak kardus yang berserak. Seperti saat ini ketika kumasuki desa tempat Simbah Ibu tinggal.</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> </div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Batu-batu jalan setapak seperti memuntahkan kembali rindu yang tiba-tiba mencuat seperti kancing yang lepas begitu saja dari baju seragam anak sekolah. Ketika kumasuki desa itu,<a name='more'></a> malam mulai merapat pada warna jingga di cakrawala. Malam yang selalu menakutkan bagi anak-anak ketika ibu mereka memberi warna hitam pada sebuah hari di mana matahari sedang penat menampakkan cahayanya. Malam pada akhirnya selalu menjadi kutukan. Tak ada satu pun yang menyukai malam di desa itu, hanya Simbah Ibulah yang selalu menyukai waktu di mana semua pekat menjadi penguasa sebuah hari dan sunyi. </div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Aku tidak tahu sejak kapan aku panggil perempuan itu Simbah Ibu. Perempuan dengan guratan waktu yang penuh pada wajah berhamburan seribu damai di tiap kedip matanya yang bercahaya. Mata yang sebening cinta. Mata yang memberiku keberanian memberi makna kesetiaan utuh pada Semesta. Mata itu benar-benar mengajariku menjadi utuh, menjadi perempuan. Karena hanya menjadi utuh, seorang perempuan akan melahirkan anak-anak yang bahagia. Mata itu memberiku nama Ratri.</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> </div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">”Mbah, mengapa namaku Ratri?”</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> ”Karena kamu lahir pada sebuah malam yang penuh dengan pekat. Kepekatan yang mengerikan. Kepekatan yang begitu banyak melahirkan kesedihan. Malam yang membuat cinta berubah menjadi peluh birahi pada hati yang kosong.”<br />
<br />
Perempuan renta itulah yang selalu mengajariku mencintai malam. Setiap malam dikecupnya pelan-pelan lelapku dan dengan lembut diajaknya aku keluar melihat bintang. ”Mari Nduk, kita berburu Bidadari”. Entah kenapa kata-kata itu selalu manjur membuat mataku langsung terbelalak gembira. Diajaknya aku ke halaman rumah tanpa alas kaki dan diajarkannya ritual ”memanggil Bidadari” itu padaku.<br />
Pada awalnya tangan kami terkatup di depan dada. Mata kami perlahan terpejam dan mulai merasakan desir angin bergerisik di antara daun-daun kering. Suara gemerisik itu kadang seperti bisikan kesedihan yang entah dari mana datangnya. Entah kekuatan dari mana tangan kaki kami berdentam ke tanah dan seperti sebuah orkestra raksasa hati kami berdegup tak kuasa untuk menolak musik yang begitu saja menyeruak dari dada. Simbah Ibu dengan gemulai mulai meliukkan tubuhnya dan dengan perlahan penuh harap Bidadari akan segera turun. Aku ikuti gerakan itu. Gerakan pemanggil Bidadari, begitu Simbah Ibu menyebutnya.<br />
<br />
”Mengapa kita memanggil Bidadari?”<br />
<br />
”Karena jika Bidadari-Bidadari turun, maka desa kita menjadi damai. Para Bidadari itu akan masuk ke rumah-rumah dan menyebarkan bubuk bahagia pada mimpi orang-orang yang terlelap. Jadi ketika orang-orang itu bangun, tanpa mereka sadari mereka sudah membawa bubuk bahagia itu di dalam darahnya. Jika mereka bahagia mereka akan kuat. Hanya merasa bahagia yang akan melahirkan kekuatan. Sehingga mereka akan berusaha sekuat tenaga mengejar mimpi mereka dalam hari-harinya dengan kekuatan itu.”<br />
<br />
Benar saja, seperempat jam kami meliukkan tubuh dengan diiringi musik dari hati kami serta mantra syahdu yang begitu lembut keluar dari tubuh rapuhnya. Tak lama kemudian dari angkasa turun beribu-ribu cahaya. Seulas senyum ada disudut wajahnya yang penuh dengan guratan-guratan waktu.<br />
<br />
”Mungkin salah satu Bidadari itu ibumu, Nduk. ”<br />
<br />
Seperti sihir, kata itu mampu selalu memberi terang sebenderangnya dalam hatiku. Terang yang mampu melahirkan gambar perempuan dengan panggilan Ibu. Sejak aku lahir perempuan itu tidak pernah aku sentuh. Konon, satu-satunya anak perempuan Simbah Ibu itu meninggal ketika aku lahir dan bapakku menjadi gila terus menghilang entah di mana. Mungkin itu sebabnya perempuan tua itu kupanggil Simbah Ibu, Karena hanya dia perempuan yang bisa kupanggil ibu.<br />
<br />
Ketika mantra selesai, Simbah Ibu menengadahkan tangannya ke atas dan berserulah dia dengan penuh cinta ke angkasa. Dalam sekejap cahaya-cahaya yang bergemuruh datang seperti hujan meteor menembus pekatnya malam. Cahaya- cahaya itu berhamburan masuk ke rumah-rumah penduduk. Setiap rumah yang dimasuki cahaya itu selalu memancarkan sinar benderang luar biasa. Kami percaya itulah cahaya jelmaan bidadari. Saat Bidadari-Bidadari turun di mataku adalah waktu di mana lukisan terindah sedang dilukis oleh Maha Cinta. Karena angkasa menjadi begitu banyak berwarna. Warna dari mimpi yang melahirkan cinta.<br />
<br />
Sekitar jam 3 pagi cahaya-cahaya itu kembali ke angkasa dan menghilang dalam pekat. Dengan kelegaan luar biasa Simbah Ibu selalu mengajakku bersujud mencium bumi sebagai tanda rasa syukur luar biasa karena para Bidadari telah sudi turun membagi cahaya dari Maha Cahaya kepada penduduk desa kami. Bumi seperti mengerti, setiap kami selesai bersujud maka beribu kunang-kunang berhamburan entah dari mana datangnya mengerumuni kami dan aku percaya kunang-kunang itu dihadiahkan para Bidadari untuk memberi senyuman pada wajahku karena konon pada roh-roh suci selalu menjelma menjadi kunang-kunang. Aku begitu yakin kunang-kunang adalah cara roh suci ibuku berbicara padaku. Ya, harum tubuh ibuku di antara kunang-kunang yang menari di antara malam dengan pekat yang hebat…<br />
<br />
Setiap pagi penduduk desaku bangun dengan wajah gemerlap penuh cahaya yang menyemburat dari dalam dada mereka. Mereka tidak tahu bahwa setiap malam Bidadari-Bidadari penghuni sorga turun menebarkan serbuk cahaya pada mimpi mereka. Demikianlah di desa kami yang sangat sederhana itu setiap malam kami memanggil Bidadari-Bidadari itu karena Simbah Ibu yakin jika rahim-rahim merah muda penduduk desa kami bahagia maka bayi-bayi yang akan lelap di dalamnya akan menjadi bayi yang penuh dengan cinta di dadanya. Jadi ketika mereka nanti lahir maka dunia akan penuh dengan cinta karena bayi-bayi itu akan terus memancarkan detak jantung yang memompa cinta ke seluruh jaringan nadinya.<br />
<br />
Setiap malam meskipun desa kami tak punya listrik, desa kami selalu benderang dengan cahaya Bidadari-Bidadari yang turun. Malam-malam yang sangat membahagiakan. Kemana pun kami pergi, para penduduk selalu memberi senyum tulus tak terhingga kepada kami, Pemanggil Bidadari, begitu mereka menyebut kami. Betul, ilmu memanggil Bidadari itu memang telah diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyangku. Hanya keluargaku yang memiliki ilmu itu.<br />
<br />
Hingga satu hari entah karena terlalu renta atau karena memang sudah saatnya, Simbah Ibu pergi menemui Maha Cahaya. Sejak itu duniaku benar-benar gulita. Meskipun sebelum pergi Simbah Ibu sangat mewanti-wanti untuk tetap meneruskan memanggil Bidadari di setiap malam, pesan itu tak pernah kujalankan. Aku begitu marah luar biasa, tidak tahu kepada siapa. Setiap malam aku memilih tidur untuk melupa kerinduanku pada Simbah Ibu dari pada memanggil Bidadari untuk desaku. Demikianlah sejak Simbah Ibu pergi, tak ada lagi yang memanggil Bidadari.<br />
<br />
Tentu saja akibatnya malam semakin membuat kelam desaku. Tak ada satu pun cahaya yang memancar di atap-atap rumah penduduk. Tak ada serbuk cahaya yang menaburkan cinta pada mimpi-mimpi mereka. Akibatnya setiap pagi orang-orang menjadi kekeringan oleh cinta karena pada darahnya tak lagi mengalir bahagia. Hidup menjadi penuh kekhawatiran karena orang-orang tak lagi mau bermimpi. Mereka takut untuk bermimpi. Mereka menjadi lemah. Tak ada lagi kekuatan untuk mengejar mimpi. Banyak penduduk desaku yang akhirnya meninggal karena mereka memilih itu dari pada hidup tanpa mimpi. Aku tak tahan dengan pemandangan itu. Hingga pada satu pagi yang masih menyisakan pekat yang sepekat-pekatnya kutinggalkan desaku. Demikianlah keturunan terakhir pemanggil Bidadari tak lagi berada di desa itu.<br />
<br />
Bertahun-tahun kutinggalkan desaku, tanpa kenangan sedikit pun. Setiap kali ingatan tentang Simbah Ibu dan desaku yang penuh cahaya Bidadari itu muncul, buru-buru aku bunuh dengan minuman atau obat yang membuatku terlelap sedalam-dalamnya dalam mimpi tanpa matahari. Hatiku tak lagi mampu merasakan apa pun. Meskipun kata orang-orang kecantikanku mampu membuat tulang di leher para lelaki bergerak tetapi tak sedikit pun aku mampu merasakan detak dalam hatiku, orkestra itu telah mati. Senyum tak ada lagi ada dalam mataku. Orkestra itu telah pergi bersama kepergian Simbah Ibu. Kesedihan yang tak bisa dieja oleh huruf paling purba sekalipun. Aku pilih pekerjaan yang membuatku selalu harus berjalan ke segala pelosok dunia untuk melupa.<br />
<br />
Tapi ingatan adalah sebuah luka yang sangat menyakitkan. Hingga suatu hari aku menyerah pada kesedihanku. Rindu yang tak tertahan luar biasa membuatku melolong berhari-hari tanpa henti. Kupanggil berkali-kali perempuan bermata sorga itu. Aku benar-benar rindu memanggil Bidadari. Aku rindu kunang-kunang yang keluar dari bumi. Aku rindu ibuku. Aku rindu malam. Aku rindu bersujud pada bumi. Aku rindu melihat wajah-wajah bahagia di desaku. Aku rindu Hidup. Pada tahun ke 9 tepat setelah kematian Simbah Ibu aku putuskan kembali ke desaku.<br />
<br />
***<br />
<br />
Rumah Simbah Ibu tetap sama dengan waktu aku tinggalkan dulu. Wasino tukang kebun kami yang sekarang sudah begitu renta masih tetap setia merawat rumah itu. Foto-foto yang mulai pudar warnanya tetap melekat pada dinding kamar. Ingatan memang sangat kurang ajar, karena hanya ingatan yang mampu mengubah waktu dalam sekejap. Seperti kembali di mana bau rokok klembak Simbah Ibu bercampur melati yang keluar dari sanggulnya menjadi bau yang selalu aku rindukan setiap kali pulang sekolah. Aku begitu rindu luar biasa pada perempuan itu. Penduduk desaku silih berganti datang mengucapkan selamat datang.<br />
<br />
Wajah-wajah mereka begitu penuh dengan rasa lelah luar biasa. Entah kapan terakhir mereka merasa bahagia. Wajah-wajah itu begitu berharap aku kembali memanggil Bidadari untuk mereka. Tetap mulut mereka membisu. Mereka takut berharap karena hanya harapan yang melahirkan luka. Untuk pertama kalinya sejak 9 tahun ini aku sangat merasa bersalah pada Simbah Ibu karena berhenti memanggil Bidadari. Aku melolong sejadi-jadinya karena rasa sesal itu begitu tak tertahankan. Aku putuskan malam ini aku kupanggil Bidadari kembali.<br />
<br />
Benar saja, tepat jam 12 malam kulakukan kembali ritual yang dulu selalu kulakukan bersama Simbah Ibu. Mungkin karena memang darahku adalah darah pemanggil Bidadari tak lama kemudian langit seperti benderang siang, Cahaya-cahaya yang selalu kurindukan itu turun seperti hujan yang meruah dari angkasa. Dadaku kembali berdentam dan orkestra di dalamnya mulai berbunyi. Para Bidadari kembali menaburkan cahaya pada mimpi-mimpi. Orang tanpa mimpi lebih dahulu mati daripada kematian itu sendiri.<br />
<br />
Airmataku tak henti-henti keluar, tapi aku tahu ini bukan airmata kesedihan tapi airmata dengan cahaya yang keluar dari dadaku. Serbuk bahagia dari para Bidadari itu mengalir juga ternyata dalam mimpiku. Kunang-kunang kembali berhamburan bahkan sebelum aku bersujud ke bumi. Kunang-kunang yang pasti di antaranya juga ada roh suci Simbah Ibu itu seperti mengerti bahwa aku mulai mengisi darahku kembali dengan mimpi karena hanya mimpi yang mampu meneruskan hidup. Karena mimpi adalah kekuatan.<br />
</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Ubud, September 2011<br />
Untuk Simbah Ibu semoga selalu menari disana… </div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> </div>Key Line (blogger Karawang)http://www.blogger.com/profile/14483151894163779873noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7166126875652907448.post-80770259541853584332012-02-11T21:34:00.000-08:002012-02-11T21:34:17.113-08:00Between Feeling and Friendship (antara perasaan dan persahabatan)<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Tidak terasa telah tiga tahun aku menuntut ilmu pada jenjang madrasah aliyah atau setingkat dengan sekolah menengah atas. Dalam kurun waktu tersebut sudah banyak hal yang kualami, seperti kegiatan ekskul, persahabatan, dan tentunya asmara yang kadang membuatku senang, benci, sekaligus kecewa. </span></span><br />
<a name='more'></a><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;"> </span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Memang benar yang dikatakan oleh orang orang, masa SMA merupakan masa yang paling indah, dan aku pun turut menjadi saksi atas kebenaran pernyataan tersebut. (wah, masak sih)</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;"><br />
</span><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Dan sekarang ini waktunya untuk refreshing setelah ujian nasional dan ujian madrasah serta seabrek ujian lainnya yang cukup membuat otak kami panas, dan solusinya harus didinginkan dengan rekreasi ke kota apel Malang. Dengan rombongan teman temanku satu kelas yang berjumlah sekitar 35 anak ditambah dengan wali kelas kami, jadilah kami berangkat pukul enam pagi menuju tujuan pertama yaitu Bendungan Karangkates Malang, waktu tempuh dari Kediri asal kota kami sekitar 3 jam untuk sampai di sana.<br />
</span><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Ketika di dalam bis suasana pun riang gembira dan penuh canda tawa, kebetulan aku duduk di samping Hakim, anaknya gendut, hitam manis, dan enak buat diajak bercanda. Sepanjang perjalanan kami terus bercanda dengan teman teman lainnnya, namun saat enak enak tertawa itulah tiba tiba ada pesan masuk di Hapeku. (Ganggu aja nih) Saat kubuka ternyata pesan tersebut datang dari Liva , teman satu kelasku yang juga satu bis denganku saat ini.</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Saat kulihat dia duduk di bangku depan belakang sopir dan terlihat anggun dengan baju hijau, warna kesukaanku itu., saat kubaca smsnya,.</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">“Eh Man,Arman ternyata sudah lama juga ya kita tidak smsan”</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Deeeg,,tiba tiba saja jantungku berdegup kencang, rasanya sulit diungkapkan dengan kata kata. </span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Yah..Liva namanya. </span><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Dia merupakan teman dekatku, memang akhir akhir ini ku jarang smsan dengannya karena dia mengikuti bimbingan bahasa inggris selama 1 bulan. Kalau dikilas balik, hubunganku dengan dia memang bisa dibilang unik, Aku pun teringat akan kisah pertemananku dengan Liva, beginilah kisah awal pertemanan kami.</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Semua berawal ketika kami masih sama sama kelas X, ketika itu kami masih berbeda kelas, aku berada di kelas X-2 sedangkan dia di X-8. Awalnya aku pun juga tidak mengenal dia sampai pada suatu hari saat aku berangkat sekolah aku tidak sengaja bertemu dengannya saat dia bertugas piket sebagai Patroli Keamanan Sekolah.(wiiiih ngeri)</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Sudah menjadi tradisi di sekolah kami bahwa anggota PKS harus piket jaga setiap pagi di lingkungan sekolah. Lah pada saat itu saat ku berjalan menuju parkiran kulihat seorang anak PKS lagi digoda sama seorang kakak kelas. Sepertinya mereka berpacaran deh, dan aku mengenal kakak kelas tersebut. Sam namanya, orangnya berperawakan tinggi besar dan berwajah sangar. Banyak anak anak yang menyebutnya preman, hal itu ditunjang dengan penampilannya yang “gothic”. Tapi kalau menurutku dia itu sebenarnya orang baik. Karena aku sering bertemu dan sering bermain bola dengannya. Lah pada saat itu si Sam sepertinya menggoda anak PKS yang sedang bertugas itu, dan anak PKS itu hanya tersenyum simpul.</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">“Ni orang di tengah tugas kok malah goda godaan sih” </span><span lang="IN" style="line-height: 115%;">gumamku dalam hati</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Semenjak peristiwa itupun aku sedikit penasaran dengan anak perempuan PKS tadi, kalau denger denger gossip yang beredar sih pacarnya Sam itu anak X-8. Kebetulan saat istirahat untuk menuju ke masjid aku selalu lewat X-8, suatu ketika aku berpapasan dengan anak PKS tersebut saat dia lagi di depan kelas dengan teman temannya. Dan teman temannya memanggil dia dengan nama Liva. Nama yang indah, cocok dengan namaku, (hahaha, ngawur kamu,,)</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Sekilas saat melihat Liva tampaknya anaknya sangat pendiam dan malu maluin, eh maksudnya pemalu. Yah imbang lah dengan sikap Sam yang pemberani jadi mereka sepertinya saling melengkapi, hehehe.Tapi kalau dipikir pikir sih Liva itu sepertinya gadis polos dan baik, sedangkan Sam aku pernah melihat dia merokok di sekolah dan beberapa kali hamper bertengkar dengan anak lain. Kalu bagiku sebagai cowok sih itu hal yang lumrah, (alah, kamu kan ga’ ngrokok and ga’ pernah berantem) Tapi bagi gadis polos seperti Liva bukankah hal itu sebuah hal yang tabu dan tidak etis. Eh,,kenapa ku jadi mikirin mereka,,ga’ penting banget deh. Tapi terbersit keinginanku agar bisa lebih mengenal dia dan kalau bisa pas kelas XI nanti bisa satu kelas ma dia. (amiin)</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Saat pengumuman kenaikan kelas dan pembagian kelas kulihat aku berada satu kelas dengan liva di kelas IPA 5,wew, asyik juga nih kelihatannya. Tapi ku belum bisa masuk kelas dulu karena masih harus menjadi pantia Masa Orientasi Siswa.Setelah MOS berakhir aku harus masuk ke kelasku yang baru, saat pertama masuk itulah aku merasa asing karena aku banyak tidak kenal dengan teman teman baruku. Namun tiba tiba saja aku ditunjuk sebagai ketua kelas oleh teman teman baruku.(He,ga’ salah tu) Saat ku berdiri di depan kelas untuk berpidato untuk pertama kalinya lagi lagi kulihat sosok Liva yang tersenyum., wah bakalan berteman dengannya nih.</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Masa adaptasi di kelas baruku berlangsung sangat baik,aku langsung akrab dengan teman teman baruku. Namun sepertinya berteman dengan Liva sedikit sulit karena sikapnya yang pendiam dan jarang berkumpul dengan teman teman. Sampai pada suatu hari dia mengirim sms ke aku dan menanyakan tentang tugas PPKN.<br />
<br />
</span><span lang="IN" style="line-height: 115%;">“Ech Man,tgas PPKNya itu dikumpuln kpan?”begitu smsnya</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Wew, rasanya sulit dipercaya dia sms aku duluan, lagipula dia tahu nomerku dari mana (Ga’ usah geer deh, temennya kan banyak) Hari berikutnya pun giliran aku yang sms dia, kebetulan kami satu kelompok Mulok waktu itu</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">“Eh Ki, kelompok Mulok kita jadinya gimana?”</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">“Yo ga’ gimana gimana,ntar tak tanyain Liva, Sam”balasnya</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Woow,ternyata mereka bertukar Hp, semenjak saat itu aku sedikit trauma untuk sms Liva (sukurin lu) </span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Namun Hal itu tidak berlangsung lama karena hubungan Liva dan Sam harus berakhir dan kandas di tengah jalan (bahasnya kaya’ inpotainment aja deh) Aku ga’ tahu apa penyebab mereka putus. Tapi kata teman teman sih gara gara si Sam kecantol cewek lain. Putusnya Sam dan Liva membuat Liva menjadi terbuka dengan semua orang. Apalagi denganku, Alhamdulillah niatku untuk berteman dengannya akhirnya terkabul juga. Sejak saat itu pun aku semakin sering berkomunikasi dengannya, bahkan sudah mulai curhat segala. Entah kenapa aku ku ingin berteman dengannya,.dan sama sekali tidak terbersit hatiku untuk menjadikan dia lebih dari teman. Yang ada di pikiranku hanyalah ingin bersahabat dengannya.<br />
<br />
</span><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Selama aku menjabat menjadi ketua kelas banyak momen momen yang dilalui bersama saat kelas XI. Seperti saat diamarahin guru bersama, terus dihukum bersama, remidi semua (kok jelek semua) Tapi yang paling ku ingat ya saat ada Mading Championship, terus Ulang tahun kelas dan Futsal antar kelas. Saat Mading Championship aku terpilih sebagai duta lingkungan sekolah berkat dukungan teman temanku termasuk Liva.</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Begitu pula saat Futsal melawan kelas Akselerasi di mana aku mencetak gol kemenangan kelasku. Namun saat itu Liva tidak datang (wah sayang banget)Walaupun akhirnya kelas kami harus terhenti langkahnya oleh kelas IPS 3 yang memang terkenal jago olahraga.<br />
Beranjak ke kelas XII aku mulai membuka segala rahasiaku kepada Liva, aku tak sungkan sungkan lagi untuk menceritkan hubungan asmaraku ke dia, dia anaknya enak sekali untuk diajak curhat. </span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Begitu pula Liva, dia juga tidak sungkan sungkan untuk curhat tentang kisah asmaranya kepadaku. Seperti saat dia sedang menyukai Ardi , teman yang sering duduk sebangku denganku. Maklum, Liva ini menjadi primadona di kelas, apalagi semenjak dia jadi jomblowati. Jadilah cowok cowok di kelas termasuk Ardi yang paling aktif untuk menggoda Liva, kadang aku ikut juga sih.Hehehe<br />
Mungkin gara gara Ardi sering nggodain dia dan sedikit memberi peluang sehingga membuat Liva menyukainya. Terlepas dari hal itu Ardi memang keren, apalagi dia anak Basket, terus dia itu cerdas tapi malas.Walau teman teman lain sering meremehkannya.Namun bagiku dia tetaplah anak cerdas. </span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Tapi untuk perasaan Ardi ke Liva ku kurang mengetahuinya, pakah dia serius ke Liva atau dia masih menyimpan rasa ke cewek lain? Soalnya aku ngerti dia serting digosipkan dekat dengan beberapa cewek., namun dia sedikit tertutup kalau soal cewek. Yah aku sebagai teman sih ya merestui saja hubungan mereka. Apalagi mereka berdua sama sama temanku.</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Hal itu terus berlanjut sampai saat sesi pemotretan untuk album memory angkatan kami. Kebetulan lokasinya sangat jauh, lah saat sebelum foto pada tanggal 1 januari 2011 tepat dengan tahun baru, beberapa anak dari kelas kami sepakat untuk mensurvey lokasi terlebih dahulu.Satt itu aku sampai duluan di lokasi, tak seberapa lama setelah itu rombongan teman teman pun dating. </span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Liva dibonceng oleh Ardi,,(wew,,ciee) Wah Liva pasti senang sekali tuh, seandainya saja aku yang mbonceng Liva (Hus, ngomong apa kamu, katanya temenan, )Ah ya ga’ mungkin banget deh, lagipula kan aku juga lagi dekat dengan someone. Tapi kenapa aku tetap ngrasa ga’ enak ya.Apalagi jika aku melihat Liva sedang ngobrol dengan Ardi gitu, Ah Apa yang kupikirkan, mereka kan teman dekatku semua, harusnya aku dukung mereka.<br />
<br />
</span><span lang="IN" style="line-height: 115%;">“Heh Man nglamun aja kamu, kita hamper tiba nih” teriak Hakim mengagetkanku</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">“Owh Astagfirullah,,tiba di lokasi to im”</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">“Enggak, tapi di SPBU dulu,ada yang kebelet”jawab Hakim <br />
<br />
</span><span lang="IN" style="line-height: 115%;">“Ah kukira udah sampai di lokasi”<br />
<br />
</span><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Setelah berhenti sejenak di SPBU untuk melepaskan hasrat yang ditahan (maksudnya kebelet pipis) kami pun melanjutkan perjalanan menuju bendungan Karangkates untuk sarapan. Setelah dari situ kami mengunjungi sebuah masjid di wilayah Turen Malang yang terkenal akan keindahannya. Nah, selesai dari situ baru kami menuju destinasi utma kami. BNS alias Batu Night Spectacular. Sebuah wahana rekreasi di wilayah Batu yang menyediakan banyak wahana permainan yang buka mulai sore. Di sana ada satu wahan yang ingin sekali kunikmat I, yaitu taman lampion. Soalnya kata orang orang di sana tempatnya sangat romantis, jadi sangat tepat jika dilewatkan dengan kekasih atau teman teman.(waah,,so sweet)<br />
<br />
</span><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Di BNS itulah aku ke mana mana selalu dengan Liva, walaupun kami tidak berdua saja,tapi berenam dengan komposisi 3 cowok termasuk aku dan 3 cewek termasuk Liva.(ganggu aja tuh yang lain ^-^) Sebelumnya Liva memang sudah bilang padaku setelah shalat Ashar jika dia suruh nemenin buat keliling keliling. Tapi dia ngajak dua temannya, Putrid an Ani, aku pun juga ngajak Hakim dan Arip. Termasuk saat makan nasi goreng bersama di food court. Wah, sebelumnya ga’ pernah tuh makan makan sama Liva gitu.</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Aku jadi teringat akan suatu hal tentang Liva saat ujian praktek satu bulan yang lalu. Saat itu Liva mencurahkan banyak hal tentang dirinya padaku, termasuk saat dia sering memperhatikanku saat aku maju ke depan kelas. (Ah jangan Geer lu,,salah ngomong itu kali Liva)<br />
Dan yang paling ku ingat ya saat ujian praktek otomotif, kebetulan aku dan dia satu kelompok dalam praktek merangkai klakson.</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Sebenarnya sih itu mudah banget, tapi entah gara gara grogi atau apa aku jadi salah terus, gara gara saat merangkai kabel tanpa sengaja aku melihat Liva yang ada di hadapanku. Dia tersenyum pula, benar benar keringat dingin nih salah salah terus, hah padahal sebelumnya yah aku ga’ pernah kayak gini. Sialnya saat di rumah Liva sms aku dan tampaknya dia mengetahui bahwa aku tadi sempat salah slah gara gara dia.(Ih,sorry ya, tadi aku salah salah gara gara kakiku keinjek temenku og)</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">“Eh Man, setelah ini kita main ke rumah hantu yog” Ujar Liva</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">“Hah, apa, wah mending ke taman lampion aja” ujarku<br />
<br />
</span><span lang="IN" style="line-height: 115%;">“Yah nanti kesana, tapi ke rumah hantu dulu kayaknya seru disana” Kata Liva</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">“Iya Man, kayaknya seru ke rumah hantu”Hakim danArip menimpali</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Sial ni anak, sebenarnya sih aku agak gimana gitu ke rumah hantu. Bukannya baku takut, tapi yah males aja, ga ada serunya menurutku (ah, bilang aja takut). Namun akhirnya aku menyerah dan menuruti kemauan mereka,yah jujur deh, sebenernya aku sedikit parno dengan hal hal berbau hantu. Belum masuk aja udah dengar suara teriakan gitu.</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">duh lihat aja ntar.Tidak lama berselang saat memasuki arena rumah hantu, </span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">“Arrrrrggghhh,,,Astagfirullah”Teriak Putri dan Liva</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;"><br />
</span><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Mereka berteriak karena boneka boneka hantu yang tampak menyeramkan didukung dengan suasana yang gelap.Aku sendiri hanya tertawa melihat kelakuan mereka yang memegangi jaketku karena ketakutan.Waww,,baru kali ini deh dipegangin dua cewek cantik sekaligus. Hwewehe (Ingat Allah Man) </span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">“Eh maaf Man, ku tadi reflek” kata Putri dan Liva</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">“Iah gapapa kok, yang sering sering aja”jawabku</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">“Huuh, maunya”jawab mereka serempak<br />
<br />
</span><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Sehabis dari rumah hantu aku tak punya tujuan lain selain ke taman Lampion yang romantis(ngebet banget sih) Tapi Liva malah pergi ke Mouse Coster berdua dengan Arip setelah dapat gratis pemberian seseorang kepada Liva.Ah,,bikin ngiri aja sih Arip, kenapa ya, aku tak pernah melewatkan waktu berdua aja dengannya walaupun hanya temenan tapi yah kadang pengen juga sih berdua gitu. Aku jadi orang terus terang saja, ga; pengen jadi orang Munaroh aku, eh munafik. (Inget Man, yang ketiga setan) Tapi Liva berjanji nanti akan nyusul ke taman lampion.</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Akhirnya aku dan Hakim pergi berdua ke taman lampion, saat masuk kesana suasananya begitu indah. Dengan taman yang asri disertai dengan danau buatan yang elok di tengah tengahnya. Susana malam yang gelap mampu diterangi berbagai lampion dengan bentuk bentuk yang menawan sehingga mampu menerangi taman bahkan menurutku juga menerangi hati para pengunjungnya. Apalagi ditambah dengan lantunan musik klasik yang romantis, membuat semua pengunjung bak berada di dalam taman surga. </span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Apalagi para pengunjung yang datang ke taman lampion semuanya rata rata membawa pasangannya, entah yang sudah berkeluarga atau yang masih berpacaran.<br />
Alhasil aku dan Hakim hanya melongo saja melihat suasana yang seperti ini, akhirnya kami memutuskan untuk menelfon someone masing- masing, untuk mencurahkan hasrat yang kami alami sekarang. </span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Kami kesepian!!! (Ulluh ulluh,,kaciian) Tapi entah kenapa aku tetap ingin menunggu kedatangan Liva kesini. Karena ada suatu hal penting yang ingin kusampaikan padanya. Dia pun sempat mengirim sms padaku,</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">“Eh Man kamu di mana, ku udah selesai naik Mouse Coster nih”</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">“Ku udah di taman lampion Va,cepetan kesini”balasku</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">“Iya, ni masih nunggu teman teman”</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">“Iya, kutunggu Liv”</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Namun sampai waktu mendekati kan mau pulang Liva belum datang juga, mana hapeku sudah K.O akibat lowbat pula. Ayoolah Liv datang kemari. Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu. Tapi sampai waktu pulang Liva ga’ datang datang juga. Akhirnya aku kembali ke Bis dengan sedikit kecewa sih, namun sebelum naik BIs aku bertemu Liva dan dia minta maaf kepadaku karena tadi ga’ jadi ke taman lampion.</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Its Okelah.</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Di perjalanan pulang aku merasa capek sekali dan beristirahat dengan tenang di Bis karena teman teman yang lain tampaknya juga kecapekan. Andai saja tadi Liva jadi datang ke Taman Lampion, pasti ku ajak foto foto tuh dia (emangnya dia mau) Yah ada hal yang lebih penting sebenarnya. Aku ingin mngatakan terima kasih banyak kepadanya karena dia sudah mau menjadi sahabatku. Aku adalah tipe orang yang sangat jarang mau berbagi tentang privasi kepada orang lain,apalagi kepada lawan jenis. Tapi dengan Liva aku curahkan segala kisahku ke dia, begitupun dia juga sebaliknya.Kadang saat aku lagi down dia tetap mensupportku. Bahkan dia sudah mempercayaiku sebagai teman curhat ketika dia lagi suka sama Ardi. Ataupun ketika lagi ada masalah lainnya.</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Banyak momen momen indah yang rasanya tidak bisa diwakilkan dengan kata kata, termasuk saat dia meneteskan air mata ketika ada renungan kelas menjelang UAN. Aku tidak tahu apa yang membuat dia menangis, sebenarnya aku paling tidak kuat bila melihat cewek nangis (cengeng lu) Yang jelas saat dia nangis dia terlihat lebih manis. </span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Liva pun juga sudah hafal betul dengan kelakuanku, mulai dari hal kecil seperti kebiasaanku yang selalu mengutek utek rambutku yang acak acakan sampai dia juga tahu aku saat lagi marah.Katanya saat lagi marah aku marah terlihat lucu. Dan masih banyak hal lagi tentang kami berdua yang tidak bisa kuungkapkan lewat kata kata.<br />
Sampai saat Perpisahan sekolah di mana aku tampil dan beradu acting dengan Ardi juga, Liva pun ikut melihat. Sebenarnya aku minder karena Ardi mempunyai bakat Dance, sedangkan aku tidak punya bakat apa apa.Tapi Alhamdulillah penampilan kami cukup sukses dan mendapat applause dari penonton termasuk Liva yang saat itu terlihat anggun dengan baju batiknya. ^-^ Berkat doanya juga ku bisa diiterima di Universitas Malang tanpa tes, dan aku harap sih dia juga diterima di sana karena dia juga ingin kesana.Amiin</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Yang jelas ku merasa nyaman dengannya (emangnya kasur) Aku sudah mengkotak hatiku supaya tidak mempunyai rasa yang lebih dari sahabat terhadap dia. Insya Allah aku bisa menjaganya, memang tujuanku dari awal ingin kenal dia agar bisa bersahabat dengannya. Aku tahu, banyak lelaki yang care dan banyak yang menyukai dia, tapi itu menjadi masalah bagiku karena sahabat tidak mengenal kata putus. Sahabat tetaplah sahabat, akan selalu ada di saat duka maupun duka. Yah intinya demi persahabatan aku pun rela mengorbankan perasaan. Karena persahabatan jauh lebih penting. Aku sih berharap dia juga berpikiran seperti itu, kalaupun tidak aku tetap bahagia pernah mengenalnya dan bersahabat dengannya.Thanks For all ^-^</span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: right;"><span style="font-size: small;"><b><span lang="IN" style="line-height: 115%;">Pengirim : <a href="mailto:haradhan@ymail.com" target="_blank">Hanif Rama</a></span></b><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"> </span></span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span lang="IN" style="line-height: 115%;"> </span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"> </span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"> </span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"> </span><span lang="IN" style="line-height: 115%;"> </span></span></div>Key Line (blogger Karawang)http://www.blogger.com/profile/14483151894163779873noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7166126875652907448.post-74745002992140695932012-01-29T21:37:00.000-08:002012-01-29T22:14:33.231-08:00Pohon Hayat<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhtBQOaAyDDOwC-tUeEmXIEeoHx-F-WuKn99T8k0U9F1AKtTXOIQse-qIBtN74b0poZ9WUDEgbIrB2C6k41VRYpLdKPGAAr4wX5BznnbA2vl5o28ENuH1m3HrBqLCQzLUwGoti_9UzNXg/s1600/pohon-hayat.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhtBQOaAyDDOwC-tUeEmXIEeoHx-F-WuKn99T8k0U9F1AKtTXOIQse-qIBtN74b0poZ9WUDEgbIrB2C6k41VRYpLdKPGAAr4wX5BznnbA2vl5o28ENuH1m3HrBqLCQzLUwGoti_9UzNXg/s1600/pohon-hayat.jpg" /></a></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Sebelum daun milik nenek gugur, nenek pernah bercerita perihal sebuah pohon yang tumbuh di tengah alun-alun kota. Kata nenek, pohon itu telah ada sejak ratusan atau mungkin ribuan tahun lalu.</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><a name='more'></a>Tak ada yang tahu persis, kapan dan bagaimana pohon itu tumbuh. Sewaktu nenek kecil, pohon itu sudah menjulang meneduhi alun-alun kota, serupa payung raksasa. Menilik kokohnya, tampaknya akarnya telah menancap jauh ke kedalaman bumi. Batangnya pun tampak seperti lengan lelaki yang kuat dan penuh urat. Dahan dan ranting berjabar serupa jari-jemari yang lentik. Dedaunnya lebar serupa wajah-wajah yang tengah tersenyum dalam keabadian.</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Kata nenek, kehidupan setiap penduduk di kota ini tersemat di tiap daun yang bertengger di cabang, ranting, dan tangkai pohon itu. Setiap kali ada satu daun yang gugur, artinya seseorang di kota ini telah lepas dari kehidupan. Satu daun artinya satu kehidupan, begitu kisah nenek.</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">***</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Suatu ketika, aku pernah mendesak nenek untuk mengantarku ke alun-alun kota, untuk melihat langsung pohon itu. Tentu saja tanpa sepengetahuan ibu. Karena, kalau ibu tahu pasti ibu tak akan mengizinkan. Diam-diam kami pun berangkat, pelan-pelan aku menuntun nenek yang jalannya sudah tidak tegap lagi. Jarak antara rumah dan alun-alun kota sebenarnya tidak terlalu jauh. Kami cukup naik angkutan umum satu kali, tak sampai setengah jam kami sudah sampai.<br />
<br />
Begitu sampai di alun-alun kota, nenek langsung mengajakku ke pusat alun-alun, tempat di mana pohon itu berada. Kami berteduh di bawahnya, nenek duduk dengan napasnya yang terdengar ngik-ngik. Kepala nenek menengadah ke atas. Aku pun menirukannya.<br />
<br />
”Banyak sekali misteri dan kehidupan di atas sana,” gumam nenek.<br />
<br />
Lelah menengadahkan kepala, aku pun menunduk. Tampak daun-daun kering berserakan di mana-mana, sebagian terinjak-injak oleh kakiku.<br />
<br />
”Nek,” aku menjawil lengan nenek.<br />
<br />
”Ya?”<br />
<br />
”Apakah daun-daun kering yang berserakan di bawah ini adalah jasad orang-orang yang sudah mati?”<br />
<br />
”Ya, daun-daun itu adalah jasad tilas mereka dari pohon kehidupan.”<br />
<br />
”Berarti jasad tilas ayah ada di antara daun-daun kering itu?”<br />
<br />
”Mungkin. Tapi nenek kira, kini, jasad ayahmu sudah menyatu kembali dengan tanah.”<br />
<br />
”Nek.”<br />
<br />
”Ya?”<br />
<br />
”Mengapa daun-daun kering itu tidak dibersihkan atau dibakar saja.”<br />
<br />
”Tak perlu, lambat laun mereka juga akan kembali ke muasalnya, tanah, melebur menjadi tanah. Dari tanah kembali ke tanah.”<br />
<br />
Kepalaku kembali menengadah, ”Kalau daun-daun kemuning yang ada di atas sana itu siapa?”<br />
<br />
”Mereka adalah orang-orang tua yang masih hidup di kota ini, mereka-mereka yang sudah lama bertengger di atas pohon kehidupan.”<br />
<br />
”Apakah mereka akan segera gugur.”<br />
<br />
”Tentu saja, Nak. Gugur adalah takdir mereka.”<br />
<br />
”Apa Nenek ada di antara salah satu daun kemuning yang ada di atas sana, yang siap gugur itu?”<br />
<br />
”Nenek tak tahu. Itu rahasia yang di atas, tak seorang pun berhak tahu.”<br />
<br />
Aku terus menengadahkan kepala, mencari-cari di mana letak daun milik nenek, milikku, dan juga milik ibu.<br />
<br />
”Nek.”<br />
<br />
”Ya?”<br />
<br />
”Tunas-tunas daun yang tersemat di pucuk pohon itu, pasti adalah bayi-bayi yang baru lahir di kota ini, ya, kan?”<br />
<br />
”Ya. Benar, memang kenapa?”<br />
<br />
”Berarti, sekarang, aku berada di antara daun-daun muda yang bertengger di atas sana?”<br />
”Ya. Tentu saja.”<br />
<br />
”Artinya, masa gugurku masih sangat lama, ya, Nek?”<br />
<br />
Nenek mengernyitkan dahi, ”Siapa bilang? Setiap lembar daun kehidupan yang ada di atas sana adalah rahasia. Tak ada seorang pun yang tahu. Gugur adalah hak semua daun, dari yang kemuning, yang masih segar dan hijau, bahkan yang masih tunas pun bisa saja patah dan gugur.”<br />
<br />
Aku terdiam. Mencerna kata-kata nenek.<br />
<br />
***<br />
<br />
<br />
Sepulang dari alun-alun kota, nenek mengeluhkan kaki tuanya yang keram. Beberapa hari berikutnya nenek terbaring sakit. Ibu menyebut penyakit nenek dengan ’penyakit orang tua’. Musabab itulah ibu tidak memarahiku ketika kukatakan bahwa sebenarnya akulah yang menyebabkan nenek sakit. Kian hari penyakit nenek kian parah. Tubuh nenek mati separuh. Tak bisa digerakkan. Nenek berak dan buang air kecil pun di tempat. Dengan sabar ibu mengurusinya. Barangkali memang itu kewajiban seorang anak. Ketika ibu masih bayi, pasti nenek juga melakukan hal yang sama.<br />
<br />
Kian hari tubuh nenek kian kering. Bahkan ia sudah tidak sanggup lagi bicara. Saat itu aku benar-benar takut. Takut ditinggalkan nenek. Takut kehilangan nenek. Tiba-tiba aku teringat pohon itu. Daun-daun kemuning itu. Tanpa izin ibu, aku beringsut pergi menuju alun-alun kota. Aku berdiri di bawah pohon itu dengan kepala tengadah. Berjaga-jaga jika sewaktu-waktu sebuah daun gugur dari sana. Tapi tidak, detik itu aku tak ingin ada satu daun pun gugur dari sana. Tapi seperti kata nenek, daun-daun di atas sana adalah rahasia. Tak seorang pun berhak tahu atas rahasia itu.<br />
<br />
Berjam-jam aku berdiri di bawah pohon itu. Tak tampak satu daun pun yang gugur. Nenek hanya sakit tua biasa. Ia akan segera sembuh, bisikku dalam hati. Ketika aku beranjak pergi meninggalkan pohon itu, tiba-tiba angin berhembus. Sekilas hembus. Beberapa daun dari pohon itu melayang-layang di udara dan akhirnya rebah di tanah. Aku terdiam menyaksikannya, lalu pergi dengan rahasia yang masih mengepul kepala.<br />
<br />
Sampai di rumah, tiba-tiba ibu memelukku dengan isakan lirih, ”Nenekmu sudah pergi.”<br />
<br />
Bujur tubuh nenek mengingatkanku pada daun kemuning yang rebah di tanah, di alun-alun kota beberapa saat lalu.<br />
<br />
***<br />
<br />
<br />
Seiring usia, masa kecilku hilang dilalap masa. Sebagai remaja yang bebas, aku pun merantau dari kota ke kota. Satu hal yang kemudian kusadari, setiap kota yang kusinggahi selalu memiliki pohon besar yang tumbuh menjulang di alun-alunnya. Hal itu mengingatkanku pada cerita nenek tentang pohon kehidupan di alun-alun kotaku. Namun, geliat zaman menyulap cerita itu menjadi cerita picisan yang sulit untuk dipercaya.<br />
<br />
Setiap manusia pasti akan pergi ke muasalnya. Tak ada hubungannya dengan pohon dan daun-daun. Tapi entahlah, hati kecilku selalu mengatakan bahwa cerita nenek itu benar adanya. Aku jadi bertanya-tanya, apakah setiap pohon yang ada di alun-alun kota adalah pohon kehidupan yang menyimpan rahasia kehidupan setiap penduduknya? Entahlah, kukira itu juga sebuah rahasia.<br />
<br />
***<br />
<br />
<br />
Meski hidup dalam rantauan, aku selalu pulang ke kota ibu, kota lahirku, paling tidak setahun sekali. Setiap lebaran fitri. Dan benar, setiap tahun, alun-alun kotaku selalu mengalami perubahan. Taman, bangku-bangku, air mancur, bahkan kini di sisi-sisi jalan sudah ditanami ruko-ruko berderet. Mulai dari pengamen, pengemis, topeng monyet, penjual tahu petis keliling, bahkan tante-tante menor, semua tumplek blek di alun-alun kota. Satu-satunya hal yang tidak berubah adalah pohon itu. Pohon itu masih tampak kokoh dari waktu ke waktu. Setiap aku melihat pohon itu, rol film dalam kepalaku kembali berputar, menayangkan bocah kecil dan neneknya yang tengah asyik berbincang tentang kehidupan di bawahnya.<br />
<br />
Tahun berlalu-lalang seperti manusia-manusia yang datang dan pergi di alun-alun kota. Kian tahun, pohon itu kian rimbun, penduduk kota kian merebak. Namun entahlah, daun-daun yang bertengger di pohon itu tampak kusam dan menghitam, warna hijau seperti pudar perlahan. Barangkali kian waktu kian banyak serangga dan hama yang hinggap di sana. Membuat sarang, mencari makan, membuang kotoran dan beranak pinak di sana. Aku jadi bertanya-tanya, apakah itu artinya, para manusia yang hidup di kota ini juga terserang hama? Entahlah.<br />
<br />
***<br />
<br />
Aku tak pernah menyalahkan waktu, tapi memang banyak sekali hal berubah oleh waktu. Kudengar dari ibu, kini, kota kelahiranku telah jauh berubah. Kian waktu, pepohonan kian habis. Sawah-sawah mulai ditumbuhi rumah-rumah. Tempat ibadah kian melompong. Muda-mudi lebih suka keluyuran ke mal dan bioskop-bioskop. Gadis-gadis kini tak sungkan lagi mengenakan pakaian setengah jadi. Para bujang pun lebih suka bergerombol di pinggir-pinggir jalan ditemani botol, kartu, dan gitar. Gadis hamil di luar nikah menjadi kabar biasa. Merentet kemudian, banyak ditemukan bayi-bayi dibuang di jalan. Sengketa dan pembunuhan merajalela.<br />
<br />
Barangkali orang-orang di kotaku memang sudah terserang hama. Seperti daun-daun di pohon kehidupan yang kian kusam di alun-alun kota. Berkali-kali ibu menggumamkan syukur, aku menjadi seorang perantau yang merekam berbagai pohon kehidupan, tanpa melupakan kenangan.<br />
Di zaman yang sudah berubah ini, ruang tak pernah menjadi penghalang. Meski ruang kami berjauhan, setidaknya, setiap seminggu sekali, aku dan ibu saling bertukar kabar, bersilang doa.<br />
”Kian waktu, dunia kian renta, Nak, seperti juga ibumu. Dari itu, pandai-pandailah engkau menempatkan diri,” begitu nasihat ibu yang terakhir yang sempat kurekam. ”Kian waktu, daun-daun itu pun akan luruh satu per satu dan habis. Suatu saat nanti, akan tiba masanya, pohon itu akan tumbang tercabut dari akarnya. Semua sudah tercatat dan tersimpan rapi dalam perkamen rahasia yang tergulung di atas sana.<br />
<br />
”Kita hanya manusia yang naif dan rapuh, yang tak tahu apa-apa. Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah berjaga-jaga jika sewaktu-waktu nanti pohon kehidupan melepaskan kita dari tangkainya,” Ibu membisikkan nasihat-nasihat itu dengan suara serak. Tiba-tiba aku teringat kerutan yang berombak di dahinya, juga rambutnya yang mulai pecah memutih.<br />
<br />
Terbayang dalam kepalaku bahwa kini, mungkin, daun ibu telah menguning dan siap luruh. Tiba-tiba aku ingin pulang, kembali terlelap dalam pangkuan ibu yang hangat. Namun, sebelum langkahku sampai di tanah lahir, telah kudengar kabar bahwa bencana besar telah melanda kotaku. Merebahkan seluruh kota setara dengan tanah. Ada yang mengatakan, bencana yang menimpa kota itu adalah sebuah cobaan. Ada pula yang mengartikan bencana itu sebagai peringatan. Namun, juga tidak sedikit yang mengemukakan bahwa bencana itu merupakan azab. Entahlah.<br />
<br />
Ketika aku kembali ke kota itu, yang kutemui hanya kota yang mati. Dengan sisa-sisa kenangan, aku merelakan ibu, merelakan kotaku, merelakan tilas masa kecilku. Bersama air mata, semua kularung ke udara.<br />
Aku merangkak mendatangi alun-alun kota yang telah porak poranda. Dari kejauhan, pohon itu masih tampak menjulang meski compang-camping.<br />
<br />
Tepat dibawah pohon itu, tubuhku gemetar memandangi satu-satunya daun yang masih bertengger di sana.</div>Key Line (blogger Karawang)http://www.blogger.com/profile/14483151894163779873noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7166126875652907448.post-46089735920694985972012-01-29T01:41:00.000-08:002012-01-29T01:41:40.312-08:00Sonya Rury<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Mendengar isak tangisnya, aku terhisap memasuki lorong panjang, penuh kelokan. Pada setiap tikungan, aku menemukan jejak luka yang dalam. Aku tak ingin mencari sebab di balik matanya yang sembab. Aku sangat menghormati keputusannya untuk menangis, di antara detak jarum jam yang menikam dan mengiris.<a name='more'></a> </div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Air matanya begitu indah: mengalir berbulir-bulir penuh cahaya serupa permata. Aku ingin memunguti dan menguntainya menjadi kalung dan mengenakan di leher jenjang perempuan itu. Siapa tahu, kalung air mata itu dapat sedikit menghiburnya? Tapi niatku yang baru saja kuhunus itu pupus. Ia tiba-tiba menatapku sambil mengucap lirih, “Kamu masih mendengar tangisku?”</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> </div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> Tentu saja aku mengangguk. Dengan lirih kukatakan bahwa aku memang telah menyiapkan waktuku, perasaanku, dan seluruh dalam diriku hanya untuk mendengarkan tangisnya. Dia tersenyum. Tatapan matanya menunjukkan dirinya lega dan dia pun meneruskan tangisnya.<br />
<br />
<span id="more-994"></span>Mendengarkan tangisnya yang panjang dan menyayat, aku menduga dia sangat terlatih menangis atau setidaknya dia punya pengalaman yang panjang dalam soal tangis-menangis. Tentu saja, dugaanku itu sama sekali tak berhubungan dengan dirinya yang perempuan. Tangis bukan hanya milik perempuan, tapi juga laki-laki.<br />
<br />
Aku juga sama sekali tidak menganggap ia cengeng, apalagi menghubungkannya dengan raut wajahnya yang sendu dan melankolis. Bagiku ia menangis karena memang harus menangis. Tidak setiap tangisan punya alasan. Karena itu, aku tetap kukuh untuk tidak bertanya kenapa dan untuk apa dia menangis. Kupikir itu tidak sopan.<br />
<br />
“Kamu tidak ingin tahu kenapa aku menangis?” ujarnya lirih.<br />
<br />
Aku menggeleng. Dia memberikan tatapan yang mengambang. Mungkin aku dianggapnya aneh dan berbeda dengan banyak laki-laki lain yang selalu ingin tahu alasan seorang perempuan menangis. Lalu, laki-laki itu mencoba menjadi tukang pemberi nasihat dengan kata-kata yang gagah dan gemerlap, namun setelah itu menyatakan jatuh cinta. Simpati seperti itu, kupikir, tak lebih dari jebakan.<br />
<br />
“Kamu tidak ingin tahu, kenapa aku menangis?”<br />
<br />
Aku tersentak, namun cepat-cepat menguasai diri dengan mengambil nafas dalam dan panjang. Kegugupan mendorongku untuk menghunus sebatang rokok dan menyulutnya. Kuhisap rokok itu kuat-kuat dan kuhembuskan asapnya.<br />
Aku tak berani menatap wajahnya. Aku memilih menyapu pandangan pada botol-botol bir yang kosong, pada gelas-gelas yang menganga, atau cawan berisi kacang goreng. Aku merasa kecanggungan itu mencair ketika perempuan pelayan kafe datang dan mengangkat botol-botol itu. Tanpa berpikir panjang, kupesan dua botol bir dan satu porsi kentang goreng. Perempuan pelayan itu cepat melesat setelah pesananku dicatat. Kurasakan suasana canggung kembali mengurung.<br />
<br />
Musik blues mengelus ruangan. Seorang penyanyi berambut coklat mengalunkan lagu. Irama dan suaranya menjelma sembilu.<br />
<br />
“Apa bagimu kisah perempuan selalu membosankan?”<br />
<br />
Kembali ia menohokku. Hatiku merasa tersodok. Aku sulit menjawab. Kurasakan aku gagal menyusun setiap kalimat atau suaraku seperti tercekat di tenggorokan.<br />
<br />
“Aku selalu tertarik pada kisah-kisah perempuan. Namun, aku tidak bisa memaksa setiap perempuan untuk menceritakan. Apalagi kita saling kenal belum cukup lama.”<br />
<br />
“Bagaimana kalau aku yang bercerita, tanpa kamu merasa bersalah untuk mendengarnya?”<br />
<br />
“Tapi aku lebih suka mendengar tangismu.”<br />
<br />
“Kenapa? Kamu merasa terhibur?”<br />
<br />
“Bukan. Bukan. Jangan salah paham.”<br />
<br />
“Lalu, kenapa? Bukankah umumnya setiap orang menangis? Apa istimewanya tangisku?”<br />
<br />
“Tangismu sangat indah….”<br />
<br />
Dia diam. Aku tak tahu perasaan apa yang kini mengaduk-aduk hatinya. Aku sangat khawatir, ucapanku tadi menyakiti hatinya.<br />
<br />
Pelan-pelan ia menyeka air matanya, dengan sapu tangan kecil.<br />
“Aku sudah sangat lelah menangis. Aku telah menangis sepanjang waktu, sepanjang usiaku….”<br />
Suara penyanyi yang menyayat, tiba-tiba menerobos, lalu pelan-pelan menghilang diringkus kesunyian malam.<br />
Tanpa kutanya, perempuan itu bercerita. Pertama kali dia menangis dengan perasaan terluka sangat dalam ketika dia masih tumbuh remaja. Waktu itu, seorang laki-laki setengah baya—yang telah dianggapnya sebagai orang tuanya sendiri—menggagahi tubuhnya. Tangis dalamnya yang kedua adalah, ketika semasa mahasiswa: seorang laki-laki mencoba memerkosanya. Tangis ketiganya pecah ketika ia dilecehkan secara seksual oleh seorang laki-laki, bos dari sebuah perusahaan, tempat ia melamar pekerjaan. Tangis keempat, tangis kedua puluh lima, tangis keseratus satu… ah dia sudah tidak ingat.<br />
<br />
“Aku sebenarnya ingin mengakhiri tangisan hidupku. Ya, malam ini, ketika bersamamu.” <br />
<br />
Darahku berdesir. Degub jantungku meningkat cepat.<br />
<br />
“Kenapa harus bersamaku? Apa istimewanya diriku?”<br />
<br />
“Kamu pendengar yang baik. Entah kenapa, aku merasa aman dan nyaman.<br />
<br />
O ya, meskipun kita baru seminggu ini saling kenal, aku merasakan kita sudah bersahabat sangat lama.”<br />
Aku merasa sedikit tersanjung, meskipun mungkin baginya aku ini tak lebih dari keranjang sampah yang baik dan santun.<br />
<br />
“Tapi, ternyata kamu ini laki-laki paling aneh sepanjang yang kutemui dalam hidupku. Kamu tak pernah ingin tahu apa alasanku menangis? Aku merasakan tangisanku ini sia-sia….” Kembali dia “menyerangku”.<br />
Darahku kembali berdesir. Beban rasa bersalah mendadak menindihku. Aku menenggak bir langsung dari botolnya. Namun dingin bir itu kurasakan tak bertenaga meredam gebalau galau dalam hatiku.<br />
“Aku baru saja cerai dengan suamiku,” ucapnya tiba-tiba.<br />
<br />
Aku tersentak, tapi aku tak kuasa untuk mencari sebab. Aku hanya berani menebak-nebak dalam benak. Mungkin, dia merasa dikhianati suaminya yang berselingkuh dengan wanita lain. Atau, justru dirinya yang meninggalkan suaminya karena tertarik pada pria lain? Atau alasan klise lainnya. Aku sama sekali tak tertarik mengusutnya.<br />
<br />
“Sekarang aku tinggal sendirian. Kebetulan, kami belum dikaruniai anak, meskipun kami telah berumah tangga selama hampir empat tahun.” Perempuan itu berbicara dengan pasti, tanpa emosi. Aku heran, kenapa kini dia tidak menangis?<br />
<br />
“Aku ingin mengakhiri tangis hidupku malam ini, bersamamu. Kamu tidak keberatan?”<br />
<br />
Aku mengangguk.<br />
<br />
Malam telah menjelma gelaran kain waktu yang lusuh, mungkin juga basah oleh air mata perempuan yang sepanjang pertemuan kami tadi selalu menagis. Aku kaget, mendadak ia menggenggam tanganku kuat-kuat. Aku ingin menariknya, tapi tak kuasa. Kurasakan kehangatan mengaliri jiwaku. Aku pun pasrah dalam genggamannya.<br />
<br />
“Aku pulang dulu. Besok kita bertemu lagi di sini,” bisiknya.<br />
“Kamu tidak keberatan jika aku mengantarmu?” aku memberanikan diri bertanya.<br />
Agak lama dia diam. Menimbang-nimbang, mungkin dengan bimbang. Namun, gumpalan kecemasanku pun runtuh oleh anggukan kepalanya. Kurasakan sayap-sayap dalam tubuhku tumbuh.<br />
<br />
***<br />
<br />
Rumah perempuan yang kukenal bernama Sonya Rury itu terletak di sebuah perbukitan yang jaraknya sekitar 25 kilometer dari kota. Mobilku pun cepat melesat, mencapai rumahnya yang mungil tapi indah itu.<br />
Ia menggenggam erat tanganku, membimbingku memasuki ruang tamu. Ketika ia masuk kamar tidurnya, aku duduk mengatur nafas dan degup jantungku. Saat itu aku baru sadar, aku lelaki yang miskin petualangan.<br />
<br />
Mendadak ia memanggil namaku. Ia memintaku masuk ke kamarnya. Jantungku cepat berdegup. Aku gugup dan hanya bisa terpaku diam di sofa. Ia mengulangi permintaannya. Kegugupan membimbing langkahku.<br />
Di kamar yang bercahaya temaram itu, ia berdiri memunggungiku. Hanya separoh tubuh kuning langsatnya yang dibalut kain. Kutatap tubuhnya lekat-lekat. Namun, perasaanku yang campur-aduk mendorong niatku untuk berbalik keluar dari kamar. Dia mencegah.<br />
<br />
“Kamu tidak melihat punggungku?”<br />
<br />
“Ya, punggungmu penuh bekas luka. Bahkan beberapa luka masih tampak baru dan segar…,” ucapku lirih.<br />
<br />
“Kamu ingin tahu, kenapa luka-luka itu terpahat di punggungku?”<br />
<br />
Dia memelukku.<br />
<br />
“Siapa yang melukaimu?” aku gagap bertanya.<br />
<br />
Sonya pun berkisah. Dia bertemu dengan seorang laki-laki yang berwajah menawan di sebuah kafe. Mereka pun lama berpacaran. Laki-laki itu menyatakan jatuh cinta dan berniat mengawininya.<br />
<br />
“Tapi sebenarnya kami tak pernah menikah…. Maafkan aku telah berbohong di kafe tadi…. Kami hanya kumpul kebo….”<br />
<br />
Di bawah ancaman pembunuhan, ternyata laki-laki itu menjual Sonya kepada para pelanggannya.<br />
<br />
“Seluruh pukulannya telah merata dalam tubuhku. Juga sayatan dan tikaman pisau lipat.”<br />
<br />
Dengan sukma yang selalu meradang, Sonya terpaksa melayani beberapa laki-laki yang bisa membayarnya. Setiap malam. Seluruh tubuh dan jiwanya terasa ngilu.<br />
<br />
“Tapi aku tak pernah melihat uang hasil keringatku, apalagi memilikinya….”<br />
<br />
Sonya nekat berlari.<br />
<br />
“Inilah rumah persembunyianku. Liang hidupku….”<br />
<br />
Malam telah menyusut, kegelapan pun semakin surut. Angin pagi bertiup memasuki seluruh ruangan rumah ini, mengusap tubuh Sonya yang penuh luka.<br />
<br />
Kutatap wajah Sonya yang tertidur pulas. Mungkin ia sedang menyusun kedamaian dalam hatinya, di tengah pelarian yang penuh kecemasan.<br />
Aneh, aku merasa telah menjadi bagian dari dunia Sonya yang cemas.<br />
Kulihat mata Sonya tak lagi sembab. Ia telah mengakhiri tangis dalam hidupnya.<br />
<strong>Ndalem Tirtonirmolo 2010</strong><br />
</div>Key Line (blogger Karawang)http://www.blogger.com/profile/14483151894163779873noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7166126875652907448.post-7808877111319960192012-01-23T03:44:00.000-08:002012-01-23T05:01:11.833-08:00Affiliate Karawang Berbagi<div class="”fullpost”"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Untuk sobat-sobat yang ingin menjadi Publisher silahkan klik banner dibawah ini dan mendaftar di situs tersebut</span>.</div><br />
<br />
<br />
<br />
<center><a href="http://signup.clicksor.com/pub/index.php?ref=222784" target="_blank"><br />
<img border="0" src="http://signup.clicksor.com/publisher/images/pub/468x60_1.gif" /></a></center><br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
<br />
<center><a href="http://www.ziddu.com/register.php?referralid=%28yIaX;_dCPM" target="_blank"><img border="0" src="http://www.ziddu.com/banners/images/1185859864@ban_468x60.gif" /></a></center><br />
<br />
<center><a href="http://www.grandptc.com/index.php?ref=karawangberbagi"><img src="http://www.grandptc.com/banners/banner1.png" border=0></a></center>Key Line (blogger Karawang)http://www.blogger.com/profile/14483151894163779873noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7166126875652907448.post-11215059188628038532012-01-23T00:25:00.000-08:002012-01-23T00:25:33.090-08:00Requiem Kunang-Kunang<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Barangkali aku akan menjadi kunang-kunang terakhir di kota ini. Segalanya terasa sebagai kesenduan di kota ini. Gedung-gedung tua dan kelabu, jalanan yang nyaris lengang seharian, deretan warung kelontong dan kafe-kafe sunyi dengan cahaya matahari muram yang mirip kesedihan yang ditumpahkan. Kota ini seperti<a name='more'></a> dosa yang pelan-pelan ingin dihapuskan.</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> </div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Bila suatu kali kau berkunjung ke kota yang terletak di lekuk teluk yang bagai mata yang mengantuk ini, kau sesekali hanya akan bertemu dengan satu dua orang tua yang berjalan malas atau pemabuk yang meringkuk mendengkur di bangku-bangku taman. Bila kau perhatikan dengan cermat, setiap perempuan yang kau temui di kota ini selalu berjubah dan kerudung hitam, seolah-olah mereka terus berkabung sepanjang hidupnya, seolah-olah mereka semua adalah rahib kesedihan. Dan bila kau memperhatikan lebih cermat lagi, lebih teliti, maka kau akan segera tahu: hampir dari mereka semua, buta!</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Ada banyak kisah–setidaknya yang pernah aku dengar–kenapa semua penduduk di kota ini buta. Jagat raya semula hanyalah gugusan cahaya. Cahaya yang kuning keemasan. Lalu ruh sepasang manusia pertama tercipta dari cahaya itu. Berbentuk percik cahaya. Kekuningan. Serupa kunang-kunang. Sepasang ruh yang serupa kunang-kunang itu kemudian turun ke dunia, begitu kisah leluhur, lalu berdiam di tubuh manusia, yang semula, hanyalah serupa batang-batang pohon. Tinggi menjulang, diam bagai pertapa. Ruh yang serupa kunang-kunang itu hinggap di tubuh manusia, sebagai sepasang mata, hingga manusia hidup dan bisa melihat dunia. Ketika manusia mati, ruh itu kembali terbang, menjelma kunang-kunang. Dan manusia kembali buta.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Kisah lain datang dari muasal teluk yang terletak di Utara kota ini. Teluk Duka Cita, begitu orang-orang di kota ini menyebutnya. Pangeran Ketiga dan Putri Kelima, mereka sekandung anak Raja Pertama, saling jatuh cinta, dan waktu, juga maut dan mampu menghentikannya. Karena tak tahu lagi bagaimana cara menghentikan cinta terlarang dua saudara sekandung itu, Permaisuri, sembari terisak meminta syarat yang menurutnya muskil dipenuhi: dalam semalam mereka harus menyediakan kunang-kunang, yang bila dihamparkan dengan rapi, sanggup menutup seluruh permukaan teluk. Cinta yang buta memberi mereka akal, juga kekejaman. Dengan menggabungkan sihir yang dimilikinya, Pangeran Ketiga dan Putri Kelima, memanggil semua kunang-kunang yang ada, bahkan mereka diam-diam menambahi kunang-kunang itu dengan mata para penduduk yang telah mereka congkel, dan mereka sihir menjadi kunang-kunang. Melihat itu, Raja segera menyuruh para prajurit menebah kunang-kunang yang telah berhasil dikumpulkan itu agar kembali terbang. Maka, meski telah ratusan mata dicongkel untuk menggenapi kunang-kunang agar bisa menutupi seluruh permukaan teluk, hingga pagi tiba, masih ada sebagian teluk yang tak tertutup kunang-kunang. Pangeran Ketiga dan Putri Kelima mengeram marah, ketika mengetahui cara licik Raja menggagalkan cinta mereka. Di hadapan Raja dan Permaisuri, mereka langsung saling menusuk jantung masing-masing, sambil mengutuk: mereka akan mengambil semua mata seluruh penduduk dan keturunan yang hidup di kota ini, hingga siapa pun yang tak harus menanggung dosa menjadi buta. Kemudian mayat keduanya jatuh ke dalam teluk.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> </div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> Tak ada muda-mudi kota ini yang berani berpacaran di teluk itu. Bila nekat, sepulang dari sana, mata mereka buta.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Kisah yang ini, barangkali, akan lebih kau percaya. Bermula dari kedatangan pasukan asing, dan perang saudara yang berlangsung bertahun-tahun setelahnya. Banyak warga yang kemudian dicap pemberontak. Mereka yang dituduh mata-mata pemberontak, langsung ditangkap dan dicongkel matanya. Andai saat itu kau ada di kota ini, jangan kaget, bila seseorang yang kau jumpai pada sore hari, telah menjadi buta pada pagi harinya. Ada gereja tua, yang dianggap menjadi sarang pemberontak, dan pasukan asing itu mengepungnya. Seluruh yang ada di dalamnya diseret keluar dan dikumpulkan di pekuburan yang berada di belakang gereja. Mereka langsung dihabisi dengan serentetan tembakan. Peristiwa itu selalu diperingati dengan misa paling murung di kota ini.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> </div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> Seperti diriwayatkan leluhur, ruh mereka yang mati akan kembali menjadi kunang-kunang. Bila malam hari, kau bisa menyaksikan puluhan kunang-kunang terbang berkitaran dari arah pekuburan di belakang gereja itu. Atau berjalanlah menyusuri kesunyian lorong-lorong kota ini malam hari, maka kau akan selalu berpapasan dengan kunang-kunang, yang melintas sendirian, atau bergerombol, seakan-akan mereka adalah sebuah keluarga yang sedang jalan-jalan. Jangan kaget, bila tiba-tiba pundakmu seakan ada yang menepuk, dan kau mendapati seekor kunang-kunang telah hinggap di pundakmu. Tak terlalu banyak penerangan di kota ini. Satu-satunya pembangkit listrik yang tersisa hanyalah berasal dari kincir air yang letaknya jauh di luar kota dan sudah payah tenaganya. Para pasukan asing dan penguasa telah lama melupakan kota ini, bagai hendak melupakan dosa mereka dari ingatan mereka. Kota itu terasa murung dan kelabu di siang hari. Dan tanpa penerangan listrik yang cukup, di malam hari kota ini seperti dikuasai kegelapan yang ganjil. Kegelapan yang dipenuhi kunang-kunang yang bagai muncul dari lorong-lorongnya yang paling gelap.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Atau berjalanlah kau menyisir tepian teluk, maka kau akan menyaksikan ribuan kunang-kunang terbang nyaris menyentuh permukaan airnya yang bagai pulas tertidur. Ribuan kunang-kunang itu seolah ruh yang bangkit dan ingin membebaskan diri dari cengkeraman kutukan masa silam yang kelam. Kadang kau bisa mendengar suara mereka bernyanyi dengan kepedihan yang begitu memilihan. Seperti koor ruh yang purbawi.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> </div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> Cahaya kunang-kunang akan membuat jalanan kota di malam hari menjadi tampak berpendaran kekuningan, seperti ada mata yang terus menyala dari balik kegelapan. Kau akan melihat kunang-kunang itu bergerombol memenuhi warung dan kafe-kafe, seakan tengah mengobrol. Kau akan menyaksikan kunang-kunang itu hinggap di tiang listrik yang mati, hingga tiang listrik itu terlihat seperti pohon yang menyala kekuningan. Ketika segerombolan kunang-kunang hinggap di serimbun perdu atau tumpukan batu, maka perdu dan batu itu seketika menyala berpendaran. Diding-dinding yang telihat kusam dan tua di siang hari, menjadi berkilauan di malam hari. Dan sebuah pohon meranggas, bisa saja seketika langsung menyala kekuning-kuningan, seakan hiasan lampu jalan atau pohon Natal.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Ada yang hidup di malam hari di kota ini, yang tak hidup di siang hari.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> </div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> Sebenarnya pernah, suatu saat, kota ini mencoba hidup dan berbenah diri. Banyak pendatang yang mencari peruntungan. Tapi barangkali kota ini memang kota yang ingin dilupakan, atau dilenyapkan. Selalu saja ada hal-hal kecil yang sepertinya sengaja diciptakan untuk menjadi kerusuhan. Pembunuhan dan perkelahian. Rumah ibadah yang dibakar. Penembakan dan ledakan bom. Kota ini menjadi kota yang selalu dipenuhi permusuhan dan kerusuhan. Iman menjadi sesuatu yang menakutkan. Desas-desus tantang pasukan bertopeng yang suka menculik dan mencongkel mata siapa saja yang ditangkapnya, membuat bergidik para warga yang kemudian memilih meninggalkan kota ini. Hingga kota ini tinggal dihuni orang-orang yang sebagian besar telah buta, dan kunang-kunang.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Apalah yang layak diceritakan dari kota yang murung dan hanya didiami orang-orang buta dan kunang-kunang seperti aku ini? Aku, seperti ribuan kunang-kunang lain di kota ini, hidup dalam kesunyian cahaya. Kami seperti menanggung beban masa silam yang sampai kini tak pernah bisa kami pahami. Sebagai ruh, kunang-kunang seperti kami, hidup abadi. Tapi apalah arti keabadian bila kami hidup dalam kesunyian yang tak tertanggungkan seperti ini? Kami hidup untuk melupakan apa yang telah terjadi pada kami. Aku sendiri selalu ingin melupakan ingatan buruk itu. Ketika suatu malam, saat aku masih hidup sebagai manusia, berjalan pulang seusai pesta dansa. Di kelokan jalanan gelap, beberapa orang bertopeng menyergap dan meringkusnya. Aku tak sempat menjerit dan melawan ketika kurasakan belati tepat menikam jantungku. Pada detik terakhir aku hanya sempat merasakan kesakitan yang tak bisa aku lukiskan dengan kata-kata, tepat, saat mereka mereka mencongkel mataku. Pada detik terakhir itulah, ruhku keluar dari tubuh, dan menjelma kunang-kunang.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> </div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> Peristiwa itu terjadi sebulan sebelum Natal. Setelah peristiwa itu, terjadi kerusuhan dan kebakaran, yang menghanguskan nyaris sepertiga kota. Bekas yang disisakannya, berupa onggokan arang kebakaran, bila dilihat dari ketinggian, seperti luka sayatan pedang, yang mengiris wajah kota. Kesakitan yang akan lama kekal dalam ingatan.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">***</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> </div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> Dan inilah kali pertama aku akan merayakan Natal sebagai kunang-kunang. Mengenang dan memikirkan apa yang telah terjadi di kota ini, aku diluapi kesedihan, yang membuatku sepertinya akan menjadi kunang-kunang terakhir di kota ini. Ah, aku merasa, aku hanya terlalu dikuasai kesedihan. Mereka yang sudah lama menjadi kunang-kunang, mungkin pernah mengalami perasaan sentimentil seperti ini, tetapi akhirnya menjadi terbiasa. Perasaan sentimentil itulah, yang barangkali, membuatku ingin menceritakan semua kisah ini, kepadamu.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Pada malam Natal di kota ini, kau akan menyaksikan kunang-kunang bermunculan dari penjuru kota, yang bergerak melayang menuju gereja tua, di mana dulu pernah terjadi pembantaian. Kunang-kunang itu memenuhi gereja. Hingga gereja menjadi terang benderang berkilauan kuning keemasan. Pada fresko di belakang altar, kacanya yang buram dan sudah pecah di beberapa bagian, cahaya kunang-kunang itu menampakkan diri bagaikan aura para santa, membuat salib Kristus yang menjulang seolah diselubungi cahaya kesucian yang lembut dan meneduhkan. Sementara para jemaat, yang nyaris sebagian besar renta dan buta, para perempuan yang murung sepanjang hidupnya, mengikuti misa dengan keheningan jiwa yang membuat segala suara di sekitarnya seperti terhisap lesap. Pada saat-saat seperti itu, suara pelan daun yang melayang jatuh menyentuh rerumputan, akan terdengar jelas di telingamu.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> </div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> </div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><em>Ubi caritas et amor, Deus ibi est</em></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><em style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"> Simul ergo cum in unum congregamur<br />
<br />
Ne nos mente dividamur, caveamus<br />
<br />
Cessent iurgia maligna, cessent lites<br />
<br />
</em><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><em>Et in medio nostri sit Christus Deus….</em></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Nyanyian itu, nyanyian itu, membuat aku tak kuasa menahan sedu. Aku membayangkan kota yang terang, teluk yang lembut dan menguarkan kesegaran yang tak terjamah musim. Kotaku, kotaku, yang sesungguhnya elok ini, kenapa engkau ditinggalkan para penduduk yang mencintamu dengan seluruh nestapa dan duka cita?</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> </div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Keheningan misa mendadak pecah oleh ledakan. Para jemaat yang buta berlarian dan tersandung hingga terjerembap. Aku melihat api berkobar dari arah samping gereja. Seperti ada yang melemparkan bom molotov. Seperti ada ledakan granat atau entah apa yang tak pernah aku tahu. Mungkin seseorang telah menyelusup ke dalam gereja dan meledakkan diri. Dan api makin berkobar. </div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Sebentar lagi, mungkin gereja ini akan terlalap api dan memusnahkan semua kunang-kunang di dalamnya.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> </div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Sebelum api itu juga menghanguskanku, mungkin aku akan menjadi kunang-kunang terakhir di kota ini yang masih sempat menceritakan semua ini kepadamu.</div>Key Line (blogger Karawang)http://www.blogger.com/profile/14483151894163779873noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7166126875652907448.post-45632327929238559862012-01-15T22:09:00.000-08:002012-01-15T22:09:52.299-08:00Gerimis Senja di Praha<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Senja Agustus memerah di kaki bukit Petrin, Mala Strana. Langit mengencingi Praha tak habis-habis. Gerimis turun sejak siang dan tak juga membesar. Sungai Vltava baru saja mulai tenang setelah marah meletup-letup selama setengah pekan lalu. Dua hari lalu, airnya naik hingga<a name='more'></a> sembilan meter. Jembatan Charles nyaris terendam. Kemarahan Vltava nyaris saja menenggelamkan Praha.</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
Kau ada di situ. Begitu saja. Berpayung jingga. Berdiri mematung. Matamu terlihat menerawang. Bajumu putih, sedikit berenda. Kalau saja matahari sedang berbaik hati pada Praha, rok tipismu tentu menerawang pula. Kau seperti berjejer dengan patung-patung monumen itu. Menjadi bagiannya yang paling menarik.<br />
<br />
<span id="more-1501"></span>Monumen karya Olbram Zoubek itu sederhana belaka. Terdiri dari tujuh anak tangga dengan tujuh sosok di atasnya. Ketujuhnya terlihat sedang melangkah naik. Sosok yang berdiri di anak tangga terbawah adalah seorang lelaki dengan tubuh yang lengkap. Tapi semakin tinggi anak tangga, semakin tak lengkap bagian tubuhnya. Akhirnya, di anak tangga teratas, berdiri sosok yang sudah kehilangan begitu banyak anggota tubuhnya sehingga nyaris tak lagi berbentuk manusia.<br />
<br />
Monumen ini adalah salah satu dari sekian banyak monumen yang dibangun di Republik Ceko setelah komunisme mati. Bagiku, pesan yang disampaikannya tegas-terang-benderang. Komunisme menawarkan kebohongan berongkos mahal. Seolah menyediakan anak tangga untuk naik menggapai kejayaan, tapi sejatinya adalah parade prosesi kematian kemanusiaan.<br />
Sepekan menyusuri Praha cukup untuk menemukan betapa masa lalu, termasuk yang baru saja lewat, beroleh tempat penting. Monumen, mural, artefak museum, teater mutakhir, seni rupa beramai-ramai mengabadikannya dengan saksama. Sepertinya, ada kerja kolektif untuk menjaga ingatan. Semacam saling mengajak waspada.<br />
<br />
Jakarta adalah lain cerita. Uang dihamburkan untuk lampu-lampu hias, air mancur, patung-patung pahlawan palsu dan monumen-monumen nirmakna. Ketika Praha dikepung ingatan, Jakarta terkubur kepalsuan dan lupa.<br />
Kau tetap mematung menerawang di sana. Di pelataran monumen yang sempit ini, jarak kita, mau tak mau, dekat belaka.<br />
<br />
”Kau pasti dari Asia. Filipina?” Suara empukmu menyengatku tiba-tiba.<br />
<br />
”Eh…. Ya. Asia. Indonesia.”<br />
<br />
”Mengherankan juga. Ada turis yang suka monumen jelek ini.” Batas antara seringai dan senyummu menyembul dari balik payung jingga. Gigimu putih berkilau.<br />
<br />
”Memang jelek secara artistik dan arsitektural. Tapi aku suka pesan yang dibawanya. Ajakan waspada pada kembalinya kebrutalan masa lalu. Menjaga ingatan. Melawan lupa.”<br />
<br />
”Hmmm….”<br />
<br />
”Kenapa kau bilang ini monumen jelek?”<br />
<br />
”Lihatlah tujuh sosok itu. Semua laki-laki. Padahal, lebih banyak perempuan yang jadi korban komunisme. Bahkan, perempuan adalah korban berlapis-lapis. Korban partai, negara, dan laki-laki. Dan si pematung tetap saja seperti laki-laki umumnya. Memandang perempuan hanya sebagai pelengkap. Statistik. Bukan manusia.”<br />
<br />
”Wow! Kau punya sinisme para feminis!”<br />
<br />
”No. No. No. Tanpa menjadi feminis, perempuan mana pun, bahkan laki-laki, dengan gampang bisa menangkap kejanggalan itu.”<br />
<br />
”Sekarang giliranku yang mesti heran kalau begitu. Kenapa kau tampak menikmati monumen yang kau bilang jelek ini?” Aku menyergah, mengubah posisi.<br />
<br />
”Sederhana. Di musim panas seperti ini, Praha diserbu turis. Mereka ada di mana-mana, kecuali di sedikit tempat yang tak populer dan dilirik sebelah mata seperti monumen ini. Jadi, jangan keliru. Aku tak sedang menikmati monumen jelek ini. Aku butuh senyap.”<br />
Senyap menyergap senja Praha. Gerimis mulai mereda. Langit merah di balik Bukit Petrin memanggil-manggil malam.<br />
<br />
***<br />
<br />
Perjumpaan kedua kita adalah pada senja bergerimis berikutnya. Angin tak mau mengajak berkawan. Udara musim panas Praha pun sedikit mendingin.<br />
”Boleh aku merapat ke tubuhmu?”<br />
<br />
Permintaanmu tiba-tiba. Dan mustahil kutolak. Kios-kios souvenir terserak di Stare Mesto. Berderet-deret sepanjang Smetanovo Nabi hingga ke kaki jembatan Charles. Berdempetan. Kita berjalan saling merengkuh. Mengusir dingin. Seperti sepasang kekasih. Gerimis yang tak juga reda menyemai rambut panjang kita menjadi masai.<br />
<br />
”Aku ingin bunuh diri.” Kau pecah sunyi dengan cara yang sama sekali tak kuduga.<br />
<br />
”Hah!? Maksudmu?”<br />
<br />
”Kurang jelaskah itu? Atau bahasa Inggrisku kurang bagus di telingamu?<br />
<br />
”No. No. Inggrismu sempurna. Aku mendengar. Tapi….”<br />
<br />
”Ya. Aku sedang berpikir untuk bunuh diri….”<br />
<br />
”Bagiku tak masuk akal.”<br />
<br />
”Maksudmu?”<br />
<br />
”Kau begitu muda. Ranum. Cantik. Cerdas. Dunia membentang luas di depanmu.<br />
<br />
Di sekelilingmu, perubahan berdentum-dentum. Ceko-mu begitu bergairah. Kau hidup persis di tengah contoh sukses Eropa Timur dan Tengah. Masa depan menunggumu. Tinggal kau jemput. Kau dikepung musim semi daya hidup. Bagaimana mungkin kau justru ingin melangkah ke arah sebaliknya.”<br />
<br />
”Oh… Begitukah kami dari kejauhan? Kau terlalu romantis. Kau pikir kematian komunisme adalah berita baik seluruhnya? Setelah komunisme mati, perubahan menghasilkan para penikmat sekaligus korban. Celakanya, aku menjadi yang kedua.”<br />
<br />
”OK. Sorry untuk kenaifanku. Aku siap menjadi pendengar.”<br />
<br />
”Ceritaku akan panjang. Ayo kita ke hotelmu saja. Seperti tadi kau bilang, malam ini kamu mesti <em>packing</em> kan? Keberatan kutemani dengan cerita panjangku?”<br />
<br />
”No. Sama sekali tak keberatan.” Tentu aku menggeleng. Begitu baikkah Tuhan padaku senja ini?<br />
<br />
***<br />
<br />
Di luar, para pelancong hiruk-pikuk lalu lalang. Suara-suara beragam bahasa dunia menerobos masuk melalui jendela kamar hotel yang kita biarkan lebar terbuka. Seperti suara ribuan lebah yang pandai berganti dendang.<br />
Ceritamu panjang. Lirih. Dan kelabu.<br />
<br />
”Aku anak kesembilan. Bungsu. Di bawah kekuasaan komunis, hidup menjadi begitu rutin.<br />
<br />
Ayah dan Ibuku menjadikan kegiatan membuat anak sebagai selingan menantang. Anak demi anak lahir begitu saja. Setiap tahun satu. Berderet-deret seperti pagar.<br />
<br />
Komunisme memang memanjakan. Negara menyediakan apa saja, mulai sabun mandi hingga roti, dengan tak ada lebih pada seseorang dibanding yang lain. Di bawah komunisme, orangtuaku dan siapa pun tak dibiasakan apalagi didesak untuk berkompetisi. Segalanya tersedia tanpa perlu upaya berlebih. Tapi itulah, hidup kami menjadi manja. Tidak menjadi kaya, tapi dalam kesehajaan yang terpelihara.<br />
<br />
Hidup terasa mudah belaka sampai kemudian Komunisme dijatuhkan oleh Revolusi Beludru dan keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat. Demokrasi memaksa kami untuk berkompetisi. Negara tak lagi jadi penyantun, tapi membiarkan kami saling sikut untuk bertahan dan saling berebut hidup yang lebih baik.”<br />
<br />
Suara-suara bising beragam bahasa dunia yang menyelinap dari balik jendela terbuka mulai perlahan menyenyap. Malam makin sepuh. Kubayangkan, para turis yang mulai letih telah memenjarakan dirinya di kamar-kamar hotel atau menyerbu panti-panti pijat dan klub-klub malam untuk menukarkan penat dengan keletihan yang lebih menyenangkan.<br />
Suaramu masih benderang, ceritamu seolah tak berujung, sementara ujung malam beringsut mendekat.<br />
<br />
”Ibuku yang terlampau tua di hadapan kapitalisme, tersingkir dan tak lagi terpakai sebagai pramuniaga di sebuah kios di Kota Tua. Ayahku terkena rasionalisasi, dipecat dari sebuah lembaga birokrasi yang kelebihan pegawai, tanpa dipensiunkan. Kakak-kakakku sibuk dengan urusan masing-masing. Hidup yang keras membikin mereka tak lagi saling peduli satu sama lain.<br />
<br />
Aku terjepit dalam ketiadaan pilihan sampai sebuah tawaran yang begitu manis datang begitu saja dua tahun lalu. Sebuah biro penyalur tenaga kerja menawariku menjadi pramusaji pada sebuah restoran besar di Berlin. Kusambut tawaran itu dengan tangan terbuka sambil bersyukur betapa Tuhan telah begitu baik padaku.”<br />
Kau terdiam. Menunduk. Matamu segera menjadi telaga. Dua sudut bendungan di sisi luar pangkal hidungmu makin tak mampu menahan air telagamu yang membanjir. Air matamu berjatuhan tanpa tercegah. Aku merapat begitu saja. Kau menjatuhkan bahumu ke dadaku. Lalu suaramu menyendat pada pangkal cerita yang rupanya segera tiba.<br />
<br />
”Aku ditipu. Aku dijual ke sebuah tempat prostitusi di timur Berlin. Garis nasib yang kelam mesti kuterima tanpa daya. Badanku remuk dihantam kerja jahanam itu. Kemanusiaanku terbunuh oleh rutinitas itu. Membuka pintu kamar, membiarkan diperlakukan sebagai binatang, memunguti uang yang dilempar begitu saja ke atas tempat tidur sambil mendengar pintu ditutup dan suara sepatu lelaki di lantai menjauh hingga hilang ditelan lobi berkarpet.<br />
Badanku hancur, tapi hatiku lebih hancur. Kemanusiaanku makin hari makin tak bersisa. Benar-benar binasa.”<br />
<br />
Air matamu membasahi bahuku. Dingin. Kita diterkam senyap yang tiba-tiba menjadi asing.<br />
”Untunglah aku akhirnya bisa melepaskan diri dari enam bulan terpanjang dalam hidupku itu. Kabur dari Berlin, kembali pulang. Tapi hidup tetap tak bersahabat. Akhirnya kuulang pekerjaan yang sama di sini. Kali ini atas kemauanku. Persisnya, karena aku tak punya pilihan lain. Hingga sampailah aku di titik ini. Ketika sungai Vltava mengamuk tempo hari, keinginanku untuk mengakhiri hidup menderas begitu saja seperti air sungai yang sedang murka.<br />
<br />
Ya… aku ingin bunuh diri. Rasanya aku sanggup menghadapi hidup yang berat dan keras, tapi tidak hidup yang terasa hambar seperti ini….”<br />
Sesenggukanmu mengeras. Sebuah cara pilu mengakhiri cerita panjangmu. Dalam pelukanku yang merapat, semua bagian badanmu terasa bergetar. Seperti mesin pengeras jalan yang dengan lembut menekan-nekan dadaku. Lembut sekali. Melahirkan rasa yang asing dan nyaris tak kukenali.<br />
<br />
Malam makin larut dalam sunyi. Lalu semua terjadi begitu saja. Kau tak lagi kupeluk, tapi kita saling memeluk. Dan pada dini hari pengujung musim panas itu, kita tergeletak kelelahan begitu saja seusai perjalanan saling bertaut penuh gelegak yang menguras keringat.<br />
<br />
***<br />
<br />
Senja bergerimis. Langit di atas Bandara Internasional Praha tersapu terlalu banyak kelabu. Birunya seperti malu-malu. Enggan memperlihatkan diri.<br />
Kau mematung menopang dua matamu yang nanar.<br />
<br />
Lagi-lagi bertelaga. Baru saja kita menunaikan pelukan selamat tinggal. Aku nyaris kaku ketika kau bisikkan kata-kata itu….<br />
”Terima kasih banyak Lusi. Untuk pertama kali dalam waktu yang sangat panjang, aku sanggup berbagi dan menangis. Kupikir air mataku sudah habis di Berlin. Kembalilah, Lusi. Aku akan menunggu. Jangan-jangan aku sudah jatuh cinta padamu.”<br />
Suaramu parau. Aku hanya bisa mengeratkan pelukan dan mengusap-usap lembut punggungmu. ”Aku akan segera menghubungimu, Elena. Sesampai di Jakarta.”<br />
<br />
Berjalan menuju ruang tunggu pesawat yang akan membawaku ke Jakarta seperti memasuki lorong panjang yang asing. Kita menjauh, tapi suaramu seperti makin keras memanggil-manggil.<br />
Diam-diam, kupastikan untuk segera kembali. Diam-diam, aku terganggu perasaan serupa Elena. Jangan-jangan aku sudah jatuh cinta.<br />
Sosokmu hilang tertelan kelokan menuju ruang tunggu pesawat. Dan telepon genggamku bergetar.<br />
”Mama, kami tak bisa tidur. Tak sabar menunggumu pulang. Aku dan anak-anak akan menjemputmu di Cengkareng.” Suara sengau milik suamiku terdengar dari tengah malam Jakarta. Keriangannya tak bisa disembunyikan.<br />
</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> </div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Ruang tunggu yang ramai tiba-tiba terasa begitu senyap. Di belakangku, terhalang berlapis-lapis dinding, di bawah gerimis senja Praha seorang perempuan Ceko sedang menangisi kepergianku. Nun di depanku, dipeluk malam Jakarta, seorang lelaki mendekap rindunya yang meluap untukku.</div>Key Line (blogger Karawang)http://www.blogger.com/profile/14483151894163779873noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7166126875652907448.post-61569044174669424182012-01-14T21:43:00.000-08:002012-01-14T21:43:31.716-08:00Bukan Untukku<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Tak mampu aku mengungkapkan keindahanmu dengan kata – kata<br />
Karena kau teramat sempurna di mataku<br />
Kau adalah orang yang membuatku merasakan jatuh cinta<br />
Kau adalah makhluk Tuhan yang diciptakan untuk menjadi yang terindah<br />
Namun kau diciptakan Tuhan bukanlah<a name='more'></a> untukku....</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br />
Kau tercipta untuk orang lain.<br />
Orang yang jauh lebih indah dariku<br />
Apa kau tahu?</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br />
Hatiku sakit mengetahui kenyataan ini<br />
Mengetahui bahwa kau bukanlah untukku<br />
Aku tak dapat lagi membendung air mataku<br />
Aku menangis, aku sedih....</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br />
Mengapa kenyataan ini begitu menyakitkan<br />
Mengapa dunia tidak pernah memihakku<br />
Akupun mencoba untuk melupakanmu<br />
Aku tidak ingin melihatmu<br />
Aku tidak ingin mendengar namamu<br />
Aku benar – benar ingin melupakanmu..</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br />
Tapi aku merasa sakit karena telah membohongi diriku sediri<br />
Karena semakin aku ingin melupakanmu<br />
Semakin kau melekat pada ingatanku<br />
Aku tak tahu lagi harus bagaimana untuk melupakanmu</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br />
Tuhan, jika dia bukanlah untukku<br />
Jangan kau biarkan aku tetap mencintainya<br />
Bantu aku untuk melupakannya<br />
Tapi aku berharap bahwa dia adalah untukku<br />
Dia tercipta hanya untukku</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br />
Aku mohon Tuhan, jangan kau siksa aku seperti ini<br />
Jika dia bukan untukku<br />
Aku sudah berusaha untuk melupakannya<br />
Tapi itu semua tidak ada hasil<br />
Tolong aku Tuhan, beri aku kepastian..</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
</div>
<div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: right;">
Pengirim : <a href="mailto:meilinda_bieber@yahoo.co.id" target="_blank"><b>Meilinda</b></a>
</div>Key Line (blogger Karawang)http://www.blogger.com/profile/14483151894163779873noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7166126875652907448.post-49273384995964404692012-01-14T21:38:00.000-08:002012-01-14T21:38:39.227-08:00Sajak Rindu Untuk Umi<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
Disini tempatku bersandar sendiri <br />
Dikesunyian malam rumah tua ini<br />
Sendiri...menanti...sepi...<br />
Setan berbisik malaikat menampik<br />
Rindu mengusik mulai mencekik<a name='more'></a><br />
<br />
Kuraba dunia ini terasa palsu<br />
kulihat langit tak lagi biru<br />
kupijak bumi seakan semu<br />
dan adakah kau tahu ?<br />
jiwaku bimbang merindukanmu<br />
<br />
Untukmu Umi...<br />
ku tulis sajak rindu ini<br />
ku tulis dari hati di malam sunyi<br />
berharap kau mampu tuk renungi<br />
arti ketulusan cinta ini</div>
<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
</div>
<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: right;">
Pengirim :<b> <a href="mailto:deddy_snapers@yahoo.com" target="_blank">Dedy Christiawan </a></b></div>Key Line (blogger Karawang)http://www.blogger.com/profile/14483151894163779873noreply@blogger.comKarawang, Indonesia-6.3227303 107.3375791-6.8277553 106.7058651 -5.8177053 107.9692931tag:blogger.com,1999:blog-7166126875652907448.post-51654733346707493652012-01-09T01:00:00.000-08:002012-01-09T01:00:09.768-08:00Mayat Yang Mengambang di Danau<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Barnabas mulai menyelam tepat ketika langit bersemu keungu-unguan, saat angin dingin menyapu permukaan danau sehingga air berdesis pelan, sangat amat pelan, nyaris seperti berbisik, menyampaikan segenap rahasia yang bagai tidak akan pernah terungkapkan.</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> </div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><a name='more'></a>Memang hanya langit, hanya langit itulah yang ditunggu-tunggu Barnabas, karena apabila kemudian ia menyelam di dekat batang-batang pohon ke bawah permukaan danau untuk menombak ikan, secercah cahaya pun cukuplah untuk melihat segala sesuatu yang bergerak, hanya bergerak, tiada lain selain bergerak, ketika hanya dengan sudut matanya pun ia tahu mana bukan ikan gabus mana bukan ikan merah. Ya, tangannya hanya akan bergerak menombak secepat kilat bagaikan tak menunggu perintah otak, apabila kedua jenis ikan itu lewat meski melesat, berombongan maupun terpisah dan tersesat, yang mana pun takkan lepas dari sambaran tombaknya yang sebat.</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> </div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> Kacamata yang digunakannya untuk menyelam memang sudah terlalu tua dan agak kabur jika digunakan untuk melihat dalam keremangan, yang kali ini tampaknya masih akan bertahan cukup lama, karena langit mendung dan mega hitam bergumpal-gumpal. Dari dalam air, tanpa harus melirik ke permukaan, tahulah Barnabas hujan rintik telah menitik di seluruh permukaan danau. Namun apalah artinya hujan rintik-rintik bagi seseorang yang menyelam dan memburu ikan, bukan? Barnabas terus berenang di dalam air nyaris seperti ikan, memburu ikan, tanpa ikan-ikan itu harus tahu betapa jiwanya sedang terancam. Tentu ia mengenal ikan seperti mengenal dirinya sendiri.</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> </div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Ikan-ikan tak berotak, pikirnya, pantaslah begitu mudah ditombak.<br />
<br />
Namun Barnabas juga tahu, justru karena otak ikan sangat amat kecil, sehingga tidak mencukupi untuk berpikir, naluri ikan terhadap bahaya bekerja dengan kepekaan tinggi. Jadi Barnabas pun tetap harus menipunya. Makanya ia pun berenang seperti ikan, mengapung seperti kayu, menyelam seperti pemberat—dan sekali tangannya bergerak, memang harus melesatkan tombaknya lebih cepat dari bekerjanya naluri ikan. Ia telah memperhatikan, betapa ikan dalam rombongan akan lebih kurang berhati-hati daripada ikan yang berenang sendirian, mungkin karena merasa aman bersama banyak ikan, sehingga memang tak sadar bahaya mengancam.<br />
</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Ikan yang terlepas dari rombongan dan kebingungan kadang lebih menarik perhatian Barnabas. Ia suka mengintai dan mengincarnya dengan hati-hati, kadang tanpa kentara memojokkannya, untuk pada saat yang tepat menombaknya tanpa ikan itu sempat mengelak.</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> </div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> Ikan merah artinya ikan gabus merah, sedap jika dibakar. Ikan gabus artinya ikan khahabei, besarnya bisa sebesar betis, persembahan bagi ibu-ibu yang baru melahirkan, tak kalah sedap digoreng, tetapi Barnabas beranggapan minyak goreng bukanlah bagian dari kehidupannya, karena memang tak pernah membelinya. Bahkan Barnabas tak pernah lagi makan ikan yang diburunya itu. Jika langit yang keungu-unguan itu telah menjadi lebih terang, setidaknya dua puluh sampai tiga puluh ikan yang bernasib malang di tangannya sudah tergantung di salah satu tiang dermaga. Jumlah yang cukup guna menyambung hidup untuk sehari, dua hari, tiga hari, seminggu, tak penting benar berapa lama, karena Barnabas setiap harinya menyelam jua—kecuali, tentu kecuali, pada hari Minggu, karena pada hari itu Barnabas beribadah.</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> </div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Pada hari apa pun ikan-ikan tidak beribadah, pikirnya lagi, jadi ke manakah mereka pergi hari ini?<br />
<br />
Bukanlah karena hujan maka ikan-ikan tidak terlihat, mungkin juga tiada sebab apa pun selain sedang berombongan mencari makan di tempat lain dengan moncongnya yang tak habis bergerak memamah-mamah. Namun tetap saja Barnabas merasa jengkel karena ini membuatnya terpaksa memburu ikan lebih lama. Ia memang tak suka memasang bubu dan tak juga suka memasang jala seperti banyak orang lainnya di pulau-pulau di dalam danau, karena memasang bubu bukanlah berburu dan memasang jala juga bukanlah berburu, sedangkan ia hanya ingin jadi pemburu ikan dan tiada lain selain berburu ikan seperti yang selama ini dianggapnya sebagai panggilan.<br />
<br />
Ada orang ingin jadi pendeta, pikirnya pula, aku ingin jadi pemburu ikan.<br />
</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Dari masa kecil diketahuinya orang-orang menyelam tanpa kacamata dan bahkan bisa mendapatkan ikan lebih banyak darinya sekarang. Mungkinkah air danau dahulu tidak seperti air danau sekarang? Lebih jernih karena memang lebih bersih dan mata penyelam tak harus menjadi pedas meskipun menyelam berlama-lama?<br />
<br />
Barnabas tentu ingat betapa pada masa lalu di danau itu segala sesuatunya tidaklah sama dengan sekarang.<br />
<br />
Dulu tidak ada raungan Johnson, pikir Barnabas, karena perahu bolotu tidak bermesin tempel. Dari pulau ke pulau, atau dari pulau ke daratan, orang-orang menggunakan bolotu yang hanya perlu didayung. Kadang penumpang bantu mendayung, tetapi tanpa bantuan penumpang pun, perjalanan dari pulau kecil yang satu ke pulau kecil lain di dalam danau yang dikelilingi perbukitan itu tetap bisa berlangsung, tanpa peduli apakah itu cepat ataukah lambat karena memang tiada waktu yang terlalu tepat maupun terlambat. Langit dan bumi bersenyawa tanpa peduli detak arloji—dan Barnabas lebih suka menjadi bagian langit maupun bagian bumi daripada arloji.<br />
</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Maka tiada yang dikhawatirkan Barnabas jika pagi ini ikan-ikan seperti bersembunyi. Langit memang gelapnya agak lebih lama karena mendung dan hujan dan tentu saja ini harus dianggap biasa saja, begitu biasa, bagaikan tiada lagi yang lebih biasa, dan sungguh Barnabas sama sekali tiada keberatan karenanya.<br />
<br />
Aku sabar menunggumu ikan, batinnya, setiap orang harus cukup bersabar menantikan makhluk yang akan menyerahkan jiwa hari ini demi kelanjutan hidup pembunuhnya. Apalah artinya menahan lapar sejenak untuk hidup lebih lama? Nikmatilah hidupmu yang amat sementara itu ikan, karena pada akhirnya aku akan membawamu ke pasar dan pedagang ikan akan segera memajang dirimu di meja kayu murahan, tempat koki restoran di tepi danau itu akan menunjukmu, membelimu, membuang sisik dan isi perutmu, lantas menggorengmu bagi santapan para wisatawan yang akan membuang tulang-tulang dan kepalamu untuk menjadi rebutan ikan-ikan emas di kolam yang tak tahu menahu betapa cepat atau lambat mereka juga segera akan jadi santapan dan tulang-tulang serta kepalanya juga akan dilempar sebagai pertunjukan kebuasan dunia yang tampaknya justru meningkatkan selera makan.<br />
</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Barnabas tiba-tiba teringat, Klemen anaknya, yang putus sekolah teologia, pernah mengucapkan suatu kata yang tak dimengertinya.<br />
<br />
”<em>Homo homini lupus</em>….”<br />
</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Saat itu Barnabas memang bertanya, apa maknanya Klemen tidak melanjutkan sekolah untuk menjadi pendeta, menyia-nyiakan tabungan hasil berpuluh-puluh tahun berburu ikan. Di negeri danau, tempat setiap bukit berpuncak salib, menjadi pendeta adalah kehidupan terpuji.<br />
<br />
Namun inilah jawaban Klemen anak tunggalnya itu, yang pada suatu hari tiba-tiba saja muncul kembali dari balik kabut di atas danau sambil mendayung bolotu, meninggalkan sekolah di kota untuk selama-lamanya.<br />
<br />
”Apalah artinya memuja langit, tapi membiarkan darah mengotori bumi….”<br />
<br />
Selama tinggal di rumah mereka, tempat kecipak air danau selalu terdengar dari bawah lantai papan dari malam ke malam, Klemen tampak sering tepekur. Ibunya sudah lama meninggal karena cacing pita dan mereka hanya hidup berdua saja, sampai Klemen pergi ke kota, atas restu pendeta, untuk belajar menjadi pendeta.<br />
<br />
”Kampus tempat belajar agama pun diobrak-abrik tentara,” katanya, ”benarkah sudah cukup kita hanya berdoa?”<br />
<br />
Barnabas bukan tak mendengar orang-orang berbicara dengan nada rendah tentang penembakan dan kerusuhan di berbagai tempat lainnya. Klemen pernah membacakan pesan pada benda kecil yang sering digunakannya pula untuk bicara.<br />
<br />
Aku masih di hongyeb, beberapa hongibi, dan syidos tahu persis siapa pelaku penembakan di gidinya, bekas nyahongyeb Dadbdedsya katanya punya data nama-nama pelaku penembakan. Mereka adalah (<em>self-censorship</em> oleh pengarang) yang menyamar sebagai pasukan sagangrod Tjhitgosoe ede dede nyalabi, seragamnya sama dengan sagangrod ini, senjatanya yang beda. Ini informasi A1, tapi kudu hati-hati, kami media tinggal tunggu siapa otoritas yang berani sebut siapa mereka. Jangan percaya omongan para petinggi munafik….<br />
<br />
Barnabas sungguh tak mengerti apa yang harus dikatakannya. Negerinya hanyalah sebatas danau dengan tiga puluhan pulau yang dikelilingi tebing serba terjal dan meliuk berteluk-teluk itu. Ia tidak pernah tahu dan tidak butuh apa pun yang lain selain cakrawala negeri danaunya itu, yang telah memberikan kepadanya mega-mega terindah di langit biru, bukit-bukit menghijau, dan kedalaman di balik permukaan danau tempatnya memburu ikan-ikan yang baginya merupakan segala dunia yang lebih dari cukup. Ditambah khotbah para pendeta yang menyejukkan setiap akhir pekan dan pesta rakyat dari segenap pulau setiap tahun, itu semua sudah lebih dari apa pun yang bisa dimintanya.<br />
<br />
Namun Barnabas merasakan perubahan yang terjadi belakangan ini, bahwa pendeta yang tidak bicara tentang kemerdekaan gerejanya akan sepi.<br />
<br />
***<br />
<br />
<br />
Hujan tampak menderas dan ketika Barnabas mengambil napas di permukaan danau memang sepanjang mata memandang hanyalah dunia yang kelabu karena tirai hujan dengan latar belakang bayangan punggung perbukitan di kejauhan.<br />
<br />
Perutnya terasa agak lapar tetapi tenaganya sama sekali belum berkurang. Ia bisa membawa ikatan dua puluh sampai tiga puluh ekor ikan ke pasar, tetapi jika hanya membawa sepuluh atau lima belas pun tidak ada yang harus disesalinya sama sekali. Bahkan jika ikan yang ditombaknya cukup besar—dan ikan-ikan terbesar suka menyendiri—maka seekor atau dua ekor pun justru akan dibayar lebih tinggi daripada sepuluh ikan yang biasa.</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> </div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Ya, ikan-ikan tak tahu kapan akan mati, batin Barnabas, tetapi pagi ini tampaknya belum ada yang akan mati. Setidaknya di dekat permukaan ini.<br />
<br />
Maka Barnabas menyelam, menyelam, dan menyelam semakin dalam, ke tempat ikan besar biasanya menyendiri.<br />
</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Namun gagasan tentang ikan besar yang menyendiri ini, yang memisahkan dirinya secara alamiah karena tak dapat lagi berombongan ke sana kemari dengan ikan-ikan kecil meskipun dari jenisnya sendiri, mengingatkan Barnabas kepada dirinya. Sedikit pemburu di antara penjala dan pemasang bubu, dan di antara pemburu yang biasanya bekerja siang atau malam, hanyalah Barnabas yang selalu bekerja tepat menjelang fajar merekah—jelas membuatnya berbeda, keberbedaan yang mungkin menurun kepada Klemen. Memang banyak hal tak dimengertinya pula dari gagasan-gagasan Klemen, apalagi ketika ia bicara tentang pernyataan untuk merdeka….</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> </div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> Manusia kadang masih seperti ikan, pikirnya, tak dapat bercampur baur dan hanya nyaman dengan golongan sejenisnya.<br />
<br />
Di danau itu telah dimasukkan ikan dari tempat asing, seperti ikan gabus Toraja, yang ternyata lebih suka memakan telur ikan gabus asli dari danau itu maupun ikan-ikan lainnya. Ikan gabus asli yang disebut khahabei itu harus dicari para penyelam di bagian danau terdalam. Sedangkan ikan lohan yang juga asing di danau itu, tak hanya memakan telur-telur ikan gabus, anak-anak ikan gabus, dan ikan-ikan kecil lain, tetapi juga udang dan jengkerik . Maka ikan-ikan asli lain seperti ikan seli, ikan gete-gete besar dan kecil, ikan gastor, ikan gabus merah, ikan gabus hitam yang dahulu berlimpah kini hanya tertangkap dalam jumlah sedang; yang masih banyak tinggal ikan-ikan hewu atau ikan pelangi, tetapi ikan kehilo semakin susah dicari, mungkin karena makin jauh bersembunyi, mungkin juga memang tinggal sedikit sekali. Tempat mereka telah diisi ikan-ikan asing yang disebut ikan mata merah, ikan tambakan, ikan sepat siam, ikan nila, ikan nilem, dan ikan mas. Barnabas tahu benar, dahulu setidaknya terdapat dua puluh sembilan jenis ikan, termasuk ikan laut yang masuk dari muara sungai di sebelah timur, dan sekarang hanya enam belas jenis, itu pun tinggal sembilan jenis yang asli.<br />
<br />
Ikan makan ikan, apakah manusia tidak memakan manusia? Barnabas tidak terlalu peduli apakah ia pernah menjawab pertanyaannya sendiri.<br />
<br />
Sudah beberapa hari Klemen menghilang. Tetangganya menyampaikan kadang ada orang datang bertanya-tanya tentang Klemen—bukan, mereka bukan sesama penduduk di negeri danau yang saling mengenal sejak dilahirkan. Perahu bolotu yang digunakan Klemen juga masih di tempatnya, ketika beberapa malam lalu mendadak terdengar deru perahu Johnson di kejauhan pada tengah malam. Penduduk yang masih terjaga saling berpandangan. Mereka yang terbiasa menyendiri memang harus menghadapi segala sesuatunya sendirian.<br />
<br />
Barnabas menyelam makin dalam, bahkan sampai menyentuh lumpur di dasar danau. Seekor ikan khahabei besar yang waspada berkelebat, mengepulkan lumpur yang segera saja menutupi pandangan. Barnabas tidak dapat melihat apa pun. Cahaya yang sejak pagi tidak pernah lebih terang dari kekelabuan dalam hujan, di dasar danau ini tak dapat juga memperlihatkan sesuatu kepada Barnabas.<br />
<br />
Namun di antara kepulan lumpur pekat Barnabas merasakan sesuatu datang dari dasar danau dan ia segera menghindarinya. Tak urung, sesuatu yang mengambang karena gerakan ikan khahabei itu telah melepaskan keterikatannya dari akar-akaran di dasar danau, menyentuh tubuhnya juga dalam perjalanan ke permukaan danau.<br />
<br />
Ia terkesiap dan melepaskan dirinya dari kepulan lumpur, melesat dan menyusul sesuatu yang segera jelas merupakan sesosok mayat. Dari balik kacamata selamnya yang buram, matanya terpaku kepada sosok itu, yang perlahan tetapi pasti menuju ke atas sampai mengapung di permukaan danau. Dengan cahaya yang sedikit lebih baik daripada di dasar danau, meskipun tidak terlalu jelas, Barnabas dapat memastikan bahwa tangan dan kaki mayat itu terikat, dan pengikatnya adalah robekan bendera bergaris biru putih, sedangkan mulutnya disumpal dengan kain merah.<br />
<br />
Di permukaan itu hujan bukan semakin mereda tetapi menderas. Angin keras menyapu seluruh permukaan danau, sehingga air hujan yang turun dari langit tersibak bagaikan tirai raksasa yang melambai-lambai. Di antara deru angin yang menarik-narik daun pohon nyiur di semua pulau, terdengarlah jeritan panjang dari tengah danau.<br />
</div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> <strong>Jayapura, 12-14 November 2011</strong><br />
</div>Key Line (blogger Karawang)http://www.blogger.com/profile/14483151894163779873noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7166126875652907448.post-16029813008351073032011-12-21T00:23:00.000-08:002011-12-21T00:23:05.721-08:00Waktu<div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Jadikan aq hidupmu yang baru<br />
Lembaran yang membuka setiap pintu kasih dari hatimu<br />
Keceriaan saat kau mengenali ku<br />
Tanpaku hari mu layu<br />
Tak seimbang dengan perubahan waktu<br />
Akupun merasa seperti itu</span><a name='more'></a></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">...<br />
Kadang melewati batas saat aku mengenali mu<br />
Tapi apa yang bisa kulakukan<br />
Waktu masih ada dalam masa perjuangan ku<br />
Begitu juga dengan mu<br />
Kita masih butuh beberapa langkah <br />
Untuk melewati batas itu<br />
Dan mungkin hari ini adalah<br />
Waktu tanpa harus memiliki mu<br />
Waktu tanpa ikatan saat aku berdiri di sekitar mu.</span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> </span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: right;"><span style="font-size: small;"> </span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: right;"><span style="font-size: small;"> </span></div><div class="”fullpost”" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: right;"><span style="font-size: small;"> Pengirim : </span><a href="mailto:malau.james@ymail.com" target="_blank"><b>james malau</b></a></div>Key Line (blogger Karawang)http://www.blogger.com/profile/14483151894163779873noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7166126875652907448.post-24096355315602578592011-12-21T00:19:00.000-08:002011-12-21T00:25:14.411-08:00Pergi ke Kayangan Api<div class="”fullpost”" style="text-align: justify;"><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in; text-indent: 0.5in;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Pada pagi hari di hari minggu, aku, Nia, Nur, & Pinka berencana akan pergi ke makam Alm. Temanku. tapi tidak tahu kenapa aku, Nia, Nur, dan Pinka tidak jadi pergi ke sana, tapi malah berencana akan pergi ke Kayangan Api.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">“eh.., kita pergi ke makam besok-besok aja ya.., soalnya temen yg lain kan belum bisa kumpul hari ini..’’ kata Pinka</span></div><a name='more'></a><br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">“terus gimana.., kita sudah terlanjur sampai sini, percuma kalau kita kembali pulang..’’kata Nia</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">“emmz.., gimana ya..’’kata Pinka sambil berfikir</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">“oh..ya,, gimana kalau kita pergi ke Kayangan Api’’kata Pinka</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">“wah, ide bagus, ya udah kita langsung pergi saja’’ jawab Nur</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Setelah mendapat keputusan itu, aku dan teman-teman perjalanan menuju ke Kayangan Api, tapi di tengah perjalanan tiba-tiba ban sepeda motor nur bocor.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">“Nur...! ban sepedamu bocor’’ kataku</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">“iyakah..!? Jawab Nur</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">“iya nur, ban sepedamu bocor’’kata Pinka</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">“terus gimana nih..,, kita puter balik aja yuk..’’kata Nur dengan cemas</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Setelah kembali dari perjalanan, kami tidak sengaja melihat bengkel sepeda, dan kami langsung menuju bengkel itu untuk memperbaiki ban sepeda motor Nur. Setelah ban sepada nur selesai di perbaiki, aku, dan teman-teman bingung akan pergi kemana.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">“eh.., terus gimana nih, kita kembali pulang atau lanjut ke Kayangan Api?’’ tanya Nia</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">“ mending lanjut aja ke Kayangan Api, gimana..’’jawab Pinka</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">“ iyaya, kan naggung.., mau pulang masih jauh, ke Kayangan Api juga gitu, mending lanjut aja, dari pada pulang sia-sia’’ kataku</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">“ iyaya..! ya udah kita lanjut pergi aja yuk..’’ kata Nia</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Setelah melanjutkan perjalanan sampailah kita di Kayangan Api dan melihat-lihat pemandangan disana.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">“wah, indah ya pemandangan disini’’ kata Nia</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0in;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;">“ iya benar, sejuk lagi udaranya’’ kataku</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;"><br />
</div><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Disana kita melihat-lihat pemandangan, bersantai-santai, dan tidak lupa kami berfoto-foto disana.kami sangat senang sekali berada di Kayangan Api. Tiada henti-hentinya kami bercanda tawa disana dan tak ada bosan yang kita rasakan. Tetapi setelah kami puas disana, kami pun berniat untuk pulang. dan langsunglah kita menuju perjalanan pulang.</span><br />
<br />
<br />
<div style="text-align: right;"><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Bojonegoro 19 Dec 2011</span></div><div style="text-align: right;"><a href="mailto:voni_ultaa@yahoo.com" target="_blank"><b><span style="font-size: small;"><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;">Vonny Ulta</span></span></b></a><span lang="IN" style="font-family: "Georgia","serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%;"></span></div></div>Key Line (blogger Karawang)http://www.blogger.com/profile/14483151894163779873noreply@blogger.com