Tenung

KABAR kematiannya menyebar sangat cepat, seperti angin yang berbuah badai dan merontokkan dedaunan. Barangkali kabar kematian tak secepat itu jika yang meninggal bukan si tukang tenung.

“Siapa yang meninggal?”

“Murtaep.”

“Murtaep tukang tenung itu?”

“Ya, betul.”

Di mana kabar itu singgah, dari muka segala arah, pembicaraan kerap bermuara pada perkara kesaktiannya. Tenung dan Murtaep bak gembok dan kunci. Tenung, ya, Murtaep. Murtaep, ya, tenung.

Malam masuk waktu Isya ketika tubuh Murtaep tak lagi hangat. Sebagian kerabat berdatangan sebelum mata lelaki dekil itu benar-benar terpejam. Murtaep meninggal secara wajar dan normal, tidak mendadak, apalagi misterius. Kematiannya tak seperti yang selalu ia koarkan pada penduduk.

Ramalan yang meleset itu, kematian Murtaep, semakin menjadi buah bibir.
Jauh hari Murtaep sudah mengabarkan perihal tanda kematiannya sendiri. Ia akan mati ketika pohon beringin di depan rumahnya tersambar petir. Tulangnya akan hangus bersama akar serabut beringin. Bagaimanapun Murtaep juga manusia. Bisa meramal, bukan penentu nasib.

Lebih tiga bulan lelaki itu tak bisa melakukan apa-apa kecuali tergolek kaku. Ia sudah tak lihai memainkan persendian. Makan dan minum harus disuap. Buang hajat sudah di ranjang. Buang air tak pernah membilang.
Murtaep tidak sakit, hanya terlalu tua untuk hidup. Usianya seratus tahun lebih. Melihat usia yang terlalu senja untuk ukuran manusia sekarang, sebagian orang percaya betapa ia tak bisa mati kecuali ada petir menyambar beringin itu.

“Yang jelas usianya lebih seratus tahun. Seratus berapa, tidak ada yang tahu,” cerita Dulla pada Taris, cucunya.

Istri Murtaep seorang dukun beranak. Sapinah namanya.

“Perempuan itu yang memandikan anak kakek yang paling tua. Pamanmu, Aji,” kata Dulla.

“Dulu orang melahirkan tak secanggih sekarang. Bukan perkara gampang. Sakit harus benar-benar dilawan, bertaruh nyawa. Sekarang enak pakai operasi. Tinggal suntik, tak sadar, selesai,” sambung ibunya yang tiba-tiba sudah berdiri dengan sekantong beras.
Taris memiliki sambung keturunan dengan Murtaep dari keluarga garis laki-laki. Dulla adalah adik sepupu Murtaep.

Ayah Taris belum pulang. Ia memiliki jadwal piket di palang pintu kereta dan baru tiba di rumah jam sembilan. Dulla mengajak Taris melayat duluan. Ibunya sudah berada di teras dengan sekantong beras untuk disedekahkan kepada keluarga duka.

Para pelayat berdatangan ke rumah duka membawa gula, rempah-rempah, mie instan atau beras. Mereka datang untuk menghibur dan mengurangi beban keluarga dan menjadi saksi atas kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukan almarhum.

“Siapa yang bakal gantikan Murtaep, ya?”

“Kamu saja, bagaimana?”

“Hus, ngawur!”

“Lha, ‘kan cuma mutar kendi, lalu bertanya, siapa kamu, apa yang kamu minta. Mudah bukan?”

“Iya, ada benarnya juga tuh,” sindir yang lain.

“Kendinya bisa menjawab pertanyaan itu?”

“Tentu tidak. Kendi itu cuma berputar-putar.”

“Lalu, bagaimana bisa ketahuan bila mahluk gaib itu minta nasi kuning, serabi, tajin…?”

“Ya, kamu harus buat sendiri jawabannya dan tawarkan pada kendi itu.”

“Maksudnya?”

“Kalau jawabanmu benar, kendi itu akan berhenti berputar.”

“Oalaaah, kalau saya yang pegang kendi itu, saya tak akan menawarkan nasi kuning, sumpil, lemper, serabi, atau tajin.”

“Lalu apa?”

“Bisa yang lain yang lebih keren dan enak. Bisa panggang ayam, sate, soto babat atau makanan yang enak-enak lainnya… hahahahaha.” Orang-orang melempar pandang di bawah terang bohlam yang menggantung, redup oleh asap cerutu.

Jenazah Murtaep jadi dikubur besok pagi, hasil musyawarah keluarga duka dengan tokoh masyarakat. Gerimis yang kembali turun menjadi pertimbangan. Taris dan Dulla pulang. Di rumah tidak ada orang. Sementara ibunya masih membantu urusan di dapur. Dalam perjalanan pulang, berlindung daun pisang, cerita renyah mengalir dengan narasi tak begitu rapi.

“Tak banyak yang memiliki kemampuan seperti dia,” mulainya.

Sudah lama Murtaep jadi tukang tenung; sejak menikah dengan Sapinah dan memiliki sebuah kendi. Tenung ala Murtaep berbeda dengan tenung yang biasa atau yang lebih dititikberatkan pada ilmu hitam untuk mencelakai orang. Tidak. Tenung Murtaep menjadi juru selamat di kampung itu. Banyak penduduk yang berobat kepadanya.

Murtaep hanya seorang pendatang biasa. Kelebihan membaca perkara gaib diketahui ketika seorang anak tetangga mendadak kejang-kejang. Tubuhnya menghitam. Matanya membelalak. Tangannya mencakar-cakar. Murtaep yang kala itu baru tiba dari sawah melihat keganjilan itu. Ia mendekati orangtua anak yang mukanya kacau panik, lalu mendekat pada anak yang—kata orang—ayan. Anak itu menyerangnya. Murtaep gesit menghindar. Pada kondisi yang sangat sigap dan cepat, tangannya menepok jidad anak itu dan roboh seketika.

Perkara gaib yang terjadi sangat cepat itu membelalakkan pasang mata. Anak itu tak lagi mengamuk. Murtaep berusaha menetralisir suasana. Berkoar betapa yang dilakukannya tadi sebuah usaha mengusir makhluk halus yang terperangkap di tubuh anak itu. Tak lupa ia membumbui aksinya dengan usaha campur tangan Tuhan.

“Apa yang terjadi setelah itu, Kek?”

“Kau tak sabaran, Nak,” tukasnya tersenyum. “Sejak saat itu Murtaep menjadi kepercayaan orang kampung. Banyak yang berdatangan kepadanya. Bertanya soal penyakit yang tak sembuh-sembuh sampai bertanya soal jodoh.”

Hal lain yang membuat Murtaep menjadi terpandang adalah kendi yang dipakai untuk tenung. Tempat air bercerat yang terbuat dari tanah liat itu bukanlah sembarang kendi. Orang menyebutnya kendi tasoddul, milik perempuan hamil yang meninggal sebelum melahirkan. Konon, ruang dalam kendi itu berpenghunikan arwah bocah yang mati sebelum lahir.

“Arwah bocah yang mati sebelum lahir dipercaya dapat membaca perkara gaib. Arwah bocah itu diibaratkan sehelai kapas putih tanpa noda.”

“Kapas putih?”

“Ya, bayi yang baru lahir ibarat kapas putih, Nak. Bersih tanpa noda dosa.”

Selain sebagai wadah minuman, kendi juga dipakai sebagai pelengkap kuburan. Benda itu diletakkan di bagian kepala nisan. Isinya air yang dipakai peziarah untuk menyiram aneka kembang yang ditabur di atas jarak kedua nisan.

Murtaep memiliki penyakit semacam orang yang susah tidur. Malam-malam kerjanya melek seperti burung hantu. Kalau tidak punya jadwal ronda, kerjanya main domino. Kalaupun sudah merasa lapar, ia dan teman sepermainannya tinggal membuat api unggun, menyeduh air, membuat kopi, atau memanggang singkong.

Suatu malam, di pos ronda, sangat kebetulan sekali, hanya Murtaep semalaman duduk sangkil. Tak ada teman ternyata kantuk bisa juga datang ke pelupuk matanya. Atau barangkali saja lelaki itu kecapaian karena seharian mencangkul tegal.

Ia tidur sebentar dan bermimpi samar-samar: perempuan, bayi, tangis, nisan, kemboja, dan kendi. Ia tak tahu harus ditafsirkan macam apa mimpinya. Satu hal yang ada di pikirannya, bila ada perempuan hamil meninggal dengan anak masih dalam kandungan, akan ada banyak orang yang menginginkannya. Semua orang tahu betapa kematian semacam itu, anak dalam kandungan bisa dibuat jimat kekebalan atau ritual menjadi kaya. Cerita ini memang sudah melegenda, tidak hanya Murtaep yang tahu.

Mimpi itu tak menunggu lama untuk menjadi nyata. Sebelum matahari menyumbul, penduduk dihebohkan kematian Sumiati. Perempuan yang ditinggal suaminya menjadi TKI itu meninggal dengan perut membuncit tujuh bulan. Murtaep dan kawan seronda lainnya sadar, urusan berjaga-jaga bertambah berat, apalagi kalau bukan kematian tasoddul itu. Banyak yang akan menginginkan kuburan Sumiati, sebelum kuburan itu genap 41 hari.
Hal yang tak diinginkan terjadi sebelum kuburan Sumiati genap 41 hari. Ada yang membongkar kuburan itu. Jenazahnya hilang! Peronda kecolongan. Sepasang tatapan saling menaruh curiga. Siapa yang tak ingin kaya?

“Bagaimana Murtaep memiliki kendi itu, Kek?” tanya Taris.

“Entahlah, katanya kendi itu datang sendiri kepadanya.”

Tujuh hari pemakaman Murtaep tuntas, sanak saudara sudah pulang dari rumah duka, termasuk Taris dan keluarganya. Rumah kembali sepi. Pada posisi seperti ini, sangat baik bagi kenangan datang bertandang.

Setiap keluarga pasti setidaknya mempunyai satu buah benda keramat yang menjadi pusaka dan diwariskan turun-temurun. Pikiran seperti itu merangsang Silus merasa paling berhak mewarisi kendi itu. Ia lelaki tunggal dari tiga bersaudara. Bukankah dalam proposisi tertentu lelaki lebih diunggulkan daripada perempuan?

Ayam baru berkokok sekali. Silus melihat kendi itu menggantung di langit-langit kamar tempat terapi Murtaep. Leher kendi terlilit kawat. Ia mengambil kendi itu dan memutarnya sebagaimana yang dilakukan oleh ayahnya. Poros atas dan poros bawah kendi diseimbangkan dengan kedua jari telunjuk. Sementara telunjuk yang lain memutar kendi itu.

Dicobanya, tidak bisa.

Dicoba lagi, tidak bisa.

Dicoba lagi, tetap.

Sisa kesabaran berdengus. Silus membanting kendi yang tak mau berputar. Prang! Kendi hancur berkeping berserak di lantai. Silus keluar dari kamar yang gelap. Tangannya menutup daun pintu cukup keras.

Sulastri yang lelap di kamar, seketika terbelalak mendengar suara itu. Ia hendak mengadu, namun Silus sudah tak ada di sampingnya. Ia yakin suara yang didengar tadi bukanlah kembang tidur, tapi entahlah, dari mana suara itu datang.

Langkahnya bersigegas ke dapur. Pikirannya awas pada seekor kucing milik tetangga yang sangat blenger. Sekali mencium aroma daging, pasti selalu mengintip. Sulastri was-was kucing belang itu memakan sisa ikan sapi hari ketujuh wafat Murtaep. Sulastri tak menemukan apa-apa. Ia mengecek ruangan yang lain, tak ada tanda-tanda barang pecah. Di kamar yang digunakan mertuanya, ia juga tak melihat tanda kegaduhan ataupun barang yang berserak. Hanya saja wajahnya tampak heran melihat kendi berada di lantai.

Sulastri mengembalikan kendi itu ke tempat semula, menggantungkannya di langit-langit kamar. Bila suaminya ketemu, ia ingin bertanya beberapa hal: tentang suara itu dan siapa yang meletakkan kendi di lantai.